Oleh: Rutin, S.E.I. (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Pajak adalah salah satu instrumen penting dalam sistem ekonomi suatu negara. Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berperan dalam membiayai berbagai layanan publik, mulai dari infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan. Dalam sistem kapitalisme, pajak dianggap sebagai keniscayaan. Namun, ketika pajak dijadikan satu-satunya sumber pemasukan negara, seringkali yang terjadi adalah ketimpangan yang menguntungkan segelintir kalangan, sementara masyarakat umum justru menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak pada mereka.
Salah satu kebijakan yang kontroversial dalam beberapa waktu terakhir adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12%. Keputusan ini tidak hanya menuai protes dari berbagai lapisan masyarakat, sebagaimana yang dilansir oleh Kontan.id bahwa sejumlah elemen masyarakat mulai turun ke jalan menolak kenaikan tarif Pajak pertambahan Nilai (PPN) 12% yang berlaku pada 1 Januari 2025. (Kontan.co.id, 30/12/24). Bahkan CNN Indonesia memberitakan bahwa ada petisi Tolak PPN 12 Persen hingga tembus 197 Ribu Tanda Tangan (CNN Indonesia, 28/12/24).
Dari sini menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai bagaimana negara dalam sistem kapitalisme memperlakukan rakyatnya, khususnya yang berada di lapisan bawah. Dalam artikel ini, kita akan mengulas lebih dalam mengenai dampak kenaikan PPN ini, baik dari perspektif ekonomi maupun dalam konteks sistem kapitalisme, serta melihat pandangan Islam terkait pengelolaan pajak dan kesejahteraan rakyat.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa. Kenaikan tarif PPN ini jelas akan berdampak pada harga barang dan jasa, yang pada akhirnya akan membebani masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Dalam kebijakan ini, pemerintah beralasan bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara, yang dapat digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan, baik dalam infrastruktur maupun sektor lainnya.
Namun, kenaikan tarif pajak ini mendapat penolakan luas dari berbagai kalangan. Mulai dari buruh, akademisi, hingga masyarakat umum, banyak yang menilai kebijakan ini sebagai bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap beban hidup rakyat. Salah satu alasan utama penolakan adalah karena kebijakan ini tidak adil, terutama bagi kelompok masyarakat yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Di tengah harga barang yang semakin mahal, dengan adanya kenaikan PPN, daya beli masyarakat dipastikan akan semakin menurun. Ini akan memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi yang sudah ada.
Dalam sistem kapitalisme, negara lebih berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, dengan sebagian besar kebijakan ekonomi berpihak pada kepentingan para pemilik modal besar. Ketika negara mengandalkan pajak sebagai sumber utama pendapatan, maka yang terjadi adalah beban pajak yang semakin besar ditanggung oleh rakyat. Sementara itu, para pemilik modal atau pengusaha besar seringkali mendapatkan berbagai kemudahan dan keringanan pajak dengan alasan untuk menarik investasi dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun, kenyataannya, kebijakan semacam ini seringkali tidak berdampak signifikan pada penciptaan lapangan kerja yang layak bagi masyarakat. Para pengusaha besar lebih cenderung untuk mengalihkan investasi mereka ke sektor yang memberikan keuntungan lebih besar, tanpa memperhatikan kesejahteraan pekerja. Selain itu, kebijakan pajak yang lebih ringan bagi pengusaha besar justru memperburuk ketimpangan ekonomi, di mana kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang sementara rakyat biasa semakin terbebani oleh pajak yang harus mereka bayar.
Peningkatan tarif PPN juga berisiko menurunkan daya inovasi teknologi. Di tengah kesulitan ekonomi, para pengusaha mungkin akan lebih memilih untuk mengurangi pengeluaran atau menunda investasi baru daripada meningkatkan kapasitas produksi atau berinovasi. Hal ini akan berujung pada stagnasi ekonomi, di mana sektor-sektor yang dapat memberikan solusi bagi masalah sosial dan ekonomi justru tidak berkembang dengan baik.
