wacana-edukasi.com– Undang-undang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada akhirnya telah resmi disahkan di awal tahun 2022 ini. Tertuang dalam undang-undang nomor 3 tahun 2022 tentang pemindahan Ibu Kota Negara yang juga mengatur keterlibatan masyarakat di dalamnya. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengelolaan Ibu Kota Negara seperti yang termuat dalam pasal 37 ayat 1. Secara spesifik, ada lima bentuk kontribusi masyarakat, yaitu musyawarah; kemitraan; konsultasi publik; aspirasi; dan bentuk lain yang memberikan dampak bagi terwujudnya program ini sesuai dengan ketetapan undang-undang. Pemerintah sendiri berencana untuk segera membentuk Kepala Otorita IKN yang bertanggung jawab dalam proses pemindahan segala hal ke Ibu Kota Negara baru, dikutip dari CNN Indonesia. Selain itu, Pemerintah juga masih terus bekerja untuk menyiapkan undang-undang turunannya. Seperti Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Kepala Badan Otorita IKN yang ditargetkan akan rampung dalam dua bulan ke depan seperti yang dilaporkan Tribun News.
Semenjak bergulirnya wacana pemindahan Ibu Kota Negara baru ke Penajam Pasir Utara, Kalimantan Timur. Banyak perkara yang terkesan terburu-buru dan diklaim tanpa persiapan. Mulai dari tanda tanya “kegentingan” yang mendorong pemerintah mewujudkan hal ini, kemudian proses pengesahan undang-undang sebagai basis dari pemindahan tersebut yang “digodok” berbarengan saat dunia sedang sibuk dalam pengentasan pandemi, sampai dengan asal aliran dana untuk proses pembangunan yang ditaksir tidak sedikit.
Dilansir dari Nasional Kompas, Faisal Basri, Ekonom senior menyebutkan bahwa pembangunan Ibu Kota negara didominasi dari pos APBN yang mencapai 53,3% sementara 46,7% dari kerjasama pemerintah dan badan usaha baik swasta ataupun BUMN. Bahkan skema pembangunan terkesan tidak jelas, sehingga semakin menegaskan bahwa ada hal yang sedang secepatnya disegerakan pemerintah namun bukan berkaitan dengan kepentingan rakyat. Dugaan kerjasama dengan korporat juga kian kuat seiring dengan adanya koalisi organisasi masyarakat sipil jaringan advokasi tambang (JATAM) Kalimantan Timur, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan 71 kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menurutnya merupakan proyek oligarki karena adanya upaya pendekatan bisnis dengan beberapa korporasi.
Bukan hal yang asing jika pandangan Faisal Basri mengerucut pada satu topik yaitu adanya keterlibatan oligarki pada Pembangunan IKN. Hal ini merupakan salah satu indikator keberadaan kapitalisme. Kapitalisme sendiri merupakan suatu ideologi yang menitikberatkan kepada sebesar-besarnya kepentingan individu. Tidak mengherankan jika kepentingan mayoritas masyarakat Indonesia dapat mudah tergeser dengan sejumlah suara individu yang mengincar keuntungan dan manfaat ke arah materi semata.
Jika dibandingkan dengan sistem Islam dalam menyoroti fenomena pemindahan Ibu Kota sendiri, pada dasarnya bukan sesuatu yang asing saat penerapan sistem Isla. Bahkan selama kurun waktu 100 tahun kejayaan peradaban Islam, setidaknya tercatat beberapa kali kekhilafahan pindah Ibu Kota. Dimana semula berada di Madinah kemudian bergeser menuju Damaskus, tepatnya pada kekhilafahan Umayyah. Kemudian di masa Abasiyyah ibu kota berpindah lagi ke daerah Baghdad. Terlebih karena berbagai peperangan yang menjadi alasan kuat baik dalam kondisi penundaan atau perpindahan Ibu Kota yaitu pasca penyerangan pasukan Mongol, ketika itu Ibu Kota terpaksa berpindah ke wilayah Kairo kemudian terakhir di Istanbul saat kepemimpinan Turki Utsmani.
Seluruh perpindahan yang pernah dialami pada masa kekhilafahan Islam dulu berjalan berdasarkan alasan yang jelas dan tidak sama sekali mengandung kepentingan pihak tertentu apalagi individu semata. Sebagian besar perpindahan Ibu Kota difokuskan kepada wilayah yang memiliki cadangan sumber daya alam. Hal ini bertujuan untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan rakyat dengan keberadaan fasilitas yang melengkapi. Terlebih lagi ada beberapa kondisi yang benar-benar mendesak yang menyebabkan Ibu Kota harus dipindahkan, misalnya karena masalah perang. Negara khilafah tidak mengambil manfaat dari proses pemindahan tersebut, apalagi bekerjasama dengan swasta dan asing untuk berinvestasi dalam menyukseskan tujuan ini. Negara khilafah benar-benar melandaskan sesuatu dengan melihat kepentingan masyarakat. Karena negara dalam sistem Islam berfungsi sebagai ro’in (pengelola) yang melakukan riayah (mengurusi aturan umat) dan junnah (perisai) yang menjadi pelindung bagi setiap manusia dalam negaranya. Negara memiliki peran besar dalam menjalankan hukum-hukum sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah untuk kemaslahatan manusia.
Hurul Aini
Bandung
Views: 7
Comment here