Opini

Pajak, Bermanfaat atau Menyengsarakan Rakyat?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Dite Ummu Gaza

wacana-edukasi.com, OPINI– Diberitakan oleh PortalJabar (18-05-2024), sekretaris Daerah Kabupaten Garut, Nurdin Yana menyatakan bahwa pajak berperan penting dalam pembangunan nasional. Pajak juga menjadi sumber pendapatan terbesar yang digunakan untuk mendukung berbagai program pembangunan. Pernyataan tersebut ia ungkapkan pada acara Penyerahan Penghargaan kepada Wajib Pajak atas Kontribusi Penerimaan Pajak KPP Pratama Kabupaten Garut Tahun 2023. Acara ini berlangsung di Aula Papandayan KPP Pratama Kabupaten Garut, dan mengusung tema “Sauyunan Ngawangun Negri, Mayar Pajak Bukti Cinta NKRI” pada Rabu (15-05-2024).

Di tempat yang sama, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat I, Kurniawan Nizar, memberikan apresiasi kepada para pembayar pajak yang telah menunjukkan kontribusinya. Menurutnya, pajak yang diterima oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP) berperan besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Uang pajak tersebut akan dikembalikan ke daerah untuk pembangunan infrastruktur dan kebutuhan lainnya.

Pajak Hari ini

Dalam sistem kapitalisme sekuler seperti saat ini, berbagai macam pungutan pajak memang menjadi sumber utama pendapatan negara. Pajak dan berbagai pungutan lainnya tentu menambah beban kehidupan masyarakat. Hal ini karena di samping masyarakat harus berjibaku sendiri memenuhi seluruh kebutuhan pokoknya seperti sandang, pangan, papan, juga sulitnya memperoleh lapangan pekerjaan.

Tak hanya itu, kebutuhan pokok publik seperti kesehatan dan pendidikan yang harusnya menjadi hak seluruh masyarakat, itu pun sulit didapatkan kecuali harus dengan membayar mahal. Ironisnya pada saat kondisi kehidupan yang serba sulit seperti saat ini, pemungutan pajak bukannya dikurangi atau dihilangkan, tetapi malah makin ditambah. Sementara di sisi lain, negara tidak menjamin kesejahteraan bagi seluruh warganya. Padahal, Rasulullah saw. bersabda,

“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zalim).“ (THR. Abu Daud, no : 2548, hadis ini disahihkan oleh Imam Al-Hakim).

Melakukan berbagai pungutan atau pajak terhadap rakyat merupakan kebiasaan para raja kaisar dan para pemimpin di luar Islam. Dulu, para raja biasa memungut pajak dengan upeti dari rakyat mereka, ada pajak atas emas, hewan ternak, juga budak. Pada era modern saat ini, negara-negara yang menerapkan ideologi kapitalisme sebagaimana Indonesia, juga akan memungut pajak dari rakyatnya. Bahkan pajak dipungut dengan lebih banyak lagi jenisnya, seperti pajak pendapatan, kendaraan, rumah, tanah dan lain-lain.

Mirisnya, sekarang direncanakan pula ada pungutan pajak atas sembako, sekolah, bahkan pajak dari ibu yang melahirkan. Inilah realitas kehidupan umat hari ini di bawah naungan ideologi kapitalisme demokrasi. Mereka akan terus dihadapkan pada kondisi hajat hidup yang ditelantarkan, sementara beban hidup makin memberatkan. Penguasa yang harusnya meringankan dan memenuhi segala kebutuhan rakyatnya, justru menambah beban berat kehidupan mereka dengan berbagai pungutan atau pajak.

Namun, begitulah potret sistem perekonomian kapitalisme, Pajak dan berbagai pungutan menjadi salah satu urat nadi pendapatan negara. Oleh sebab itu, dalam sistem ekonomi kapitalisme, berbagai pungutan atau pajak akan terus digencarkan tak terkecuali bagi warga miskin sekalipun. Mereka tak luput dari kejaran berbagai pungutan atau pajak.

Pajak dalam Sistem Pemerintahan Islam

Berbeda jika negeri ini menerapkan sistem pemerintahan Islam. Pemimpin dalam sistem Islam akan berusaha sekuat tenaga melayani kebutuhan masyarakat dan meringankan beban mereka, bukan malah memberatkannya. Pasalnya, pemimpin dalam sistem Islam paham bahwa jabatan dan kekuasaannya akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Sehingga jabatannya semata-mata untuk melayani rakyat sesuai dengan ketentuan syariat. Rasulullah bersabda,

الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR. Al-Bukhari dan Ahmad)

Jika negara menerapkan sistem pemerintahan Islam, maka akan menerapkan sistem perekonomian Islam. Sistem perekonomian Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Islam telah menetapkan bahwa sumber utama pendapatan negara bukan pajak maupun utang sebagaimana hari ini, tetapi dari sumber pemasukan yang tetap dan banyak jumlahnya. Setidaknya ada 11 sumber pendapatan negara bersistem Islam.

Di antaranya seperti jizyah, kharaj, ‘usyr, harta kepemilikan umum (seperti hasil tambang migas dan mineral), anfal, ghanimah,fai, khumus, infak, dan yang juga tidak kalah banyak adalah sedekah. Sumber pemasukan ini amat besar dan terkumpul dalam kas negara yang bernama baitulmal. Jumlah dari pos pos ini sangat banyak jumlahnya. Dari pos kepemilikan umum atau hasil sumber daya alam saja, akan mampu mencukupi kebutuhan umat termasuk untuk infrastruktur. Dengan demikian, tak perlu ada pungutan pajak sebagaimana dalam sistem kapitalisme.

Pajak dalam Islam disebut dharibah, tetapi praktiknya sangat jauh berbeda dengan pajak dalam sistem demokrasi kapitalisme. Kas negara tidak menggantungkan pada dharibah, dan dharibah juga tidak dibebankan kepada seluruh warga, melainkan hanya kaum muslim yang kaya saja. Hal ini pun bersifat temporer, dilakukan jika kas negara kosong dan saat butuh dana yang mendesak saja. Pungutan dharibah akan berakhir setelah keperluan yang mendesak tersebut telah selesai atau kas negara sudah terisi.

Namun begitu, pemungutan dharibah sangat jarang terjadi. Hal ini karena hampir tidak pernah didapati Baitul mal kosong. Tak heran karena kas baitulmal memiliki sumber pemasukan yang melimpah banyaknya. Demikianlah pajak dalam pandangan Islam. Bahwasanya, pajak merupakan alat untuk memalak yang hanya menambah kesengsaraan rakyat.

Wallahua’lam bisshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 58

Comment here