Oleh: Kiki Zaskia, S. Pd. (Pemerhati Kebijakan Publik)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Massa aksi dari berbagai elemen masyarakat melakukan aksi damai menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang akan berlaku pada Januari 2025 di seberang Istana Merdeka (Kompas.com, 03/01).
Selain itu, pelepasan balon udara hitam ke udara sebagai simbol kenaikan pajak menjadi bagian aksi mahasiswa dari BEM Seluruh Indonesia saat menggelar aksi penolakan kenaikan Pajak Pendapatan Negara di sekitar kawasan Patung Arjuna Wijaya (Kompas.com, 03/01).
Di tengah hiruk-pikuk masyarakat, jelang 100 hari kinerja Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih justru menimbulkan drama, atas penolakan masyarakat terhadap naiknya PPN 12 persen kemudian diralat oleh presiden bahwa yang naik hanya pajak barang mewah (PPnBM).
Namun, di lapangan pelaku usaha sudah terlanjur menaikkan pajak, yang menimbulkan saling tuding-menuding antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). DJP dinilai telah keliru dalam menerjemahkan apa yang telah diralat oleh Prabowo sehingga kini muncul dua tarif PPN yang menimbulkan kerancuan dilapangan.
Bahkan, DJP Kemeterian keuangan teah berjanji hak konsumen akan dikembalikan. Namun, DJP belum tahu seperti apa mekanismenya dan masih menggodok sejumlah opsi untuk pengembalian (refund).
Warisan Pajak Era Jokowi
Meskipun telah diralat bahwa pajak 12 persen untuk PPnBM namun sejumlah ekonom membantah hal tersebut, sebab dalam Beleid yang diwariskan Jokowi yakni UU nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan semua komoditas naik naik kecuali sembako. Kemudian, disempurnakan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 131 Tahun 2024.
Menurut analis kebijakan ekonomi Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai, dengan adanya implikasi tersebut, naiknya pajak 12 persen hanya untuk PPnBM tidak tepat. Untuk beberapa barang dengan nilai lain, tetap saja acuan pembayaran PPN 12 persen walau bukan barang mewah. Misalnya saja agen travel perdagangan emas tetap saja harga akhir yang ditanggung konsumen jadi lebih tinggi.
Hal ini makin nampak dalam beberapa regulasi perpajakan yang diwariskan oleh Jokowi dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, meskipun bukan termasuk barang mewah juga akan dikenakan pajak, seperti; PMK nomor 61 Tahun 2022 tentang PPN atas kegiatan membangun rumah sendiri (KMS) apabila luas bangunan minimial 200 meter persegi maka dikenakan PPN; PMK nomor 65 tahun 2022 tentang PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas oleh pengusaha yang berstatus pedagang; PMK nomor 67 tahun 2022 tentang PPN atas penyerahan jasa agen asuransi; PMK nomor 71 tahun 2022 PPN atas penyerahan jasa kena pajak tertentu seperti pengiriman paket dan agen wisata.
Bahkan, beberapa regulasi yang kontradiktif terjadi tatkala PPN harus ditanggung oleh masyarakat luas khususnya kelas menengah dan bawah. Namun, pemerintah memberikan tax holiday atau libur membayar pajak dengan alasan untuk mendorong investasi dan tax amnesty atau pengampunan pajak kepada korporasi besar. Hal tersebut menjadi potret regulasi yang kapitalistik yang sangat menyengsarakan rakyat.
Turbulensi APBN
Tidak dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 telah menimbulkan kondisi extraordinary khususnya ekonomi setiap negeri apatah lagi bagi wilayah berkembang seperti di Indonesia. Masyarakat rentan miskin dengan belum pulihnya perekonomian di Indonesia.
APBN di Indonesia mengalami defisit yang semakin lebar pada tahun 2020 pemasukan negara sebesar 1.647,8 T namun pengeluaran negara 2.595,5 T sehingga defisit 947,7 T. Kemudian, utang mencapai 6.000 T atau melonjak 224 persen selama 10 tahun masa Jokowi.
Dilapangan, proyek infrastruktur seperti membangun bandara, pelabuhan, jalan tol, IKN yang terbengkalai bahkan cenderung menghabiskan anggaran. Serta, Laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara (LHKPN) yang rutin dilaporkan menunjukkan segelintir elit terus memperkaya diri. Bahkan, apabila ditelusuri Laporan badan pemeriksa keuangan (BPK) terlihat berbagai kebocoran dan inefisiensi anggaran setiap tahun yang mencapai triliunan rupiah.
Kini, era Prabowo, turbulensi APBN makin nampak dengan kabinet yang gemuk dengan 48 menteri dan 56 wakil Menteri dalam kabinet merah putih. Tidak hanya itu, fasilitas mewah pejabat dan janji politik makan bergizi gratis akhirnya terkesan dipaksakan. Hal ini makin memperburuk wajah tata kelola kebijakan dan keuangan negeri.
