Oleh: Linggar Esty Hardini
(Aktivis Muslimah DIY)
wacana-edukasi.com– Batubara masih menjadi primadona bahan bakar dalam industri termasuk PLTU PLN, karena biaya yang lebih terjangkau dibandingkan dengan minyak dan gas. Hal tersebut menjadikan para kapitalis industri menggantungkan kelancaran usaha dan/atau kegiatan industri pada cadangan ketersediaan batubara. Selain digunakan di dalam negeri batubara juga diekspor ke luar negeri. Namun, pemerintah melalui Direktorat Jendral Mineral dan Batubara Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan kebijakan larangan ekspor batubara kepada perusahaan tambang batubara. Kebijakan tersebut berlaku dimulai dari 1 Januari hingga 31 Januari 2022.
Kebijakan pengereman laju ekspor batubara tentu bukan tanpa alasan. Defisit pasokan batubara di PLTU PLN menjadi alasan utama di mana cadangan batubara sudah di bawah batas aman. Kondisi ini menandakan bahwa ketahanan energi akan menghadapi krisis. Disampaikan juga oleh Andri Prasetyo, peneliti Trend Asia yang menyatakan bahwa keputusan pemerintah yang harus menarik rem darurat dengan menghentikan secara total ekspor batubara guna menjamin pasokan kebutuhan batubara domestik menunjukkan bahwa kondisi ketahanan energi kita benar-benar tidak aman dan diambang krisis (Suara.com, 05/01/2022).
Defisit batubara domestik lebih berkaitan dengan kewajiban pasok dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO). Pemerintah telah menentukan melalui Kementrian ESDM bahwa setiap perusahaan berkewajiban memasok sebesar 25% dari kapasitas produksi. Dari kewajiban yang dibebankan terhadap perusahaan, ternyata banyak yang melakukan pelanggaran DMO tersebut. Surat keputusan pelanggaran yang dilayangkan ada perusahaan juga tidak memberikan efek jera dan tidak mendorong pada kepatuhan.
Ketidakpatuhan pemenuhan DMO dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu harga batubara global yang melambung tinggi dan sistem Free on Board (FOB) yang diterapkan pada PLTU PLN. Maka jelas produsen dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) hingga Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) lebih memilih mengekspor daripada memenuhi pasokan DMO ke PLTU PLN karena nilai ekonominya yang lebih tinggi. Sistem FOB akan membuat nilai ekonomi batubara menjadi lebih rendah karena harga ditentukan berdasarkan harga barang dan tidak memperhitungkan asuransi dan ongkos kirim.
Di sisi lain tidak semua perusahaan batubara memproduksi batubara dengan spesifikasi kebutuhan batubara PLN. Sebagian besar pembangkit batubara PLN menggunakan kalori rendah. Sedangkan sebagian perusahaan batubara tidak memproduksi batubara kalori rendah atau hanya memproduksi batubara dengan nilai kalori di atas spesifikasi PLN (okezone.com, 04/01/2022). Selain itu beragamnya kapasitas produksi yang tercantum pada IUP juga mempengaruhi, hal ini terkait dengan nilai 25% yang ditetapkan. Jika perusahaan dengan IUP dengan kapasitas produksi kecil jelas akan sulit merealisasikan DMO 25% karena harga produksi akan semakin tinggi jika barang yang diproduksi semakiin sedikit terlebih pemenuhan DMO tersebut menggunakan sistem FOB sedangkan harga global terus naik.
Imbas dari Sistem Kapitalisme
Fakta defisitnya pasokan batubara hingga penyebabnya memperlihatkan bahwa sistem kapitalisme sangat menjunjung tinggi asas manfaat. Konflik kepentingan yang hanya mementingkan keuntungan materi dan tidak memikirkan kemaslahatan masyarakat. Padahal ancaman krisis energi yang terjadi akibat minimnya pasokan batubara akibat fluktuasi harga global akan terus berulang selagi pemerintah masih bergantung pada batubara (Suara.com, 05/01/2022). Hingga saat ini batubara masih mendominasi dalam sistem ketenagalistrikan nasional yang menyediakan layanan listrik kepada masyarakat. Ujung-ujungnya masyarakat lah yang terkena dampak dari kepentingan para kapitalis ini. Jika pemerintah tidak segera melakukan transisi energi nasional maka masyarakat harus membayar mahal listrik yang seharusnya menjadi salah satu pelayanan negara terhadap masyarakatnya.
