Oleh : Nia Umma Zhafran
wacana-edukasi.com, OPINI– Pemberitaan mengenai kasus korupsi tetap menjadi perhatian media serta menjadi himbaun keras bagi para pemangku kekuasaan yang telah diamanahi oleh rakyat. Seperti saat peresmian Gedung baru Inspektorat di lingkungan Pemkab Bandung, Rabu (24/1/2024), Bupati Bandung meminta kepada jajaran Inspektorat menjadi lembaga yang memberikan early warning atau peringatan dini bagi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) atau dinas di lingkungan Pemkab Bandung. Permintaan tersebut untuk mencegah tindakan korupsi dan juga dapat mengeliminasi potensi pelanggaran hukum serta demi mengejar target delapan kali raihan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. (BR.NET)
Apakah penanganan kasus korupsi dan penanganan hukumnya akan berpengaruh dalam pemberantasan kasus korupsi? Nyatanya, yang dirasakan justru kian hari kian menjadi. Tak ada satu bidangpun yang luput dari korupsi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2022, tercatat 579 kasus korupsi yang telah ditindak di negeri ini. Jumlah itu meningkt 8,63 % dari tahun sebelumnya sebanyak 533 kasus. Dari berbagai kasus tersebut sebanyak 1.396 orang yang dijadikan tersangka korupsi di dalam negeri. Jumlahnya juga naik 19,01 % dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 1.173 tersangka. (GoodStats)
Maraknya kasus korupsi di negeri ini menunjukkan bahwa kejahatan korupsi sudah begitu mengakar sampai-sampai menjadi sebuah budaya. Permasalahan korupsi ini menjadi PR besar bagi Indonesia. Tercatat dalam skala global pun Indonesia sebagai negara yang paling korup. Corruption Perceptions Index (CPI) tahun 2022 menunjukkan Indonesia berada di posisi ke-110 sebagai negara paling korup di dunia (yang dinilai ada 180 negara) dengan skor 34. Sedangkan di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia sebagai negara terkorup ke-5 setelah Myanmar, Laos, Kamboja, dan Filipina.
Hal ini menunjukkan betapa bobroknya sistem politik negeri ini. Dalam sistem politik yang sahih kecurangan tidak akan dibiarkan begitu saja. Sebaliknya, bila sistemnya batil (rusak), maka keburukan akan terus-menerus ada dengan macam gayanya, korupsi misalnya. Kejahatan ini menjadi kejahatan kronis dalam perkembangannya. Karena efek penerapan sistem politik Demokrasi Kapitalisme. Legalitas kekuasaan dalam sistem Demokrasi yang ditentukan oleh jumlah suara inilah pangkal dari bibit-bibit korupsi. Pasalnya kekuasaan dalam sistem demokrasi berorientasi pada pemanfaatan jabatan.
Dalam sistem Demokrasi rakyatlah yang justru mengurus pejabat bukan pejabat mengurus rakyat. Para pejabat juga mendapat berbagai fasilitas kesempatan memperkaya diri dan sebagainya. Akhirnya para calon pejabat akan berlomba-lomba untuk meraup suara dari rakyat. Hal ini yang tentunya membutuhkan modal yang besar untuk kampanye, pencalonan, membeli kursi kekuasaan serta sederet aturan main lainnya. Modal ini tidak akan cukup jika berasal dari kantong pribadi. Dari celah ini parabpemilik modal (kapital) diberi pintu masuk untuk berprtisipasi sebagai imbal baliknya ketika kekuasaan itu bisa diraih. Kepentingan para pemilik modal (kapital) pendukung harus dipermudah meskipun kepentingan tersebut justru merugikan rakyat.
Akibatnya, kekuasaan yang ada bukan untuk mengurus umat namun mengembalikan modal dan juga untuk memperkaya diri. Maka hal wajar jika kasus korupsi terus berlanjut dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi hanya dengan penangkapan, pemenjaraan apalagi dibolehkan mencalonkan diri mejadi pejabat sejatinya bukanlah tindakan pemberantasan, namun justru normalisasi kejahatan.
Sangat berbeda dengan politik Islam bernama Khilafah dalam mengusut tujtas kejahatan korupsi. Secara fiqih, fakta korupsi dihukum sebagai bentuk pengkhianatan. Sebab, para pelaku melakukan penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada mereka. Karena itu, agar pengkhianatan ini tidak terus menerus terjadi Islam memiliki sanksi tegas yang harus dijalankan negara tanpa pandang bulu. Sanksi bagi para koruptor adalah sanksi tazir, yakni sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh qadhi. Syaikh Abdurrahman al Maliki dalam kitab Nidzamul Uqubat menjelaskan bentuk sanksi ta’zir bisa mulai dari yang paling ringan seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku dihadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga yang paling berat dihukum mati atau dipancung. Berat ringannga hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.
Sanksi Islam yang diterapkan Daulah Khilafah akan menimbulkan dua efek sekaligus, yakni zawajir (sebagai pencegah agar masyarakat tidak melakukan hal serupa) dan jawabir (sebagai penebus dosa pelaku dan membuatnya jera). Selain sistem sanksi yang tegas, Islam juga memiliki meknisme pengusutan kasus korupsi yang efektif dan efisien, yakni dengan sistem pembuktian. Terbalik mekanismenya akan ada perhitungan kekayaan pejabat sebelum menjabat dan setelah menjabat. Jika terdapat harta yang tidak wajar, pejabat tersebut harus membuktikan darimana asal harta itu didapat. Jika tidak bisa membuktikan, maka harta tersebut dianggap harta korupsi.
Model pengusutan tersebut akan meminimalisir terbukanya celah kong kalikong antara pejabat dan petugas keadilan. Selanjutnya bukti sebagai harta korupsi dihukumi sebagai harta ghulul. Maka Daulah Khilafah akan mengambil seluruh harta ghulul penjabat tersebut dan memasukkannya kedalam pos kepemilikan (Baitul Mal), pos kepemilikan negara dengan sistem sanksi yang tegas, pengusutan kasus yang cepat atau efektif dan efisien serta pengambilan seluruh harta ghulul tentu akan membuat para koruptor berpikir. Berpikir berkali-kali jika ingin melakukan pengkhianatan.
Namun sebelum tindakan kuratif ini dijalankan, Khilafah memiliki tindakan preventif, yakni yang pertama merekrutmen aparat negara berasaskan profesionalitas dan integritas bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Para SDM tersebut harus memenuhi kriteria kifayah atau kapabilitas dan berkepribadian Islam (Syahsiyah Islamiah). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR.Bukhari)
Kedua, Khilafah wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pejabat negaranya. Ketiga, Khilafah wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparat pejabat negara. Upaya ini dilakukan agar mereka fokus dan totalitas membantu Khalifah mengurus rakyat. Abu Ubaidah pernah berkata kepada Khalifah Umar, “cukupilah para pegawaimu agar mereka tidak berkhianat. Keempat, para pejabat negara haram menerima suap dan hadiah. Kelima, Khilafah akan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara secara berkala. Demikianlah solusi tuntas pemberantasan korupsi dalam Khilafah.
WalLaahu ‘alam bisshawab.
Views: 14
Comment here