Oleh: Sri Wulandari (Guru dan Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Kasus pagar bambu laut atau pagar laut misterius sepanjang 30 km di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten telah diketahui setidaknya sejak Juli 2024, yang menjadi kontroversi saat ini seakan membuka berbagai upaya penyalahgunaan kekuasaan oleh para elit politik pemerintah. Kasus ini menjadi semakin ramai ketika Nusron Wahid selaku Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengungkap pagar laut tersebut memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). Bahkan Nusron juga mengungkap perusahan-perusahaan mana saja yang memiliki sertifikat tersebut yang membuat hubungan pemilik perusahaan dengan elit pemerintah terungkap. Dilansir (suara.com 4/25).
Keberadaan sertifikat tanah hingga SHGB terkait dengan pagar laut tersebut, menimbulkan tanda tanya besar dikalangan publik, pasalnya bagaimana mungkin lautan bisa dimiliki per individu sampai memiliki sertifikat tanah dan SHGB?, karena selama ini tidak pernah diketahui adanya sertifikat tanah wilayah laut.
Namun faktanya, dari hasil data BHUMI, situs web informasi spasial yang dikelola Kementerian Agraria dan Tata Ruang, terdapat total wilayah laut yang masuk area HGB mencapai 537,5 hektare. Nusron Wahid juga mengatakan ada sembilan bidang yang mendapat sertifikat HGB atas nama perorangan. Sementara sertifikat HGB untuk 254 bidang dimiliki oleh dua perusahaan. Dikutip (bbc.com 6/25).
Di daerah lain, seperti Bekasi, Surabaya, Bali, dan Makassar juga ditemukan keberadaan pagar bambu serupa yang tertancap di area laut. Namun, mencermati hasil pertemuan kelompok nelayan Tangerang dengan pejabat terkait tadi, diduga kuat latar belakang pembangunan maupun pelaku di balik keberadaan pagar laut itu juga sama yang memiliki SHGB.
Dari kasus tersebut tak hanya membuat masyarakat terganggu, tetapi juga menghilangkan hak-hak dari nelayan kecil. Karena Pagar laut menutup akses nelayan yang selama ini terbuka di wilayah tersebut, serta berdampak buruk terhadap lingkungan di pesisir. Salah satu Peneliti Senior Pusat Riset Kependudukan BRIN Profesor Subarudi mengatakan, pagar laut dapat mengancam keadilan akses sumber daya bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan kehidupan pada laut. Dikutip (Kompas.com 7/25)
Kasus seperti ini bukan hanya sekadar permasalahan hukum yang tidak ditegakkan, namun juga menunjukkan betapa kuatnya korporasi dalam lingkaran kekuasaan. Inilah yang disebut sebagai korporatokrasi, yakni keadaan di mana negara tidak lagi berdaulat di hadapan korporasi, melainkan tunduk pada kepentingan segelintir elit pemilik modal. Lahirnya konsep korporatokrasi tidak lepas dari prinsip liberalisme dalam sistem ekonomi kapitalisme, sehingga berimplikasi pada munculnya aturan yang berpihak pada oligarki. Saat ini sistem pemerintahan memang banyak dikuasai oligarki dan korporatokrasi. Kekuatan kapital telah menjadi faktor yang menentukan jabatan politik di negeri ini.
Banyaknya penyalahgunaan kekuasaan melalui korporatokrasi yang dihalalkan oleh sistem saat ini menunjukkan bahwa kekuasaan telah menjadi alat kezaliman terhadap pihak yang lemah, dalam hal ini yakni rakyat. Atas nama kapital, penguasa lebih memihak pengusaha. Bahkan, banyak dari penguasa kemudian memiliki peran ganda sebagai pengusaha. Pada postur kabinet saat ini, konsep seperti itu sering terlihat. Tidak hanya di Indonesia, sistem kekuasaan yang demikian juga banyak terjadi dinegara sekuler kapitalisme.
Polemik pagar laut adalah cerminan nyata dari kelemahan sistem kapitalisme saat ini. Hukum, yang seharusnya menjadi benteng keadilan, justru menjadi alat bagi segelintir kelompok berkuasa untuk melanggengkan kepentingan pribadi. Kapitalisme, dengan prinsip kebebasan kepemilikan yang tak terkendali, telah menjadikan negara sekadar alat bagi para kapitalis. Akibatnya, kepentingan rakyat seringkali terabaikan, dan keadilan sosial semakin jauh dari jangkauan.
Berbeda dengan Islam, Islam telah mengatur secara detail mengenai kepemilikan dan pengelolaan harta, termasuk harta milik umum. Prinsip-prinsip syariah yang jelas melarang tindakan perorangan atau kelompok yang menguasai harta milik umum secara sewenang-wenang. Pelanggaran terhadap aturan ini bukan hanya pelanggaran hukum negara, tetapi juga merupakan dosa besar yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. “Rasulullah SAW bersabda bahwa air, rumput, dan api adalah milik bersama semua umat Islam. Tidak ada yang boleh menjual atau menghalangi orang lain untuk menggunakannya.
Di dalam sistem ekonomi, sebagaimana dalam kitab An-Nizhamu al-Iqtishadiyi fii al-Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjaga harta individu umat dan menjamin distribusi harta kepada individu per individu. Tak hanya itu Sistem ekonomi Islam juga mengatur bagaimana konsep kepemilikan harta dan membaginya menjadi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Perihal laut, keberadaannya termasuk kedalam harta kepemilikan umum yang jika dikuasai oleh individu jelas menghalangi individu lain untuk bisa mengakses dan memanfaatkannya.
Jika ada pihak-pihak yang berusaha memprivatisasi laut sebagaimana kasus pagar laut saat ini, Khilafah akan langsung menindak dengan tegas tiap-tiap pelanggar hukum tanpa pandang bulu. Ini sebagaimana dalam hadis, “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim). [we/IK].
Views: 11
Comment here