Oleh: Aficena Sakila S.S (Aktivis Dakwah Muslimah Deli Serdang)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Kasus pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, mulai muncul pada Agustus 2024 ketika Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) melaporkan adanya struktur pagar bambu sepanjang 7 kilometer yang ditancapkan di dasar laut. Pagar ini kemudian melebar hingga mencapai panjang 30,16 kilometer, melintasi 16 desa di 6 kecamatan.
Mengutip dari CNNIndonesia.com pagar laut misterius membentang sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Tangerang, menembus 16 desa di 6 kecamatan. Keberadaan pagar laut berupa patok-patok bambu itu sebetulnya sudah dilaporkan dan diketahui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten pada Agustus 2024.
Investigasi awal yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten, yang juga melibatkan TNI AL dan Polairud Polresta Tangerang, nyatanya tidak berhasil mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar tersebut. Setelah kasus ini menjadi sorotan publik pada Januari 2025, terkuak bahwa area tersebut memiliki 263 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan 17 Sertifikat Hak Milik (SHM). SHGB tersebut dimiliki oleh PT Intan Agung Makmur (234 bidang), PT Cahaya Inti Sentosa (20 bidang), dan perorangan (9 bidang).
Kasus ini menimbulkan polemik dan perbincangan panas karena sertifikat tersebut seharusnya tidak diterbitkan untuk area di luar garis pantai. Akibatnya, Bareskrim Polri mulai melakukan penyelidikan, termasuk memanggil pihak-pihak terkait seperti lurah, Kementerian, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk dimintai keterangan.
Beberapa tindakan pemerintah terkait pagar laut ini ialah adanya penyegelan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan pada 9 Januari 2025 sebab tidak memiliki izin resmi. Selain itu juga adanya pembongkaran yang dilakukan oleh TNI AL namun sempat terhenti sebab adanya evakuasi lebih lanjut.
Di sisi lain, penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di area pagar laut Kabupaten Tangerang melibatkan beberapa pihak. Menurut laporan, sertifikat-sertifikat tersebut diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang. Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) telah melaporkan dugaan korupsi terkait penerbitan sertifikat ini, dengan menyebut keterlibatan perangkat desa dari Desa Kohod, Pakuaji, serta oknum pejabat di tiga kecamatan lainnya, yaitu Tronjo, Tanjung Kait, dan Pulau Cangkir.
Selain itu, sejumlah warga Desa Kohod mengaku bahwa nama mereka dicatut dalam dokumen sertifikat tersebut tanpa sepengetahuan mereka. Mereka menduga bahwa aparat desa terlibat dalam proses ini, mengingat data-data pribadi yang digunakan dalam pembuatan sertifikat tersebut hanya dapat diakses oleh pihak desa. Salah satu warga yang menjadi korban pencatutan, Khaerudin, menyatakan bahwa data yang digunakan untuk pembuatan sertifikat HGB tersebut kemungkinan berasal dari data yang dimiliki oleh aparat desa (Riau24.COM).
Penyalahgunaan tanah digaris pantai ini telah melanggar hadist nabi terkait perserikatan umat atas 3 hal, yakni air, api dan padang rumput.
حديث عن أبو هريرة رضي الله عنه قال:
“الناس شركاء في ثلاث: في الماء والكلأ والنار.”
(رواه أبو داود، ابن ماجه، وأحمد)
Dari Abu Hurairah r.a., Nabi Muhammad SAW bersabda: “Rakyat itu berserikat dalam tiga hal: dalam air, dalam api, dan dalam rumput (tanah atau tanaman).” (HR. Abu Dawud, Ibn Majah, dan Ahmad)
Dalam hadis ini, Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa umat Islam berserikat dalam air, yang berarti air merupakan hak bersama yang harus bisa diakses oleh setiap orang tanpa diskriminasi. Tidak ada pihak yang boleh menguasai air dan menjadikannya barang komoditas yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang atau pihak tertentu. Dalam konteks pembangunan pagar laut yang melibatkan penggunaan atau pembatasan akses terhadap tanah atau laut, hal ini juga berhubungan dengan pengelolaan alam secara adil.
Rasulullah SAW juga pernah mencabut hak milik garam yang telah diberikan kepada sahabat. Peristiwa ini tercatat dalam sebuah hadis yang mengajarkan pentingnya kebijakan yang adil dalam pengelolaan sumber daya alam, dan tidak membiarkan satu pihak memperoleh hak atas sesuatu yang bisa merugikan umat secara keseluruhan.
جَاءَ أَبْيَضُ بْنُ حَمَّالٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ، فَقَطَعَهُ لَهُ، فَلَمَّا أَنْ وَلَّى، قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ؟ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: “فَإِذًا لَا”
(HR. Abu Dawud, no. 3068, dengan sanad yang dinilai hasan)
“Abyadh bin Hammal datang kepada Rasulullah ﷺ dan meminta agar diberikan kepemilikan atas tambang garam, lalu Rasulullah memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberinya sesuatu yang seperti air yang mengalir (melimpah dan harusnya untuk umum).’ Maka Rasulullah ﷺ pun bersabda, ‘Kalau begitu, tidak jadi (aku mencabut pemberian itu).'”
Hadist ini menjelaskan bahwa kepemilikan umum tidak boleh diprivatisasi bahkan dimiliki oleh negara sekalipun, karena air, api dan padang rumput (tanah) adalah milik umat.
Pembangunan pagar laut yang dilakukan tanpa izin atau yang mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, seperti nelayan, dapat dianggap melanggar prinsip ini, karena tanah dan sumber daya yang ada di pesisir seharusnya dikelola untuk kepentingan bersama dan tidak boleh diambil sepihak oleh satu kelompok atau individu. Jika pembatasan akses terhadap tanah, air, atau sumber daya lain dilakukan tanpa memperhatikan hak orang banyak, maka ini bertentangan dengan prinsip perserikatan umat Islam atas sumber daya alam tersebut.
Kesalahan ini terjadi sebab imbas dari sistem Kapitalisme yang membebaskan kepemilikan sekalipun itu adalah kepemilikan umum. Seperti tujuan dari sistem ini ialah mencari keuntungan dan manfaat dari segala bidang, meskipun harus melanggar norma-norma dan syariat islam.
Di balik sistem buruk yang diterapkan hari ini ada banyak oknum-oknum yang meraup banyak keuntungan setelah melihat banyaknya celah kesempatan dibalik sumber daya alam. Maka dalam hal ini, pengelolaan sumber daya alam harus diurusi oleh negara yang berbasiskan Islam, yang tidak akan membiarkan seorangpun mempunyai hak milik atas kepentingan umum.
Daulah Islam nantinya akan mengatur dan menjaga lingkungan, bukan memonopoli atau menyerahkan pada pihak swasta. Sebab, pesisir dan laut adalah milkiyyah ‘ammah milik umum, yang bisa diakses oleh nelayan dan masyarakat setempat.
عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ:
“لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ”
Artinya: “Tidak boleh ada monopoli, kecuali bagi orang yang berdosa.” (HR. Muslim, no. 1605)
Daulah nantinya akan menjaga hak masyarakat umum, seperti laut dan pesisir yang hanya boleh dikelola oleh negara secara adil untuk kepentingan masyarakat sesuai syariat Islam.
Views: 82
Comment here