Oleh : Ummu Nayra
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Komisi IV DPR RI menyoroti kasus pencemaran limbah berbentuk tailing dari PT Freeport Indonesia yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah Timika, Papua. Anggota Komisi IV DPR RI Sulaeman L Hamzah dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, mengatakan pihaknya telah menerima aspirasi dari DPRD Papua tentang pencemaran limbah tersebut. “Dari dua sungai yang tadinya itu jadi alur pembuangan tailing ternyata sekarang melebar sampai jauh. Bahkan menutup sampai ke pulau dan masyarakat praktis tidak bisa jalan leluasa seperti sebelumnya,” kata Sulaeman.
Komisi IV menyatakan akan melakukan peninjauan ke Papua untuk mengetahui dampak kerusakan lingkungan dari limbah yang disebabkan oleh Freeport. Sulaeman menuturkan pencemaran limbah tailing telah berdampak terhadap mata pencaharian masyarakat setempat, karena laut tercemar hingga menimbulkan penyakit, terutama bagi anak-anak kecil yang kulitnya sensitif. Ia menambahkan masyarakat juga kesulitan untuk mencari air bersih sebab mereka harus mencari ke tempat yang jauh, ditambah akses jalan yang sulit karena adanya pendangkalan sungai. “Kami akan melakukan rapat dengar pendapat sekali lagi dengan mitra. Kami undang semua di Komisi untuk membahas bersama-sama melibatkan juga pimpinan daerah, gubernur, dan juga bupati, dan mungkin mitra lain yang juga akan kami libatkan,” kata Sulaeman.
Ironi, itulah yang tampak dari kasus pencemaran limbah tailing dari PT Freeport, yang terjadi di tanah Papua. Beroperasi selama lebih dari setengah abad, faktanya rakyat Papua tidak menikmati hasil dari tambang emas terbesar di dunia tersebut. Freeport mengeruk emas, sementara masyarakat hanya dapat ampas dan limbah, sampai terjadi kerusakan alam yang merugikan masyarakat Papua. Bagi warga Papua, khususnya wilayah Mimika, sungai adalah tempat mereka hidup dan mencari nafkah. Dan akibat dari pencemaran limbah tailing ini, sungai-sungai di Mimika tercemar, mereka sulit untuk mencari air bersih dan menyebabkan pendangkalan sungai. Sedangkan warga asli Papua, terutama suku Kamoro dan Sempan yang dikenal dengan budaya 3S (sungai, sampan, dan sagu), saat ini mulai hilang akibat efek pencemaran limbah tailing .
Kaya SDA, tetapi masyarakatnya merana dan sengsara. Begitulah Ironi Papua hari ini, sangat disayangkan rakyat yang harusnya bisa menikmati hasil dari sumber daya alam yang kita punya, akan tetapi rakyat sama sekali tidak bisa menikmatinya. Ini bukti dari salahnya pengelolaan SDA yang lahir dari sistem kapitalis, inilah biang kerok dari segala kerusakan yang terjadi. Keserakahan telah melalaikan penjagaan lingkungan yang penting untuk umat manusia, dan bahkan membahayakan kehidupan.
Keserakahan adalah watak sejati dari kapitalis, mereka tidak memikirkan bagaimana dampak yang terjadi, yang mereka pikirkan hanya keuntungan semata. Penerapan sistem kapitalisme yang membuka lebar pintu investasi asing dan liberalisasi serta eksploitasi SDA. Sifat bawaan kapitalisme yang rakus dan serakah akan selalu berujung pada kerugian banyak pihak, terutama manusia dan lingkungan.
Tentu hal ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Karena Islam memiliki aturan tertentu dalam pengelolaan SDA yang merupakan kepemilikan umum seluruh rakyat. Pengelolaan SDA oleh negara Islam tentu akan berjalan pada prinsip kemaslahatan umat sehingga lingkungan tetap terjaga, karena keberadaan lingkungan yang baik akan berpengaruh terhadap keberlangsungan kehidupan manusia. Dalam sistem Islam, masyarakat akan menikmati hasil SDA dengan merata, mudah dan murah. Karena dikelola berdasarkan syariat Islam, sementara SDA yang dikelola kapitalisme justru lebih banyak dinikmati kapitalis ataupun korporasi, karena merekalah pemilik modal yang akan menanamkan modalnya dan mengelolanya berdasarkan hawa nafsu semata.
Wallahu a’lam bish shawwab
Views: 2
Comment here