Oleh Anita Agustin S.Pd.
Rencana mengenakan PPN pada bahan pangan, dan biaya pendidikan menegaskan bahwa pajak merupakan tulang punggung bagi ekonomi kapitalisme. Aroma ketidakadilan dirasakan karena pemerintah malah melonggarkan pajak untuk kaum kapitalis.
Wacana-edukasi.com —Berdasarkan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 pasal 1 ayat 1, pengertian pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi kemakmuran rakyat. Indonesia, menjadikan sektor pajak sebagai sumber pendapatan negara yang terbesar.
Baru-baru ini, kita tentu sudah mendengar bahwa Kemenkeu akan memberlakukan PPN untuk sembako dan pendidikan. Rencana untuk memberlakukan PPN terhadap sembako dan pendidikan menuai banyak kritikan terutama dari masyarakat.
Hal ini dinilai sangat memberatkan rakyat. Betapa tidak, jika pemberlakuan PPN terhadap sembako dan pendidikan benar-benar diberlakukan, maka tentu saja harga sembako akan melambung naik, dan pendidikan pun akan menjadi mahal. Jika sudah harga sembako naik, maka rakyat akan semakin susah untuk mendapatkannya.
Begitu pula dengan pendidikan. Jika pendidikan semakin mahal, maka akan banyak rakyat yang putus sekolah. Mereka tidak bisa sekolah sampai tinggi karena keterbatasan biaya.
Dilansir oleh media antaranews, Minggu, 13 Juni 2021, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyampaikan bahwa pengenaan pajak PPN, otomatis akan membuat harga sembako maupun pendidikan naik tajam, yang pada akhirnya akan menaikkan inflasi Indonesia. Untuk itu, Bambang Soesatyo meminta pemerintah khususnya Kementerian Keuangan membatalkan rencana mengenakan pajak PPN terhadap sektor sembako dan pendidikan, yang tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Bambang Soesatyo menilai rencana kebijakan tersebut bertentangan dengan sila kelima pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sektor sembako dan pendidikan menurutnya juga sangat berkaitan dengan naik turunnya inflasi.
Sementara dalam CNN Indonesia Kementerian Keuangan buka suara perihal polemik wacana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat, termasuk di antaranya sembako dan sekolah. Rencana kebijakan ini bakal tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam draf revisi UU Nomor 6 yang didapat CNN Indonesia.com, pengenaan pajak itu diatur dalam Pasal 4A.
Draf RUU merupakan wacana ke depan yang melihat perkembangan kondisi ekonomi Indonesia. Jelas belum jadi fokus hari ini, karena Indonesia belum pulih dari Covid-19 dan masyarakat justru masih harus dibantu.
Rencana mengenakan PPN pada bahan pangan, dan biaya pendidikan menegaskan bahwa pajak merupakan tulang punggung bagi ekonomi kapitalisme. Aroma ketidakadilan dirasakan karena pemerintah malah melonggarkan pajak untuk kaum kapitalis.
Kebijakan ini zalim, meski alasan menambah pendapatan negara dalam mengatasi pandemik, tetapi rakyat pula yang jadi korbannya. Hal ini berbeda sekali dengan sistem Islam dalam menempatkan pajak dan menetapkan sumber pendapatan negara.
Sumber pendapatan negara diantaranya diperoleh dari fa’i yaitu harta rampasan perang yang diperoleh dari suatu negeri tanpa terjadi peperangan, artinya penduduknya kabur tidak melakukan perlawanan. Selain itu, pendapatan diperoleh dari jizyah, yaitu sumber pendapatan negara, yang dikenakan kepada negeri non muslim yang berada di bawah peraturan Islam.
Sumber pendapatan lain juga diperoleh dari kharaj yaitu pungutan atas tanah yang ditaklukkan, kemudian diperoleh dari harta milik umum yang dilindungi negara. Kemudian sumber pendapatan lain diperoleh dari khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan harta orang murtad.
Semua pendapatan negara tersebut akan masuk ke dalam kas baitul mal. Seluruh pendapatan negara tersebut, digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat. Dalam sistem Islam, pajak hanya akan diberlakukan jika kondis kas baitul mal kosong dan uang tersebut dibutuhkan untuk kebutuhan yang mendesak dan harus saat itu juga. Pajak itu pun diambil dari kaum muslim yang kaya saja. Oleh karena itu, tidak semuanya menjadi wajib pajak, hanya dari kaum muslim yang mampu saja, pajak akan di bebankan. Setelah semua kebutuhan terpenuhi, pemungutan pajak akan dihentikan.
Oleh karena itu, pajak dalam Islam bukanlah untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Negara juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.
Selain itu, khilafah juga tidak akan menetapkan biaya apa pun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan pelayanan yang terbaik.
Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Sebab, semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya.
Sehingga, jika semua menjadi tanggung jawab negara dan tidak memberatkan bagi rakyat, maka rakyat akan sejahtera. Untuk itu, marilah kita berusaha dan berdoa agar segera terwujud sistem Islam yang siap mengayomi dan menanggung semua kebutuhan rakyatnya.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 0
Comment here