Rusaknya sistem kapitalisme juga terlihat pada ketidakkonsistenan dalam pengambilan kebijakan karena sesungguhnya kebijakan yang dibuat selalu disesuaikan pesanan para kapitalis. Penutupan keran ekspor batubara yang telah diberlakukan oleh Kementrian ESDM dari tanggal 1 Januari hingga 31 Januari 2022 akhirnya dibuka kembali. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Manves), Luhut Binsar Pandjaitan memastikan ekspor batubara dibuka kembali 12 Januari 2022, pengumuman ini sekaligus menyelesaikan larangan ekspor batubara (ekonomi.bisnis.com, 12/01/2022). Tentu saja kebijakan tersebut diikuti dengan desakan negara-negara lain yang sempat melayangkan desakan agar pemerintah Indonesia membuka kembali kran ekspor batubara.
Alih-alih melakukan percepatan transisi energi nasional, pemerintah justru membuka kembali kran ekspor dan memberikan solusi yang syarat dengan kepentingan. Pemerintah mengklaim telah mengatasi pasokan DMO agar memenuhi sesuai dengan kebutuhan. Solusi tersebut adalah dengan mengubah skema Free on Board (FOB) menjadi skema Cost+Insurance+Freight (CIF). Artinya PLN tidak lagi membeli dengan harga barang saja melainkan harus membeli ke perusahaan dengan membayar harga barang, asuransi dan ongkos kirim. Jelas solusi ini hanya dibuat agar para kapitalis dapat menjual batubara ke domestik dengan harga yang lebih mahal. Lagi-lagi kebijakan yang diambil tidak mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Harga bahan bakar (fuel) pada PLN yang lebih mahal hanya akan menambah beban pajak listrik yang akan dibebankan kepada masyarakat.
Ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) pada sistem kapitalisme memang sangat terlihat dan mudah untuk diindera. Kebijakan hanya melayani para kapitalis. Inilah yang terjadi jika liberalisasi pengolahan SDA diterapkan. Para kapitalis akan semakin serakah dengan apa yang dimilikinya tanpa memperdulikan kemaslahatan masyarakat.
Islam, Mengutamakan Kemaslahatan Umat
Sungguh berbeda jika dibandingkan dengan sistem Islam yang mengatur dan mengolah sumber daya alam berporos pada kemaslahatan umat. Islam menetapkan sumber daya alam merupakan kepemilikan umum yang dikelola oleh negara dan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk masyarakat. Kalaupun dalam melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan distribusi melibatkan perusahaan, maka perusahaan akan dibayar sesuai dengan kerja yang dilakukan tanpa memiliki atau yang disebut sebagai service contract. Hal tersebut dikarenakan segala kepemilikan umum tidak dapat dialihkan kepada siapapun.
Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni menyatakan bahwa barang tambang yang tampak (zahir) merupakan milik umum, tidak boleh dimiliki secara privat dan dikuasakan kepada siapapun. Oleh kerena itu, maka batubara merupakan bahan tambang yang seharusnya dikelola oleh negara. Terlebih lagi batubara termasuk bahan tambang yang melimpah dan menguasai hajat orang banyak. Jika batubara yang merupakan salah satu sumber daya alam ciptaan Allah SWT dengan jumlah yang banyak dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat dimiliki oleh individu atau perusahaan, maka mereka akan berkuasa atas SDA yang dikuasainya dan akan menyulitkan masyarakat. Apabila individu atau perusahaan mengambil kompensasi atas SDA yang dikuasainya pasti akan membuatnya mahal. Maka dalam Islam SDA dikelola oleh negara secara mandiri dan tidak dapat dipengaruhi oleh perusahaan maupun negara manapun, sehingga hasil dari pengelolaan batubara akan membawa manfaat yang sebesar-besarnya pada masyarakat.
Wallahu A’lam Bish Shawab
Views: 15
Comment here