Oleh Ira Rahmatia
Wacana-edukasi.com — Indonesia tengah dihebohkan dengan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bahan pokok (sembako), yang mana tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).(CNN Indonesia, 11/06/2021).
Bahan pokok yang dimaksudkan adalah seperti beras, gabah, jagung, telur, susu, gula konsumsi, daging, kedelai, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian dan bumbu-bumbuan.
Tak hanya sembako, beberapa jenis usaha di bidang jasa termasuk bidang pendidikan akan dikenakan tarif PPN minimal 5% hingga 12% (Jawa Pos, 11/06/2021).
Sebelumnya pada Mei 2021, pemerintah juga menyampaikan rencana kenaikan PPN yang mana semula 10% menjadi 15% pada tahun 2022 yang dikritisi oleh Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad (Suara.com, 12 Mei 2021).
Disebutkan tujuan rencana tersebut demi menaikkan APBN di mana target pengoptimalan pajak tahun depan yakni 1499,3—1528,7 T. (Kontan.co.id, 4/5/2021).
Jika PPN dinaikkan, beda pula dengan beban PPh perusahaan yang malah diturunkan. Dikutip dari Kontan.co.id pemerintah akan menurunkan pajak perusahaan yang semula 22% menjadi 20% untuk meringankan beban pengusaha di tengah pandemi.
Rencana ini pun banyak dikomentari sejumlah pengusaha, mereka menyebutkan hal ini akan berdampak besar terhadap produksi dan konsumsi masyarakat. Bagaimana tidak, harga barang-barang juga akan bertambah naik sedang di masa pandemi ini kondisi keuangan masyarakat sangat terbatas. Akibatnya akan terjadi penurunan daya beli masyarakat. Pada akhirnya, barang-barang yang diproduksi dalam negeri tak akan laku.
Terkait PPN sembako Sekjen Dewan Pimpinan nasional (DPN) APTRI M Nur Khasbsyin juga meminta agar kebijakan itu perlu dikaji ulang karena merugikan petani. Juga imbasnya akan tersebar ke seluruh masyarakat.
Jika segala yang dilakukan ini untuk menekan tumbuhnya perekonomian nasional Indonesia, bisa saja itu tidaklah tecapai. Sekalipun tercapai, lalu apa artinya jika jalan yang ditempuhnya harus mencekik leher rakyat dengan pungutan PPN sembako.
Jika masyarakat tingkat bawah dibebankan dengan tingginya harga sembako, Ironisnya pengusaha atau orang kaya tidak dibebankan PPN tersebut, seperti kendaraan mewah juga hasil pertambangan batu bara.
Bukankah ada tanda ketidakadilan di negeri, yang tidak lain menunjukkan bahwa adalah pungutan tinggi alias “pemalakan” yang dilegalisasi demi kepentingan-kepentingan penguasa. Sedari awal pandemi, masyarakat berharap adanya penurunan harga kebutuhan bahan pokok karena sangat kekurangan ekonomi. Jik tetapnya harga pokok saja masyarakat harus berhemat agar dana mereka cukup, apatah lagi jika kebutuhan pokok itu semakin mahal, tentunya mereka akan semakin kesulitan. Bukankah penguasa harusnya memberi perlindungan, penganyoman pada rakyatnya. Bukankah ia dipilih untuk menenangkan hidup warganya, menyejahterakan segala kalangan rakyat, bukan membeda-bedakan antara kaya dan miskin, pengusaha atau rakyat kecil bahkan harusnya mengubah pola hidup masyarakat yang terus berganti kepemimpinan yang hanya memperkaya yang kaya, dan memiskinkan yang sudah miskin. Jika hal ini terjadi, apa pun alasannya sama saja yang kaya semakin kaya, dan miskin semakin miskin.
Dalam sistem kapitalisme sekuler ini memang sungguh menjadi ironi, saat target-target penguasa katanya memakmurkan rakyat justru malah mencekik leher rakyat. Sungguh banyak sumber-sumber penghasilan yang dapat dimaksimalkan oleh pemerintah, tetapi sayangnya penguasa dalam sistem kapitalisme hanya berfungsi sebagai regulator bagi para pengusaha untuk mencapai keinginan-keinginan mereka. Bahkan banyak yang berperan ganda menjadi pengusaha agar memuluskan usahanya merogoh uang rakyat sebagai konsumennya. Padahal jelas saja, fungsi penguasa dalam pemerintahan untuk mengurus urusan rakyat.
Pajak dalam Islam sebagaimana menurut ulama adalah haram tetapi di sistem sekuler saat ini, pajak menjadi suatu sumber pemasukan terbesar oleh negara, sedangkan dalam Islam, pajak tidak boleh diberlakukan jika khas negara masih mencukupi. Jika memang khas negara sedang kosong maka boleh memungut pajak kepada rakyat, tetapi khusus pada orang-orang muslim yang kaya saja.
Sehingga tidak memberatkan muslim lainnya yang kurang mampu.
besaran pungutan pajak pada saat itu disesuaikan berdasarkan pada besarnya angka kebutuhan belanja negara pada saat itu, sehingga saat kas negara sudah mencukupi, maka pungutan pajak akan dihentikan.
Dalam pemerintahan Islam yang menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunah salah satu solusi sumber pemasukan negara ialah zakat dengan ketentuan 2,5% ketika mencapai nisabnya. Dengan pemasukan ini pemerintah bisa menambah khas baitul mal, juga bagi masyarakat akan dengan sukarela dan bersemangat menunaikan zakat karena akan mendapatkan pahala. Ya, berpahala karena sebagai salah satu pemberian yang disandarkan atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, di mana ketentuan itu termasuk dalam penerapan salah satu rukun Islam.
Pemasukan lain bisa di peroleh dari jizyah yang dibayar oleh kafir dzimmi, juga dari sumber daya alam yang dimiliki dan kelola langsung oleh negara, yang mana hasilnya juga bisa disalurkan ke masyarakat seperti pendidikan gratis, listrik gratis, air gratis jikapun tak mampu digratiskan pemerintah akan mematok harga yang tidak memberatkan rakyatnya. Juga adanya usaha-usaha produktif yang terus memberikan manfaat kepada negara untuk memenuhi anggaran-anggarannya. Sehingga dengan kekayaan alam kaum muslimin bisa menutupi segala problematika keuangan negara di masa pandemi seperti ini.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 10
Comment here