Opini

Pajak, Untungkan Pengusaha Sengsarakan Rakyat

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Sumariya (Anggota LISMA Bali)

wacana-edukasi.com, OPINI–Menurut laporan Menteri Keuangan, penerimaan pajak anjlok pada Maret 2024. Sejumlah setoran pajak beberapa sektor industri turun drastis, seperti industri manufaktur hingga industri pertambangan. Total penerimaan pajak hingga Maret 2024 atau selama kuartal 1-2024 hanya sebesar Rp 393,9 triliun. Realisasi ini turun 8,8% dari penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu, sebesar Rp 431,9 triliun. Menurut Menteri Keuangan, turunnya setoran pajak beberapa industri ini menggambarkan kondisi perekonomian domestik yang terdampak tekanan ekonomi global. (www.cnbcindonesia.com)

Pajak menjadi instrumen utama pemasukan negara yang mengadopsi sistem Kapitalisme. Sebab, dalam ekonomi Kapitalisme pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis, sebab dapat menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Karena itu, tidak aneh jika saat ini berbagai sektor barang maupun jasa dikenai beban pajak.

Mirisnya, negara Kapitalisme terus mengelabui rakyat dengan berbagai slogan agar terus-menerus mau membayar pajak, seperti “Warga negara yang baik adalah yang taat pajak”, atau sama halnya yang diungkapkan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Garut, Nurdin Yana, dalam acara Penyerahan Penghargaan kepada Wajib Pajak atas Kontribusi Penerimaan Pajak KPP Pratama Kabupaten Garut tahun 2023, bahwa pajak berperan penting dalam pembangunan nasional, menjadi sumber pendapatan terbesar yang digunakan untuk mendukung berbagai program pembangunan.

Padahal, secara fakta kebijakan panjang ini justru semakin membebani rakyat. Namun, di saat negara terus menggenjot pajak kepada rakyat sipil, negara justru mengeluarkan berbagai kebijakan yang membantu rakyat pengusaha, seperti tax amnesty dan insentif lainnya. Negara juga dapat mengubah aturan terkait pajak tanpa dianggap melanggar aturan negara, seperti yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Kementrian Keuangan menerbitkan aturan yang memerinci terkait pembelian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu kota Nusantara (IKN). Aturan tersebut diterbitkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 28 Tahun 2024, yang menyebutkan salah satu fasilitas perpajakan yang diberikan adalah pajak penghasilan (PPh). (www.nasional.kontan.co.id)

Demikianlah pajak yang diatur oleh sistem ekonomi Kapitalisme. Pajak digunakan untuk memalak rakyat sipil dan membuat ekonomi negara lemah, karena tidak memiliki sumber pendapatan negara yang kokoh.

Sangat berbeda dengan tata kelola sumber pemasukan negara yang diatur oleh sistem ekonomi Islam. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nidzamul Iqtisadiy, menjelaskan sistem keuangan negara Islam berbasis Baitul Maal. Baitul Maal memiliki tiga pos pemasukan, yaitu:

Pertama, pos kepemilikan negara yang bersumber dari harta fai’ dan kharaj, yang meliputi ghanimah, anfal, fai’, khusus, kharaj, status tanah dan jizyah. Jenis harta tersebut termasuk pemasukan tetap negara, adapun pemasukan tidak tetap negara dari pos kepemilikan negara berupa dharibah (pajak).

Kedua, pos kepemilikan umum yang bersumber dari harta pengelolaan SDA, seperti minyak, gas bumi, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, serta aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. Bagian harta kepemilikan umum dibuat tempat khusus agar tidak bercampur dengan harta lainnya.

Ketiga, pos zakat bersumber dari zakat fitrah atau zakat maal kaum muslimin, seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat unta, sapi dan kambing. Selain itu, pos ini juga menampung harta sedekah, infaq, wakaf dari kaum muslimin. Untuk pos zakat juga dibuat tempat khusus agar tidak bercampur dengan harta lainnya. Berbagai pos pemasukan Baitul Maal ini akan membuat negara kaya raya dan sanggup membiayai kebutuhan negara maupun rakyatnya.

Adapun pajak (dharibah) dikategorikan sebagai pemasukan tidak tetap negara. Pasalnya, dharibah dalam sistem Islam hanya dipungut dalam kondisi temporer, yaitu ketika kas Baitul Maal menipis atau kosong, sementara negara harus membiayai kebutuhan kaum muslimin yang bersifat genting dan jika tidak segera dipenuhi akan menimbulkan dharar (bahaya). Misalnya, pembiayaan jihad, terjadi bencana alam dan kebutuhan infrastruktur di daerah pelosok. Dharibah ini hanya akan dipungut kepada warga negara Islam yang muslimin, sementara warga negara yang kafir dzimmi tidak akan dipungut.

Dalam kitab Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129, Syaikh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Maal kaum muslim untuk membiayainya. Sekalipun dharibah dibebankan kepada kaum muslimin, namun tidak semua kaum muslimin membayarnya. Dharibah hanya akan diambil dari kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta setelah mereka dan keluarga mereka terpenuhi kebutuhannya, sehingga jelas kedudukan dharibah (pajak) dalam sistem ekonomi Islam, sangat jauh berbeda dengan pajak dalam sistem ekonomi Kapitalisme. Namun, konsep Baitul Maal hanya akan bisa terwujud dan memberikan keberkahan bagi keuangan negara, manakala ada Daulah Khilafah. Sebab, hanya Daulah Khilafah-lah satu-satunya negara yang menerapkan hukum Islam secara sempurna, termasuk sistem ekonomi Islam.

Wallahu a’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 37

Comment here