Opini

Pemalakan Rakyat Berkedok Penyelamatan Anggaran Negara

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Kanti Rahayu (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Wacana-edukasi.com, OPINI— Kebijakan pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% telah memicu beragam respons dari masyarakat. Banyak yang khawatir bahwa kebijakan ini akan berdampak signifikan terhadap daya beli, terutama bagi kelompok menengah yang selama ini menjadi pilar utama perekonomian nasional.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok menengah menyumbang sekitar 45% dari total konsumsi nasional. Dengan kenaikan PPN sebesar 1%, diperkirakan akan ada tambahan beban pengeluaran dari 200. 000 ribu sampai 500. 000 ribu per bulan bagi keluarga kelas menengah. Di sisi lain, Kementerian Keuangan menegaskan bahwa perubahan ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara. “Tambahan penerimaan dari kenaikan PPN ini akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan program kesejahteraan rakyat,” seperti disampaikan dalam laporan yang dilansir oleh Kumparan pada 23 Desember 2024.

Banyak pihak yang telah mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk menunda kenaikan tarif PPN hingga kondisi perekonomian lebih stabil. Lesunya daya beli masyarakat saat ini mengakibatkan penurunan permintaan dan penjualan di berbagai sektor. Jika kenaikan tarif tetap dilaksanakan, hal ini akan menjadi tantangan serius bagi dunia usaha, karena biaya produksi, barang, dan jasa otomatis akan meningkat, sementara daya beli konsumen tetap rendah. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Hariyadi Sukamdani, Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), yang menekankan bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menaikkan tarif PPN.

Kenaikan tarif PPN ini untuk meningkatkan pendapatan negara demi mendanai pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Selain itu, penyesuaian ini juga dimaksudkan agar Indonesia sejalan dengan standar internasional, mengingat PPN negara kita masih lebih rendah dibandingkan dengan negara lain. Namun, dampak terhadap daya beli masyarakat tidak dapat diabaikan. Penurunan konsumsi rumah tangga berisiko menjadi ancaman besar, mengingat hal ini merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi yang menyumbang lebih dari 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada dasarnya, peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara, tampaknya tidak sebanding dengan dampak yang dirasakan oleh perekonomian masyarakat. Terlebih lagi, ketika dikaitkan dengan pembiayaan pembangunan, realitas yang ada menunjukkan bahwa rakyat tidak merasakan manfaatnya. Sebaliknya, kebijakan ini justru lebih menguntungkan korporasi, sementara dana pajak seringkali disalahgunakan atau bahkan dikorupsi.

Klaim bahwa penyesuaian tarif ini dapat mengurangi utang negara juga merupakan pemahaman yang keliru. Hal ini terjadi karena konsep Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seringkali menggunakan sistem anggaran defisit, di mana pengeluaran melebihi pendapatan. Oleh karena itu, negara akan terus berutang meskipun ada peningkatan pendapatan dari PPN. Kebijakan yang diambil pun tidak selalu berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, melainkan merupakan konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalis di negeri ini.

Dalam sistem ekonomi kapitalis, pajak menjadi sumber utama pendapatan negara. Target penerimaan pajak selalu ditingkatkan setiap tahunnya, dan PPN termasuk yang memberikan kontribusi terbesar terhadap APBN, yakni sekitar 17-29%. Di lansir dari Bloomberg Technoz, Jakarta – Direktorat Jenderal Energi Baru 17 desember,Dari total pendapatan. Itu sebabnya pemerintah cenderung menaikkan tarif jenis pajak ini, karena relatif lebih mudah untuk dipungut, mengingat pajak ini tercatat dalam setiap transaksi ekonomi yang berkaitan dengan konsumsi. Hal ini juga membuat kemungkinan masyarakat untuk menghindari kewajiban pajak menjadi sangat kecil, sehingga pemungutan pajak dapat dilakukan dengan lebih efisien.

Dampak penerapan aturan kapitalisme sangat terlihat; penguasa hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Tugas mereka tampak selesai setelah memungut pajak dan mendistribusikannya dalam anggaran belanja negara, tanpa memperhatikan beban berat yang harus ditanggung oleh rakyat. Selain itu, distribusi anggaran sering kali tidak diarahkan untuk kepentingan masyarakat luas, melainkan digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang hanya menguntungkan segelintir pemilik modal.

Pengusaha-pengusaha yang diuntungkan dalam sistem ini bahkan mendapatkan perlakuan istimewa, seperti kebijakan sunset policy dan tax amnesty, dengan dalih untuk menarik investasi asing. Ini jelas sangat berbeda dengan pandangan Islam yang menempatkan rakyat sebagai tanggung jawab utama penguasa atau negara. Seperti sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Bukhari: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.

Seorang penguasa memiliki tanggung jawab yang besar terhadap urusan rakyat yang dipimpinnya, baik dalam pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, maupun dalam memastikan kesejahteraan mereka. Pembiayaan untuk semua ini berasal dari baitulmal, dengan pendapatan yang diperoleh dari berbagai sumber seperti fai dan kharaj (termasuk ganimah, status tanah, jizyah, dan dharibah), pengelolaan kekayaan umum (seperti migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, dan sumber daya alam lainnya), serta zakat dari harta individu, perdagangan, pertanian, dan peternakan.

Gambaran pengayoman negara terhadap rakyatnya terlihat jelas pada masa kepemimpinan Islam. Di era tersebut, pembangunan berlangsung merata, mencakup infrastruktur, masjid, sekolah, jalan umum, dan berbagai fasilitas lainnya. Anggaran di baitulmal pun selalu mencukupi, bahkan sering kali surplus. Kesejahteraan masyarakat terwujud dengan nyata, hingga terkadang sulit ditemukan mustahik zakat, seperti yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Dalam Islam, memang terdapat istilah pajak, yang termasuk dalam salah satu sumber pemasukan baitulmal. Namun, pemungutannya hanya dilakukan ketika kas negara kosong dan ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. Selain itu, pajak ini hanya dipungut dari pria Muslim yang kaya, tanpa membebani wanita, anak-anak, non-Muslim, atau fakir miskin. Pemungutan pun tidak berlangsung terus-menerus; setelah kebutuhan terpenuhi, aktivitas tersebut akan segera dihentikan.

Dengan demikian, keteraturan dan kesejahteraan hanya dapat terwujud ketika Islam dijadikan sebagai pedoman hidup. Melalui tegaknya syariat Allah di bawah sebuah kepemimpinan yang adil, semua hal ini akan tercapai dengan sempurna. Tidakkah kita merindukan keadaan yang demikian?

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 12

Comment here