Wacana-edukasi.com — Baru-baru ini pemerintah berencana akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk komoditas sembako, jasa, hingga pendidikan yang akan di atur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo meminta pemerintah khususnya Kementerian Keuangan untuk membatalkan rencana mengenakan pajak PPN. “Pengenaan pajak PPN, otomatis akan membuat harga sembako maupun pendidikan naik tajam. Pada akhirnya akan menaikkan inflasi Indonesia,” kata Bambang Soesatyo dalam keterangannya di Jakarta. Lebih lanjut Bambang Soesatyo menuturkan, “Dalam membuat kebijakan, Kementerian Keuangan seharusnya tidak hanya pandai dalam mengolah angka, tetapi juga harus pandai mengolah rasa. Harus ada kepekaan sensitifitas terhadap kondisi rakyat.” (antaranews.com, 13/06/2021).
Pajak adalah instrumen penting dalam negara demokrasi dan merupakan penghasilan terbesar bagi negara khususnya fungsi redistribusi pendapatan, rakyat memiliki kewajiban membayar pajak terus menerus yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan, sedangkan pemerintah wajib menyediakan kebutuhan fundamental warga negara salah satunya pendidikan dan kesehatan, tetapi pada kenyataannya saat ini pendidikan dan kesehatan dikenakan pajak.
Berbeda dalam sistem Islam, pajak dipungut sesuai ketentuan syara‘. Yakni harta yang diwajibkan hanya kepada kaum muslim yang memiliki kelebihan harta, setelah mereka mampu memenuhi kebutuhannya, itu pun dilakukan pada kondisi Baitul Mal tidak ada harta untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos pengeluaran yang memang wajib negara salurkan atas rakyatnya seperti memenuhi kebutuhan fakir dan miskin; gaji para pegawai negara, tentara, dan santunan penguasa; keperluan dan fasilitas umum; kondisi darurat bencana dan melunasi utang negara yang disebabkan pemenuhan kewajiban negara terhadap rakyatnya.
Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar Bin Khattab, pernah terjadi masa paceklik sehingga kas negara semakin menipis, antara pemasukan dan pengeluaran tidak stabil. Sehingga Khalifah Umar memungut pajak kepada umat Islam yang mampu sebagai pemasukan kas negara. Namun, hanya sebatas ketika kas negara sedang tidak stabil. Ketika sudah stabil, pajak yang dipungut dari umat Islam diberhentikan. Kemudian pada masa Kekhilafahan Abbasyiyah. Khalifah Umar Bin Abdul Aziz, tidak ada satu pun yang mau menerima zakat karena umat pada waktu itu terjamin kebutuhannya, sehingga penyaluran zakat untuk membiayai pemuda yang hendak menikah.
Dari sini, dapat kita ketahui bahwa hanya dengan negara yang menerapkan Islam kafah yang mampu membebaskan umat dari pajak. Terlebih pajak yang melilit, yang jelas hanya akan membuat rakyat menjerit. Namun dengan sistem Islam, pendapatan dan pengeluaran harta negara dikelola sesuai dengan fitrah manusia yang mendatangkan ketenteraman dan kesejahteraan hidup.
Aana –Brebes Jawa Tengah
Views: 1
Comment here