Oleh Mahrita Julia Hapsari
(Komunitas Muslimah untuk Peradaban)
Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Bagi kapitalisme, pajak merupakan urat nadinya. Menarik pajak merupakan cara mudah mengumpulkan dana untuk penyelenggaraan negara. Pas dengan prinsip ekonomi kapitalisme yaitu meminimalisir usaha untuk keuntungan sebesar-besarnya.
Wacana-edukasi.com — Pemerintah berencana menarik pajak pertambahan nilai (PPN) pada sembako dan sekolah. Rencana ini tertuang dalam draf Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Jasa pendidikan dan sembako dikeluarkan dari daftar komoditas yang tidak dikenai PPN, artinya sembako dan sekolah akan dikenai pajak.
Dikutip dari cnbcindonesia.com (10/06/2021), barang sembako yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017 meliputi beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.
Adapun sektor pendidikan yang akan dikenai PPN yaitu pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi, dan pendidikan luar sekolah seperti kursus. Tak hanya pendidikan, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko bahkan jasa angkutan umum di darat, air, maupun udara juga dikenakan PPN.
Menghapus Distorsi, Memperlebar Kesenjangan
Satu-satunya alasan yang mengemuka dari Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo adalah menghapus distorsi. Selama ini, sembako tak dikenakan PPN, sementara ada jenis sembako yang premium dinikmati masyarakat golongan mampu dan bebas PPN.
Pemerintah meyakini bahwa dengan menarik PPN sembako dan pendidikan maka akan menghilangkan distorsi dan mencerminkan sistem pajak yang berkeadilan. Golongan mampu akan membayar pajak sebagaimana mestinya atas barang dan jasa yang dinikmatinya. Bukan melulu menerima subsidi, hingga subsidi tidak tepat sasaran.
Ironisnya, pemerintah justru memberikan subsidi pajak pada pembelian barang mewah. Dengan alasan untuk mendongkrak penjualan mobil, PPnBM (pajak pertambahan nilai barang mewah) pun menjadi 0%. Paradoks ini mengundang reaksi penolakan terhadap rencana penarikan PPN sembako dan sekolah.
Sudah banyak yang berkomentar agar pemerintah mencari sumber pajak yang lain. Mengambil pajak sembako hanya akan menambah kesulitan ekonomi rakyat. Sudahlah pandemi yang mengancam jiwa, ditambah lagi dengan rencana PPN sembako, bagaimana masyarakat bisa sehat. bisa dipastikan, PPN sembako akan membuat harga kebutuhan pokok menjadi naik dan akhirnya tidak terjangkau oleh masyarakat ekonomi rendah.
Hal ini akan membuat jurang kesenjangan semakin lebar. Orang yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Pajak di Sistem Kapitalisme Vs Islam
Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Bagi kapitalisme, pajak merupakan urat nadinya. Menarik pajak merupakan cara mudah mengumpulkan dana untuk penyelenggaraan negara. Pas dengan prinsip ekonomi kapitalisme yaitu meminimalisir usaha untuk keuntungan sebesar-besarnya.
Di sisi lain, SDA yang melimpah justru diserahkan kepada pihak swasta. Baik swasta individu ataupun korporasi, lokal maupun asing. Padahal, jika negara mengelola SDA dengan baik, maka akan lebih dari cukup untuk menyejahterakan rakyat.
Alih-alih membawa keadilan dan kesejahteraan, pemungutan pajak pada semua komoditas termasuk sembako dan sekolah hanya akan membawa kesengsaraan bagi rakyat. Harga komoditas menjadi naik, ditambah beban pembiayaan publik yang juga tidak dijamin pemerintah. Inilah kezaliman level negara.
Fungsi melayani rakyat di sistem kapitalisme memang tidak ada. Negara hanya berperan sebagai regulator yang mengeluarkan aturan. Parahnya, aturan yang dibuat hanya menguntungkan satu pihak yaitu pengusaha. Sebab ada simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha saat pemilu. Rakyat menjadi korban dari perselingkuhan keduanya.
Berbeda dengan sistem Islam. Dalam pengelolaan keuangan negara, sistem Islam memiliki banyak sumber. Pengelola negara juga seorang yang beriman dan amanah. Visi akhirat telah dimiliki oleh para penguasa di sistem islam. Bahwa akan ada pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Lahirlah penguasa yang melayani rakyatnya dengan sepenuh hati.
Sistem ekonomi Islam dan sistem keuangan negara khilafah akuntabel dan stabil. Sebab berasas akidah islam dan menerapkan syariat yang bersumber dari Allah SWT, Sang Maha Pencipta. Pasti akan membawa kebaikan bagi manusia, bahkan alam semesta.
Ada zakat yang diambil dari para wajib zakat dengan prinsip ibadah. Penyaluran dana zakat hanya untuk delapan golongan yang telah disebutkan Allah SWT dalam Al-Qur’an surah At-taubah ayat 60. Yaitu, fakir, miskin, _riqab_ (hamba sahaya), gharim (orang yang berutang), mualaf, fisabilillah, Ibnu sabil, dan amil.
Islam membagi tiga jenis kepemilikan, pembagian ini tak pernah dikenal di sistem ekonomi mana pun. Dengan pembagian kepemilikan ini, distribusi kekayaan pun merata dan mampu menyejahterakan seluruh rakyat. Kepemilikan umum berupa hutan, laut, SDA tak boleh dikuasai oleh individu maupun negara. Tugas negara adalah mengelola kepemilikan umum sehingga dirasakan kebermanfaatannya oleh seluruh rakyat.
Adapun negara, memiliki pos pemasukan dari jizyah, fai, kharaj, khumus, dan sebagainya. Tak ada pajak yang dipungut negara dalam sistem islam. Jikapun ada, hanya jika kas negara yaitu baitul mal dalam keadaan kosong atau kritis. Itu pun diambil dari mereka-mereka yang kaya saja dan temporal, tidak selamanya.
Hanya di sistem Islam, manusia akan hidup secara manusiawi. Hidup tak lagi sempit dan tercekik oleh pajak-pajak dan tarif-tarif publik yang lain.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 275
Comment here