Dalam pandangan Islam, pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara. Islam memiliki berbagai sumber pendapatan yang lebih adil dan merata, seperti zakat, kharaj, dan jizyah. Zakat, sebagai contoh, tidak hanya merupakan kewajiban bagi individu Muslim, tetapi juga sebagai instrumen redistribusi kekayaan yang dapat mengurangi ketimpangan sosial. Selain itu, Islam juga mengatur dengan jelas bagaimana pengelolaan harta negara dilakukan untuk kepentingan rakyat.
Salah satu prinsip dasar dalam ekonomi Islam adalah keadilan sosial. Negara dalam sistem ekonomi Islam, terutama dalam khilafah, diharapkan mampu menjamin kesejahteraan rakyat, bukan hanya dengan memberikan layanan publik, tetapi juga dengan menciptakan sistem yang memungkinkan setiap individu memiliki akses yang adil terhadap sumber daya. Dalam sistem khilafah, penguasa tidak berhak untuk menyentuh atau menguasai harta rakyat, melainkan harus mengelola dan mendistribusikan kekayaan tersebut demi kepentingan rakyat.
Sebagai contoh, dalam Islam, penguasa memiliki kewajiban untuk menyediakan berbagai layanan publik yang diperlukan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Negara juga harus memastikan bahwa tidak ada individu atau kelompok yang tertinggal dalam pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Sistem ini berbeda jauh dengan sistem kapitalisme, di mana negara lebih mengutamakan kepentingan pengusaha besar dan seringkali mengabaikan kebutuhan rakyat.
Pajak seharusnya bukanlah beban yang membebani rakyat, melainkan sarana untuk menciptakan pemerataan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Namun, dalam sistem kapitalisme, pajak seringkali digunakan sebagai alat untuk memperkaya segelintir orang sementara rakyat kecil justru semakin terhimpit. Kenaikan PPN yang rencananya akan diberlakukan pada 1 Januari 2025 adalah contoh nyata bagaimana kebijakan pajak di negeri ini lebih berpihak pada kepentingan segelintir kalangan, daripada memperhatikan nasib rakyat banyak.
Banyak pihak yang menilai bahwa sistem pajak yang ada saat ini tidak adil dan merugikan rakyat. Pajak, yang seharusnya digunakan untuk memberikan layanan publik yang lebih baik, justru malah menjadi beban tambahan bagi masyarakat. Dalam jangka panjang, kebijakan seperti ini dapat memperburuk ketimpangan sosial, di mana hanya segelintir orang yang menikmati hasil pembangunan, sementara rakyat biasa terus tertekan dengan kenaikan harga barang dan jasa akibat kenaikan pajak.
Dalam pandangan Islam, negara harus mampu menyediakan kebutuhan dasar rakyatnya tanpa membebani mereka dengan pajak yang memberatkan. Pendekatan yang lebih adil dan merata dalam pengelolaan ekonomi adalah dengan memanfaatkan berbagai sumber pendapatan negara yang sudah disediakan oleh syariat, seperti zakat dan kharaj. Dengan sistem seperti ini, kesejahteraan rakyat dapat terjamin, dan ketimpangan sosial yang terjadi dalam sistem kapitalisme dapat dihindari.
Kenaikan PPN yang diberlakukan pada 1 Januari 2025 seharusnya menjadi bahan refleksi bagi kita semua mengenai bagaimana kebijakan pajak harusnya dirancang untuk mengutamakan kepentingan rakyat banyak, bukan hanya kepentingan segelintir pengusaha besar. Negara harus berperan sebagai pengurus rakyat, bukan sekadar regulator yang melayani kepentingan modal. Hanya dengan pendekatan yang lebih adil, kita bisa menciptakan sistem yang lebih sejahtera bagi semua lapisan masyarakat.
Views: 23
Comment here