Opini

Pajak Naik, kok Bangga?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Muzaidah (Aktivis Dakwah Muslimah)

wacana-edukasi.com, OPINI– Menteri Keuangan Sri Mulyani merasa bangga atas kinerja Direktorat Jendral Perpajakan (Ditjen Pajak) sebab penerimaan pajak tiap tahunnya terus meningkat. Ia memberikan apresiasi tinggi kepada Ditjen Pajak karena telah berhasil menjadi tulang punggung negara. Hal tersebut disampaikannya di peringatan Hari Pajak Nasional, di Plazaz Tenggara GBK, Jakarta Pusat (liputan6.com, 14/07/2024).

Berdasarkan data dari Kemenkeu, penerimaan pajak mengalami peningkatan. Pada tahun 1983 penerimaan pajak di Indonesia Rp13 triliun, sedangkan para era reformasi menjadi Rp400 triliun. Bahkan, pada 2024 penerimaan pajak ditargetkan mencapai Rp1.988,9 triliun.

Sambungnya, untuk membangun negara yang sejahtera dan adil diperlukan dukungan pajak yang baik. Pajak yang optimal, menurutnya, adalah modal terwujudnya kesejahteraan. Inilah yang menjadikan Ditjen Pajak melakukan berbagai cara untuk menarik pajak dari rakyat. Mulai dari menaikkan nominal pajaknya hingga perluasan jenis barang yang dikenakan pajak (kompas.com, 14/07/2024).

Sejatinya, peningkatan penerimaan pajak yang dibanggakannya, menunjukkan pungutan atas rakyat. Penghasilan yang tidak menentu, rakyat masih harus dibebani pungutan pajak kian hari nominalnya makin besar, dan jenisnya makin banyak. Di antara contoh pajak yang baru mengalami kenaikan adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Namun, pemerintah tetap saja kukuh dengan narasinya bahwa pungutan pajak adalah demi kemajuan bangsa. Kalimat ‘’Orang Bijak Taat Pajak’’ bagian slogan yang terus dipersuasikan agar terbentuk di benak rakyat bahwa orang yang baik adalah mereka yang peduli dengan nasib bangsa dan berkontribusi nyata dengan membayar pajak.

Saat yang sama, mayoritas rakyat sedang kesusahan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang harganya kian melambung. Asal tahu saja, bahwa kian tingginya harga kebutuhan pokok pun tidak bisa dilepaskan dari pajak. Sebagai contohnya adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu pajak yang dikenakan kepada perusahaan yang menjual produk atau jasa. Pelaku usaha atau perusahaan akan membebankan PPN kepada konsumen dengan menaikkan harga jual barangnya.

Di sisi lain, rakyat tidak pernah merasa mendapatkan timbal balik dari pembayaran pajak. Faktanya, sebagian besar infrastruktur dibangun di perkotaan dan pusat-pusat ekonomi. Sementara, di daerah terpencil, jembatan mau roboh saja yang jelas membahayakan nyawa tidak pernah diperhatikan. Tidak meratanya pembangunan yang benar-benar nyata.

Tidak sampai di situ, rakyat pun lebih disuguhi gambaran gaya hidup mewah para pejabat. Sementara banyak pejabat yang terus bermunculan tersandung korupsi seolah menjadi hal biasa. Sungguh kondisi ini semakin mengikis rasa keadilan karena rakyat yang serba kekurangan malah terus dipalak.

Beban berat yang dirasakan rakyat dalam memenuhi pungutan pajak merupakan bagian konsekuensi atas diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme. Sistem pemerintah seperti ini akan selalu menjadikan pajak sebagai sumber utama dalam pendapatan negara. Dengan begitu, pemerintah membutuhkan pemasukan yang sangat besar berasal dari pajak.

Mirisnya, sudahlah rakyat dibebani pajak, nyatanya belanja negara juga tidak mengenal skala prioritas. Sedangkan di pelosok desa baik dari segi pembangunan yang tidak merata, gaji honorer pun banyak yang tidak dinaikkan, sementara para pejabat terus saja dinaikkan bahkan difasilitasi kemewahan.

