Oleh : Fitriani, S.Pd.
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Presiden terpilih Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan pemberlakuan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 % menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 pada Selasa tanggal 31/12/2024 bertempat di gedung kementerian keuangan (Kemenkeu) Jakarta pusat.
Kebijakan ini didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dengan tujuan untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Meski demikian, pemerintah memastikan daya beli masyarakat tidak akan terganggu berkat sejumlah regulasi yang telah dirancang untuk melindungi ekonomi rendah (kompas.com, 01/07/2025).
Penolakan terhadap kebijakan ini banyak disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat. Namun lagi-lagi, suara mereka tidak didengarkan dan dipaksakan untuk lapang dada menerima kebijakan kenaikan PPN ini.
Fakta menunjukkan bahwa ketika terjadi kenaikan pajak maka akan menimbulkan efek domino terhadap semua barang dan jasa termasuk juga semua kalangan, seperti rakyat kecil akan terkena dampaknya. ini karena para pengusaha yang terkena pajak akan menaikkan harga barang yang diproduksinya karena biaya produksinya naik.
Kenaikan PPN 12% ini dapat dipastikan akan menambah beban ekonomi rakyat sehingga semakin menyusahkan rakyat ditambah kenaikan ini tidak dibarengi dengan kenaikan gaji. Misalnya akan berdampak pada daya beli masyarakat yang semakin menurun hingga penutupan usaha rakyat kecil karena tercekik oleh besaran pungutan pajak.
Pajak dalam konsep sistem kapitalisme merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Pungutan besar dan beragam ragam pajak adalah suatu Keniscayaan dalam sistem kapitalisme yang menerapkan ekonomi liberal. Kebijakan ini dianggap sangat membantu menjalankan roda perekonomian negara.
Sistem yang dianut oleh negeri hari ini khususnya Indonesia memandang bahwa cara paling mudah mendapatkan dana segar untuk menutupi defisit anggaran tiada lain dengan manaikkan pajak. Maka wajar bila negara dengan gigih mempropagandakan kewajiban membayar berbagai pungutan pajak. Hal ini merupakan salah satu kedzoliman terhadap rakyat.
Firman Allah swt surah Asy-syura ayat 42, “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih” (https://tafsirweb.com diakses 07/01/2025).
Terjemah ayat tersebut mengingatkan tentang dosa bagi orang-orang yang berbuat dzalim terhadap orang lain yang akan mendapat azab.
Disisi lain, negeri ini memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah seperti emas, batu bara, dan lain-lainnya. Namun sangat mengecewakan kekayaan alam ini tidak dikelolah sebagaimana mestinya. Akibatnya, alih-alih memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya yang terjadi justru rakyat dipaksa merogoh saku lebih dalam untuk membayar sejumlah pungutan pajak.
Rasulullah saw bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan ummatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut terhadap mereka, maka berlaku lembutlah kepadanya” (HR.Muslim & Ahmad).
Adapun dalam konsep Islam pajak dikenal dengan istilah dharibah, namun dalam penerapannya sangat jauh berbeda dengan sistem kapitalisme. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab al-amwal fi daulati al-khilafah mendefenisikan dharibah sebagai kewajiban mengeluarkan sebagian harta yang Allah swt tetapkan kepada kaum muslim untuk memenuhi kebutuhan dan tanggung jawab tertentu, terutama ketika baitulmal (kas negara) tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayainya. Dengan kata lain, pajak dalam Islam adalah harta yang diwajibkan untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bersama, tetapi hanya berlaku jika baitulmal berada dalam kondisi tidak memiliki dana.
Pemungutan pajak dalam sistem Islam tidak dibebankan kepada seluruh rakyat dan hanya bersifat insidental ketika kas negara kosong. Sedangkan rakyat yang akan dikenakan pajak adalah mereka yang mampu, dalam artian bahwa kebutuhan primer dan sekudernya dapat mereka penuhi dan masih memiliki kelebihan harta serta tidak memiliki hutang. setelah kekosongan kas negara teratasi maka pemungutan pajak akan segera dihentikan.
Konsep inilah yang akan diberlakukan dalam pengambilan pajak di sistem Islam sehingga masyarakat tidak akan merasa terdzolimi dalam membayarkan pajak. Rasulullah dalam mengurus urusan rakyatnya tidak pernah memungut pajak kepada seluruh rakyatnya. Bahkan, beliau melarang ketika mengetahui ada orang yang memungut pajak atas komoditas yang masuk ke wilayah Islam. Rasulullah bersabda, “tidak masuk surga pemungut cukai” (HR Ahmad dan disahihkan Al-hakim).
Islam memandang bahwa pajak bukanlah sumber pendapatan negara yang tetap dan utama, melainkan sebagai alternatif terakhir ketika kondisi keuangan negara mendesak. Adapun sumber utama pendapatan bagi negara sebagai hak kaum muslim dan masuk ke baitulmal yaitu fai, jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi oleh negara, harta haram dari pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta dari orang yang tidak mempunyai ahli waris, serta harta orang murtad.
Syariat telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos-pos pendapatan negara yang harus tetap dilaksanakan dengan baik dalam keadaan baitulmal kosong ataupun tidak. Jika baitulmal mengalami kekurangan, tanggung jawab tersebut akan dialihkan kepada kaum muslim. Hal ini karena jika tidak terpenuhi, akan menyebabkan dharar bagi seluruh kaum muslim. Untuk menghilangkan dharar pada saat baitulmal mengalami kekosongan, khilafah boleh menggunakan instrumen pajak.
Pajak dalam Islam bukan untuk menghalangi orang menjadi kaya atau menambah pendapatan negara, apalagi untuk memperkaya pejabat negara. Namun pajak yang digunakan semata-mata untuk membiayai kebutuhan yang telah ditetapkan syariat. Alhasil, hanya dengan sistem Islamlah yang mampu mensejahterakan rakyat dalam bingkai negara khilafah.
Views: 5
Comment here