Oleh: Rini Rahayu (Aktivis Muslimah)
Wacana-edukasi.com, OPINI--Protes rakyat dalam bentuk petisi penolakan kenaikan PPN telah ditandatangani oleh lebih dari 113.000 orang dan sudah diterima Sekretariat Negara (Setneg). Penyerahan petisi itu dilakukan saat aksi damai pada hari Kamis 19 Desember 2024, di depan Istana Negara. Tetapi, Risyad selaku inisiator petisi mengungkapkan bahwa respon yang diterima Setneg terkesan hanya sebatas administratif saja (beritasatu.com 20/12/2024).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa salah satu alasan naiknya tarif pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen tersebut adalah dinilai akan meningkatkan pendapatan negara sehingga dapat mendukung program makan bergizi gratis, karena program ini memerlukan pendanaan jumbo. Dimana alokasi anggaran untuk program tersebut mencapai Rp 71 triliun dalam APBN 2025 (beritasatu.com 16/12/2024).
Dalam kondisi ekonomi yang lemah ini, dimana PHK massal terjadi, lapangan kerja semakin sempit, persaingan usaha yang semakin ketat, harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, daya beli masyarakat menurun, apakah tepat rencana pemerintah menaikkan PPN 12 persen ini? Karena jelas akan membuat rakyat semakin sulit. Bahkan tidak hanya PPN, pajak membangun rumah sendiri pun bakal naik sebesar 2,4 persen. Nampaknya rakyat akan semakin terjepit oleh pajak pajak dan pajak. Namun apa daya rakyat tidak bisa mengelak.
Walaupun pemerintah menetapkan tidak semua barang-barang terkena kenaikan pajak, namun sejatinya kebijakan tersebut tetaplah memberatkan rakyat. Pemerintah mencanangkan sejumlah program sebagai solusi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan rakyat diantaranya: bantuan berupa beras kepada 16 juta keluarga penerima manfaat sebesar 10 kg selama 12 bulan. Memberikan diskon atau potongan 50% tarif listrik selama 2 bulan untuk daya 450 VA sampai 2200 VA.
Bagi yang terkena PHK akan diberikan akses kemudahan jaminan kehilangan pekerjaan dan bagi UMKM akan diberikan kompensasi berupa PPh final 0,5% dari omzet sampai dengan tahun 2025. Selanjutnya adalah percepatan program PKH, yang semula dijadwalkan pada akhir triwulan I akan dipercepat menjadi awal 2025.
Meski program-program ini dicanangkan pemerintah untuk mengurangi kesulitan yang dihadapi oleh rakyat, namun nyatanya tidak dapat mengurangi penderitaan rakyat.
Pemerintah merasa sudah cukup dengan memberikan bansos dan subsidi sebagai solusi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh rakyat. Inilah contoh kebijakan yang populis otoriter. Yaitu seolah-olah memihak pada rakyat namun sebenarnya hanya mengakomodir kepentingan elite terutama para pemilik modal.
Kenaikan pajak 12 persen diklaim pemerintah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Benarkah demikian? Kenaikan pajak ini justru diduga akan mengakibatkan harga-harga naik dan semakin melemahnya daya beli masyarakat. Hal ini justru akan mengakibatkan inflasi. Sedangkan inflasi dan turunnya daya beli masyarakat, akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi melemah.
Dalam sistem kapitalisme pajak memang menjadi sumber utama penerimaan negara selain utang. Padahal sumber daya alam (SDA) begitu melimpah di negeri ini. Jika dikelola dengan baik tentunya akan menjadi sumber penerimaan negara yang besar sekali dan dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat. SDA sejatinya merupakan kepemilikan umum sehingga seharusnya negara’ lah yang mengelola bukan malah diberikan kepada swasta atau asing. Sehingga negara hanya mendapatkan keuntungan sedikit saja dan keuntungan yang besar dinikmati oleh pihak swasta.
Sedangkan dalam Islam, penerimaan negara tidak bergantung pada pajak. Namun memang ada yang semisalnya yaitu disebut “dharibah”. Dharibah mempunyai penerapan dan pengaturan yang berbeda dengan pajak.
Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum dharibah didefinisikan sebagai harta yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum Muslim untuk membiayainya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129).
Jadi dharibah bukan sumber tetap penerimaan baitulmal (pengelola keuangan khilafah). Penerimaan ini bersifat insidental yaitu ketika kas negara kosong. Penerapannya pun berbeda dengan pajak dalam kapitalisme yang dikenakan pada semua orang tanpa kecuali, dharibah hanya dipungut kepada laki-laki yang kaya saja.
Dharibah dipungut pada kondisi tertentu, misalnya saat terjadi bencana, peperangan atau saat negara harus membayar gaji pegawai sedangkan kas baitulmal sedang kosong. Namun ini hanya sementara, apabila baitulmal sudah terisi kembali maka pungutan dharibah diberhentikan.
Dengan demikian jelas bahwa pajak bukanlah andalan dalam sistem Islam. Sistem Islam memiliki banyak sumber pemasukan negara. Yaitu ada 12 sumber penerimaan baitulmal diantaranya yaitu fai dan kharaj, kepemilikan umum, dan zakat. Bagian fai dan kharaj terdiri dari seksi ghanimah, kharaj, status tanah, jizyah, fai, dan dharibah. Bagian kepemilikan umum terdiri dari seksi migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan dan mata air, hutan serta padang rumput, dan aset yang diproteksi negara. Bagian zakat terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat ternak sapi, unta, dan kambing (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum)
Sistem Islam jelas lebih adil dan sudah terbukti selama masa kejayaannya telah berhasil menyejahterakan rakyatnya.
Views: 7
Comment here