Inilah potret buram pemerintah demokrasi kapitalisme. Besarnya pungutan pajak atas rakyat bagian kezaliman yang nyata. Pemerintah harusnya mengurusi umat dan memberikan fasilitas hidup yang layak, nyatanya malah sebaliknya.

Pajak dalam Islam

Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama untuk pemasukan negara. Karena pajak hanya dipungut kepada warga kaya laki-laki saja. Warga yang tidak memiliki kelebihan harta dan memenuhi kebutuhan hidup saja pas-pasan, maka tidak akan dikenakan pajak.

Pungutan pajak bersifat temporer dan hanya diberlakukan apabila baitulmal (kas negara) mengalami kekosongan. Jika kas Baitulmal sudah terpenuhi, maka pungutan akan dihentikan. Penggunaan dana dari dharibah (laki-laki kaya), misalkan untuk jihad, gaji tentara, industri militer adalah bagian yang sangat urgen dipenuhi.

Contoh lainnya dalam pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan jembatan atau jalan. Jika urgen untuk dibangun, sedangkan baitulmal kosong, maka negara akan memberlakukan pajak. Namun, jika pembangunan tidak urgen maka negara tidak memberlakukan pajak. Semua terletak pada urgen atau tidaknya diberlakukan pajak bukan karena tuntutan yang tidak jelas bahkan sampai menyengsarakan rakyat. Hal ini tidak demikian pernah terjadi dalam sistem pemerintahan Islam, karena khalifah memahami betul mana skala prioritas mana yang tidak.

Yang pasti, sumber pemasukan khalifah, bukan melalui pajak yang utama melainkan di antaranya, pertama dari anfal dan ganimah adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari harta orang kafir melalui perang di medan pertempuran. Bisa berupa uang, barang dagangan, senjata, bahan pangan, dan lainnya.

Adapun mananya harta fai adalah sesuatu yang dikuasai kaum muslimin dari orang kafir tanpa pengerahan pasukan atau tanpa peperangan. Seluruh harta ini dapat diperoleh jika terjadi peperangan dengan negara kafir harbi (yang benar-benar memusuhi Islam dan warganya).

Kedua, kharaj yaitu hak atas tanah bagi kaum muslim yang diperoleh dari orang kafir baik lewat peperangan atau melalui perjanjian damai. Status tanah kharaj ini tetap berlalu walau pemiliknya menjadi muslim.

Ketiga, jiziyah yaitu hak kaum muslim yang diberikan Allah dari orang-orang kafir sebagai ketundukan mereka kepada Islam. Jizyah dapat diberhentikan saat orang kafir tersebut masuk Islam.

Terakhir, harta milik umum yaitu harta yang ditetapkan kepemilikannya oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya bagi kaum muslimin dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama kaum muslim. Setiap individu boleh mengambil manfaatnya, tetapi tidak boleh dimiliki secara individu. Hasil dari kepemilikan umum inilah yang akan menjadi andalan utama untuk pemasukan baitulmal.

Harta milik umum ini meliputi bumi, alam, gas, tambang emas, batu marah, timah, hutan, lautan, dan kekayaan alam lainnya. Semua itu telah Allah anugerahkan kepada negeri-negeri muslim untuk dikelola oleh negara dan dikembalikan manfaatnya untuk rakyat.

Masih banyak sumber pemasukan kas negara dan inilah rentetan yang bisa dipahami, bahwa peningkatan pajak dari sistem demokrasi sejatinya bukanlah solusi untuk rakyat, akan tetapi malah makin mempersulit dan menyengsarakan rakyat makin besar. Bahkan, kesejahteraan rakyat tidak akan pernah terwujud melalui pajak kalaulah sistem yang masih diterapkan adalah kapitalisme demokrasi bukan Islam, akan rugi, hancur, dan binasa.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 50).

Wallahualam bissawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 21

Comment here