Oleh: Ummu Haneem (Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Perih! Satu kata yang mewakili perasaan umat Nabi Muhammad Saw. saat ini. Pasalnya, pembakaran Al-Qur’an terus berulang. Meskipun umat Islam meradang, tetap saja tak diindahkan. Tampaknya Salwan Momika, si pelaku pembakaran Al-Qur’an di depan halaman masjid terbesar di Swedia tidak memiliki rasa gentar sedikit pun. Ia berani menorehkan luka pada saat umat Islam tengah bersuka cita merayakan momen Idul Adha.
Salwan adalah seorang ateis yang memiliki kebencian luar biasa terhadap Islam dan pemeluknya. Pasca membakar Al-Qur’an beberapa waktu lalu, dengan pongahnya ia mengatakan bahwa dalam waktu dekat ia akan kembali melakukan aksi serupa. Tentunya, apa yang dilakukan oleh Salwan ini termasuk perilaku tidak terpuji. Namun, mengapa aksinya itu justru dibiarkan?
Barat memang bermuka dua. Di satu sisi ia begitu gencar mempropagandakan Hak Asasi Manusia (HAM), tapi di sisi lain ia telah membuat luka yang begitu dalam kepada Islam dan pemeluknya. Logikanya, jika HAM itu benar-benar direalisasikan, maka setiap orang seharusnya menghormati agama dan pemeluk agama lain. Tidak menyakitinya, tidak menghina nabinya, tidak menistakan kitab sucinya, dan tidak pula menghancurkan tempat ibadahnya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Atas dasar kebebasan berekspresi dan berperilaku polisi Swedia telah memberikan izin kepada Salwan Momika untuk melakukan pembakaran terhadap Al-Qur’an. Dengan kata lain, tindakan Salwan itu adalah legal. Merujuk pada sindonews.com, disampaikan bahwa polisi Swedia memang telah memberinya izin karena aturan terkait perlindungan kebebasan berbicara (03/07/2023).
Banyak orang, lembaga, dan bahkan negara mengecam aksi tersebut. Salah satunya berasal dari Kementerian Luar Negeri Indonesia. Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam cuitannya “mengecam keras aksi provokatif” dan menyatakan “tindakan ini sangat mencederai perasaan umat Muslim dan tidak bisa dibenarkan.” (bbc.com, 30/06/2023).
Uni Eropa juga tidak tinggal diam. Mereka mengecam aksi provokatif tersebut. Hal ini sebagaimana dikutip dari jpnn.com, bahwa Uni Eropa (UE) menyatakan sikapnya untuk mengkritisi aksi pembakaran Al-Qur’an di Stockholm, Swedia (03/07/2023).
Meskipun kecaman demi kecaman telah dilontarkan, tapi hal tersebut tidak cukup ampuh untuk mencegah terjadinya aksi serupa. Bukankah yang sebelumnya juga sudah ada berbagai kecaman pula? Namun, hasilnya nihil. Pembakaran Al-Qur’an terus saja berulang.
Dilihat dari posisinya, posisi umat Islam saat ini sangatlah lemah. Padahal, jumlahnya mayoritas. Rupanya, sejak ketiadaan junnah atau perisai yang melindunginya dari serangan-serangan musuh, kini umat Islam tengah menjadi umat tak berdaya. Mudah dikerat-kerat oleh para serigala buas. Oleh karena itu, teramat wajar jika para pelaku pembakaran Al-Qur’an itu tidak takut saat mereka melakukan aksi provokatifnya.
Menyikapi persoalan di atas, umat Islam seharusnya bersatu padu untuk bangkit dari ketidakberdayaannya. Tidak mencukupkan diri dengan memberikan kecaman saja. Namun, lebih dari itu umat yang mendapat predikat sebagai umat terbaik dari sisi Allah ini sudah saatnya mengembalikan marwahnya sebagai umat terkemuka. Menjadi umat yang memiliki power, sehingga disegani oleh kawan maupun lawan. Dengan demikian, satu-satunya cara yang dilakukan adalah dengan mewujudkan kepemimpinan hakiki, yakni khilafah. Khilafah adalah harga mati. Tidak bisa ditawar lagi. Jika hal ini diwujudkan, tidak mustahil musuh-musuh tidak akan berani berbuat semena-mena lagi kepada Islam dan pemeluknya. Mengapa? Karena khilafah pasti akan bertindak secara tegas dalam memberikan sanksi kepada para penista.
Pada akhirnya, dapat ditarik benang merah kembali bahwa umat Islam butuh perisai dan sudah saatnya bersama-sama untuk mewujudkannya.
Wallaahu’alam bish-shawab.
Views: 6
Comment here