Opini

Pelayanan Kurang Optimal, TDL Kian Mahal

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Ummu Haneem (Aktivis Muslimah Peduli Negeri)

wacana-edukasi.com– Perekonomian masyarakat kian lesu. Rakyat menjerit pilu. Ditambah lagi, angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang kian hari merangkak naik membuat kepala jadi “ngelu”. Tribunnews (27/03/2021) memaparkan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyebut ada 29,4 juta orang terdampak pandemik Covid-19/ Jumlah itu termasuk mereka yang terkena PHK, dirumahkan tanpa upah hingga pengurangan jam kerja dan upah.

Satu lagi, topik bahasan yang baru-baru ini tengah jadi hot news, yakni pada awal tahun 2022 PT PLN akan melakukan pemangkasan subsidi listrik berkisar 8,13%. Dengan adanya pemangkasan tersebut, maka hal ini akan berdampak PLN harus menutup selisih tarif dari Rp61,53 triliun menjadi Rp56,5 triliun 2022. Artinya, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang ditanggung PLN menjadi lebih besar dari pada sebelumnya. Hal ini sebagaimana dirilis dalam Bisnis.com (05/12/2021). Rida Mulyana, Direktur jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyampaikan bahwa kenaikan tarif listrik setelah kebijakan tersebut diberlakukan, besarannya beraneka ragam untuk tiap-tiap golongan. Adapun estimasi kenaikan tarifnya per bulan, antara lain: untuk rumah tangga 900 VA naik Rp18.000, rumah tangga 1300 VA naik Rp10.800, golongan R2 tarifnya naik sekitar Rp31.000, golongan R3 berkisar Rp 101.000, dan angka terbombastis pada golongan industri besar, yaitu naiknya kurang lebih Rp2,9 miliar (30.000 KVA ke atas).

Di samping kenaikan TDL, sejumlah persoalan lainnya seputar kelistrikan masih terus saja terjadi. Di beberapa wilayah listrik mengalami byar-pet, sering terjadi pemadaman listrik, dan bahkan masih ada beberapa area yang belum mendapat aliran listrik.

Berdasarkan pada realita di atas, dapat disimpulkan bahwa sejumlah persoalan tersebut menunjukkan bahwa pelayanan di bidang kelistrikan masih kurang optimal. Jika dirunut, maka hal ini merupakan buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini membuat hubungan penguasa dan rakyat layaknya pedagang dan pembeli. Dalam hal ini, listrik menjadi komoditas barang yang diperjual-belikan. Pedagang berupaya mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Tak peduli, yang menjadi pembelinya adalah rakyatnya sendiri.

Mampukah Negara Menyediakan Listrik Gratis bagi Rakyat?
Kemudian, kondisi tersebut memunculkan sebuah perenungan, yang kemudian berbuntut pada satu pertanyaan, yakni “Tak mampukah negara menyediakan listrik gratis bagi rakyatnya?” Guna menjawab pertanyaan ini, perlu diadakan penelusuran mengenai jejak sumber daya energi sebagai pensuplai tenaga PLN.

Dilansir dari cnbcindonesia.com (15/11/2021), terdapat 10 pemasok batu bara tersebesar ke PLN, antara lain: PT Bukit Asam, Konsorsium PT Arutmin Indonesia dan PT Darma Henwa, PT Kaltim Prima Coal, PT Titan Infra Energy, PT Artha Daya Coalindo, PT Hanson Energy, PT Rizki Anugrah Pratama, PT PLN Batu Bara, Konsorsium PT Exploitasi Energi Indonesia, CV Multi Persada dan PT Borneo Indo Bara, serta Konsorsium PT Dwi Guna Laksana dan PT Borneo Indo Bara. Masing-masing dari 10 pemasok tersebut telah melakukan kontrak dengan PT PLN. Artinya, sejauh ini PT PLN telah bekerja sama dengan pihak-pihak swasta guna memperoleh pasokan batu bara, sehingga PLN dapat terus mengalirkan listrik ke rumah-rumah warga.

Aroma kapitalisasi semakin menyeruak di negeri ini. Hal ini nampak pada data di atas. Kerja sama antara PT PLN dan berbagai pihak swasta merupakan pintu masuk bagi para korporasi untuk meraup keuntungan. No free lunch today. Namanya kerja sama, tentunya ada penawaran win-win solution di antara para pembuat kesepakatan. Apalagi, dengan disahkannya Undang-Undang No.3 Tahun 2020 sebagai perubahan terhadap Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara. Tentunya, keberadaan UU ini memberi karpet merah bagi para korporasi. Keberadaan UU ini memperkuat Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2012, di mana pemerintah mendorong peran swasta untuk turut serta dalam penyediaan tenaga listrik.

Jika ditelisik lebih jauh, apa akibatnya bagi warga masyarakat? Jawabannya, mustahil warga bisa mendapat aliran listrik gratis. Kontrak sudah terjadi. Beban PLN semakin tinggi. Akhirnya, rakyat pula yang harus ikut menanggung biaya. Lagi-lagi, dikapitalisasi. Jika ongkos batu bara naik, maka Tarif Dasar Listrik (TDL) kian mahal.

Khilafah Mampu Menyediakan Listrik Gratis
Masalah kelistrikan termasuk dalam kategori api, maka pembahasan ini masuk pada bab milkiyah amah (kepemilikan umum). Secara definisi, kepemilikan umum adalah kepemilikan yang memiliki kemanfaatan besar bagi masyarakat dan menguasai hajat hidup orang banyak. Hal milik umum ini tidak bisa dialihkan menjadi hak individu dan tidak boleh dikuasai oleh negara. Akan tetapi, dalam hal ini negara boleh menjadi pengelolanya karena berperan sebagi wakil rakyat. Hasil pengelolaannya, dikembalikan untuk kemakmuran masyarakat.

Dalam sebuah hadis, Nabi Saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Api merupakan salah satu hal di antara tiga perkara yang diharamkan bagi sipapun untuk menguasainya karena kepemilikan tersebut adalah untuk umum. Maka dari itu, dalam Khilafah negara akan bertindak sebagai pengelola kelistrikan. Menangani masalah ketersediaan listrik dan memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat mengecap aliran listrik.

Selanjutnya, terkait tambang batu bara karena mampu menguasai hajat hidup orang banyak, maka tak selayaknya tambang itu diperbolehkan untuk dikuasai oleh swasta. Hal ini merujuk pada perbuatan Rasulullah Saw. sebagaimana dalam hadis berikut ini:

Abyadh bin Hammal ra. bercerita, ia pernah datang kepada Rasulullah Saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Beliau memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.” Ia berkata, Rasul lalu menariknya dari Abyadh bin Hammal. (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, dll).

Riwayat tersebut berkaitan dengan barang tambang garam, bukan garam itu sendiri. Pada mulanya, Rasul Saw. memberikan tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, ketika beliau diberitahu bahwa tambang itu laksana air yang terus mengalir, maka Rasul menariknya kembali dari Abyadh. Adapun maksud dari “laksana air yang terus mengalir” adalah cadangannya besar sekali, sehingga statusnya menjadi milik umum. Dikarenakan harta kepemilikan umum, maka pengelolaannya tidak boleh dikomersialkan. Dengan demikian, pemerintah harus berupaya menyediakan listrik murah, bahkan gratis bagi seluruh warganya.
Wallaahu’alam bish-showab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 6

Comment here