Untuk menstabilkan turbulensi APBN, sebenarnya ada beberapa opsi yang bisa dipilih pemerintah, misalnya saja dengan penghematan belanja ekstrem, menunda atau bahkan meniadakan fasilitas mewah bagi pejabat sebagaimana yang terjadi di negeri yang tergolong maju, dan berani memajaki orang kaya lewat pajak kekayaan, dengan mengambil 1%-2% saja pajak kekayaan per tahun dari 50 orang terkaya Indonesia, pemerintah bisa mengantongi setidaknya Rp80 triliun. Diperkirakan angka itu lebih tinggi dari target penerimaan negara dengan menaikkan PPN 12% sebesar Rp75 triliun.
Sehingga, apabila diinsafi turbulensi APBN yang terjadi di negeri ini cenderung disebabkan kekeliruan pengambilan kebijakan dan ambisi kekuasaan. Maka wajar jika rakyat kecil merasakan kondisi terpojok nan melorot dalam ekonomi kapitalisme.
Kebijakan Zalim dan Hegemoni Politik Internasional
Nasib rakyat kecil tidak diperhitungkan dalam ekonomi kapitalisme karena dianggap tidak memiliki daya tawar atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain atau memegang kendali. Hal ini perlu menjadi sebuah evaluasi bagi masyarakat luas bahwa gimmick Prabowo sebagai pemimpin populis terbantahkan dengan kebijakannya yang tidak berpihak pada kondisi rakyat.
Di lain sisi, salah satu alasan teranyar Menteri keuangan dengan ambisinya untuk dipandang sama dengan dunia internasional Indonesia yang juga bergabung dalam Organisation for economic Co-Operation and Development (OECD) digenjot untuk terus menaikkan pajak.
Sehingga perlu untuk diinsafi negeri yang masih terjajah dengan Ideologi kapitalisme yang menjadi titik tolak dari ekonomi kapitalisme telah menjadi sumber utama kezaliman yang dirasakan rakyat kini. Dengan logika kepemilikan kapitalisme akan sulit kesejahteraan bisa diakses oleh semua orang. Sebab, hanya yang memiliki modal berupa kekuasaan dan alat-alat produksi yang mampu masuk dalam hierarki ekonomi kapitalisme.
Politik, kekuasaan, dan pemerintahan hanya menjadi alat dalam regulasi business to business (B to B). Keterlibatan rakyat hanya formalitas saja tidak berarti apa-apa bagi oligarki yang berperan sebagai aktor yang menggunakan tiga instrument tersebut.
Dalam ajaran kapitalisme laissez faire laissez passer (biarkan perekonomian berjalan sendiri tanpa harus ada campur tangan negara). Sehingga, produk regulasi dalam ekonomi kapitalisme meniscayakan kepemilikan individu untuk sektor energi dan pertambangan.
Padahal, apabila negeri ini meninggalkan Ideologi kapitalisme yang juga berimplikasi pada ekonomi negeri ini, kalkulasi jika sumber pertambangan seperti; Minyak mentah labanya 183 T, Gas alam 136 T, Batu bara 2.002 T, Emas 27 T, Tembaga 159 T, dan Nikel 189 T. Maka total laba yang diperoleh 2.698 T dan masih banyak sumber pendapatan lain dari sektor perikanan dll yang mampu mencapai laba 5.150 T (melebihi kebutuhan APBN sekitar 3000 T).
Estimasi tersebut bukan hal yang mustahil dan hanya bisa dicapai ketika kesadaran atas penjajahan ekonomi dari Ideologi batil kapitalisme bisa disadari masyarakat.
Pajak dalam Sistem Ekonomi Islam
Dalam sistem ekonomi Islam Anggaran pendapatan belanja negara (APBN) tidak berbasis pada pajak. Tugas pemerintah dalam ajaran Islam untuk mengelola urusan umat baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan kolektif.
Islam membolehkan negara mengambil dharibah (pajak dalam Islam) hanya ketika kondisi APBN sedang kosong. Pungutannya bersifat insidental pada kaum muslim yang memiliki kelebihan harta bukan semua kalangan masyarakat.
Selain itu, secara tegas haram pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang depositnya melimpah menjadi pribadi (privatisasi, swastanisasi). SDA menjadi kepemilikan umum yang wajib dikelola negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Hal terpenting yang perlu diinsafi, bahwa kebijakan dalam sistem ekonomi Islam yang hanya bisa diakomodir oleh khilafah islamiyyah bersumber dari Pencipta manusia, Allah SWT dan telah diterapkan selama 13 Abad dengan kegemilangan peradabannya. Sehingga, Rahmat dan keberkahan dalam kehidupan akan senantiasa dirasakan.
Views: 3
Comment here