Opini

Pandemi dan Potensi Hilangnya Generasi Intelektual

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Rosmiati, S.Si.

(Pemerhati Sosial Masyarakat)

wacana-edukasi.com — Pandemi Covid-19 telah menjadi era disrupsi di abad 21. Wabah yang sudah lebih setahun menyerang ini tak hanya berdampak bagi ketahanan ekonomi global.  Namun juga berpotensi merongrong kelangsungan stok potensi intelektual generasi suatu bangsa. Betapa tidak, selain menewaskan banyak kalangan cendekia dan ulama. Pandemi juga memicu putusnya akses ke dunia pendidikan.
Sebut saja di tanah air, fenomena putus kuliah naik tajam di era pandemi.  mediajabodetabek.pikiran-rakyat.com (21/08/2021) beberapa waktu lalu mewartakan, ada72 persen dari 3.321 mahasiswa  kesulitan membayar uang kuliah. Sehingga tak sedikit diantara mereka yang terancam putus kuliah.

Berdasarkan data Statistik Pendidikan Tinggi Kemendikbud 2020, angka putus kuliah di seluruh Indonesia pada 2019 mencapai 7 %. Dimana setara dengan 602.208 orang dari total mahasiswa yang terdaftar 8.483.213 orang. Pada penghujung 2020 (di era pandemi), jumlah tersebut naik menjadi 50 %. Betapa ini adalah peningkatan yang cukup signifikan.  Belakangan terkuak kalau penyebab dari tingginya angka putus kuliah ini dikarenakan oleh ketidakmampuan orangtua dalam membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Yang mana hal ini disebabkan oleh hilangnya mata pencaharian mereka di masa pandemi. Benarkah karena pandemi? atau ada penyebab lain? Bagaimana sebenarnya besaran UKT untuk kampus di tanah air selama ini?

Pendidikan merupakan hak dari setiap warga negara untuk mendapatkannya. Pendidikan juga berperan sebagai lembaga atau tempat untuk menggembleng kecerdasan publik yangmana mencerdaskan kehidupan bangsa juga salah satu dari cita-cita nasional yang harus diwujudkan.

Olehnya itu, seharusnya pintu atau akses ke dunia pendidikan  dipermudah agar semua lapisan masyarakat dengan berbagai strata dan latar belakang ekonomi dapat menjamahnya.  Itulah mengapa pula, pendidikan harusnya dapat diakses secara cuma-cuma alias gratis. Jika tidak sampai gratis, maka tidak menyulitkan ataupun memberatkan masyarakat.

Sayangnya, wajah pendidikan kita memang telah banyak mengalami perubahan apalagi pasca era reformasi dimulai. Sebagaimana yang dilansir dari laman kavling10.com (2019), perubahan sistem pendidikan itu dimulai dari reformasi saat jatuhnya rezim orde baru di tahun 1998. Di mana pendidikan mulai dikomersialisasi, liberalisasi, desentralisasi dan privatisasi. Yang pada akhirnya mengantarkan dunia pendidikan masuk ke dalam jeratan kapitalis neolib. Yang mana pengaturannya berbasis hitung-hitungan bisnis.
Lebih jauh Dave Hill dalam penelitainnya yang bertajuk Winners of Lossers?Liberalizing Public Service mengatakan bahwa komersialisasi pendidikan ini sudah terjadi di berbagai belahan dunia. Hasil penelitiannya juga menunjukan bahwa pendidikan bukan lagi barang publik yang dimiliki secara universal melainkan sudah menjadi milik segelintir elit. Karena pendidikan telah memberikan dampak human capital. Dimana akses ke dunianya berbiaya tinggi, dan ini tak mampu diakses oleh semua kalangan karena tak sebanding dengan pendapatan ekonomi mereka.

Itu terjadi di tanah air. Ketika otonomi perguruan tinggi lahir akibat dari kapitalisasi sektor pendidikan. Maka setiap universitas harus berupaya untuk mengurus kehidupannya sendiri. Mau tidak mau, uang kuliah harus dinaikan demi untuk efektivitas layanan kampus. Atau menggandeng para investor yang siap bermitra dengan mereka.

Tak sadar kebijakan ini sejatinya memberatkan para orangtua yang menyekolahkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Kenapa? Karena kondisi ekonomi mereka tak semuanya bagus. Ada yang harus berjuang mati-matian demi anaknya bisa berkuliah. Dengan bermodal keyakinan kepada sang Pencipta bahwa akan selalu ada rezeki bagi penuntut ilmu. Tetapi meski demikian, dibalik semua itu ada ketidakberdayaan dan kelemahan yang mereka tutupi. Harusnya mata batin pengurus negeri mampu membaca ini.

Alhasil, kondisi ini semakin tak tertolong kala pandemi, kala semua orang diminta untuk stay at home sementara mereka kelompok masyarakat ekonomi kelas bawah tak punya tabungan jangka panjang. Ditambah, penanganan pandemi belum menyentuh sektor ini. Akhirnya, kelemahan dan ketidarberdayaan yang selama ini tertutupi muncul ke permukaan. Maka terjadilah, kita kehilangan banyak generasi yang begitu potensial menjadi intelektual dan negawaran di masa mendatang. Dan ini bila dibiarkan akan menjadi kerugian terbesar bagi negara.

Belakangan diketahui bahwa pemerintah akan menyalurkan bantuan sebesar Rp745 miliar yang akan dialokasikan kepada mahasiswa yang yang terdampak Covid-19. Dengan besaran nilai sesuai dengan nilai UKT dengan batasan maksimal Rp2,4 juta per mahasiswa.

Kita tentu berharap agar subsidi di sektor pendidikan tak hanya terjadi di masa pandemi namun di situasi normal sekalipun. Kenapa? Karena pendidikan adalah mata air kehidupan dan salah satu pilar peradaban. Manusia akan benar-benar menjadi manusia jika ia memiliki ilmu dan adab. Yang mana keduanya itu dapat diperoleh melalui proses panjang di sektor yang bernama pendidikan.

Wallahu’alam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 5

Comment here