Oleh: Ummu Khadijah
Wacana-edukasi com, OPINI– Pemilihan Umum akan dilaksanakan tidak lama lagi yaitu tepatnya tanggal 14 Februari 2024. Tentu ini waktu yang tidak banyak lagi bagi para kontestan pemilu. Saat ini adalah masa pencalonan. Pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota sampai dengan tanggal 25 November 2023. (kpu.go.id)
Tentu sudah banyak bakal calon yang telah mendaftar. Namun yang menjadi sorotan saat ini adalah Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis 12 nama calon anggota legislatif (caleg) mantan terpidana korupsi yang akan ikut berkontestasi dalam pileg 2024 mendatang. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, 12 nama caleg tersebut hasil temuan dari daftar calon sementara (DCS) yang dirilis 19 Agustus 2023.
Melihat daftar calon anggota legislatif dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal caleg, baik tingkat DPR RI maupun DPD RI, yang dipublikasikan pada 19 Agustus 2023 lalu. Tentu mengagetkan kita sebagai masyarakat. Mengapa begitu banyak mantan napi korupsi yang ingin menceburkan diri kembali dalam bidang ini?
Kasus Korupsi kian Meningkat
Wajar mantan narapidana kasus korupsi diperbolehkan menjadi caleg DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Izin soal narapidana menjadi caleg itu tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g. Dalam pasal tersebut, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD (Cnnindonesia.com, 22/8/2023).
Suara dan kritikan masyarakat menggaung sudah sejak lama. Mempertanyakan kenapa eks napi bisa menjadi pejabat? Sedangkan untuk mencari pekerjaan butuh yang namanya SKCK. Jika terdapat catatan pidana tentu tidak bisa diterima kerja di perusahaan swasta dan lain sebagainya.
Seharusnya hukum pidana yang telah dirasakan memberikan efek jera dan memberikan rasa enggan untuk menceburkan diri dalam bidang yang sama.
Alih-alih jera malah mau mengulang momen. Namun jika kita berpikir lebih dalam, sistem ini tentu menawarkan segudang kenikmatan yang membuat orang-orang berlomba meraih kursi kekuasaan.
Dengan modal pemilu yang lumayan besar seharusnya membuat para bacaleg mundur dari kontestan. Namun tentu balik modal lebih dari itu jika telah menjabat.
Dasar hukum mengenai gaji anggota DPRD diatur dalam PP Nomor 18 Tahun 2017 tentang hak keuangan dan administrasi pimpinan dan anggota DPRD dan Permendagri Nomor 62 Tahun 2017 tentang Pengelompokan Kemampuan Keuangan Daerah Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Dana Operasional. Sesuai dengan dasar hukum tersebut, gaji yang diterima DPRD terdiri dari beberapa komponen seperti uang representasi, tunjangan untuk keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan alat kelengkapan dan alat kelengkapan lain, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan reses, tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi.
Namun setiap daerah atau kota tentu ada perbedaan yang terletak pada nomimal tunjangan saja.
Untuk gaji pokok antara anggota DPRD dan pimpinan DPRD berkisar sekitar 4 juta rupiah hingga 5 juta rupiah per bulan.
Sejumlah penawaran yang diterima di atas tentu membuat tergiur banyak orang, sehingga membuat ketagihan untuk terus berada di dalam lingkar kursi kekuasan. Meski sudah pernah terjerat pidana korupsi. Tentu sama sama kita ketahui jika lihai dan pandai bermain kaki meraup uang dalam sistem ini. Yang lihai terus melanggeng di atas kursi kekuasaan dengan pencitraan apik dan penuh wibawa. Yang tersangkut kaki meringkuk di jeruji besi dengan sedikit penyesalan.
Berapa banyak legislatif yang tertangkap tangan dan tersandung kasus korupsi tetapi tidak mendatangkan efek jera.
Inilah bentuk penerapan hukum dalam sistem demokrasi Kapitalisme. Tak jarang hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Tahanan pun berbeda antara pejabat dan rakyat jelata. Apalagi jika kasus korupsi. Ada uang semua bisa. Dasar ini lah yang membuat kekuasaan terasa nikmat dan candu. Hukum tajam ke bawah tidaklah salah. Hukum seharusnya tajam terhadap siapa pun tanpa membedakan status sosial, mau pejabat atau pun rakyat jelata.
Apabila seseorang melakukan tindakan pidana, sudah semestinya orang tersebut dihukum sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada. Bahkan hukum yang tajam menunjukkan bahwa pengadilan pada negara tersebut cukup baik, hukum yang tajam memberikan efek jera pada seseorang dan menjadi pengimbau untuk masyarakat lain agar tidak melakukan tindak kejahatan yang serupa.
Namun faktanya apakah hukum yang diberikan memberikan efek jera? Dan memberikan rasa takut kepada seluruh warga Negara untuk tidak melakukan hal yang sama? Tentu jawaban nya bisa saja tidak. Karena kasus korupsi terus meningkat dan semakin bertambah dari tahun ketahun. Jika jera dan takut tentu tidak akan ada pengulangan dan penambahan yang sangat menakutkan. Terlepas kecil atau besarnya yang dirampok.
Islam Tegas Melawan Tindak Korupsi
Islam memberikan solusi yang paripurna terkait seluruh pengaturan dalam kehidupan manusia. Dalam sistem Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tidak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah Swt. di akhirat kelak.
Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, negara menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugas negara selalu merasa diawasi oleh Allah Swt.
Pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariat Islam, bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.
Terkait penerapan sanksi, tentu sangat tegas yang berefek jera. Dalam Islam, hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi secara terbuka, stigmatisasi masyarakat, peringatan bertahap, penyitaan harta, pengasingan, dan bisa berupa cambuk hingga hukuman mati. Sehingga tidak ada seorang pun yang berani melakukan perbuatan yang di larang oleh syariat Islam. Maka jika itu diterapkan masih adakah ada yang berani melakukan korupsi?
Wallahu’alam bish showab
Views: 7
Comment here