Oleh : Melani N
wacana-edukasi.com, OPINI– Beberapa bulan ini, kasus korupsi masih mewarnai pemberitaan di media social. Tikus tikus berdasi semakin merajalela, pertanda bahwa negeri ini sedang dilanda penyakit. Nama Syahrul Yasin Limpo yang merupakan mantan Menteri Pertanian saat ini tengah menjadi sorotan, terkait kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan). Sinyal dugaan keterlibatan Syahrul dalam kasus rasuah ini semakin menguat, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah dinas Syahrul dan kantor Kementan. Tim penyidik KPK menemukan sejumlah dokumen dan uang senilai miliaran rupiah, serta12 pucuk senjata api. Kasus rasuah di lembaga Kementrian Pertanian semakin menambah kelam deretan sejumlah kasus korupsi di negara ini. Bagai penyakit menular, geliat penularannya sangat masif.
Tidak hanya sampai disitu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menerima 2.707 laporan dugaan korupsi selama periode semester I di tahun 2023. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan, laporan tersebut berasal dari lingkungan Pemerintahan.
“Laporan ini terkait dengan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi di kementerian atau lembaga atau pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten maupun kota di BUMN maupun BUMD,” kata Tanak melalui konferensi virtual pada Senin (14/8/2023.Kata Data).
Menurut Carl J Frederich, seorang ilmuwan politik dan seorang penulis di bidang hukum dan konstitusi, korupsi didefinisikan sebagai sesuatu yang ada kapan pun bagi pemegang kekuasaan, yang ditugaskan untuk melakukan hal hal tertentu, contoh: yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan fungsi tertentu, atau pimpinan kantor yang dengan uang atau imbalan, yang tidak diupayakan secara legal dipengaruhi untuk melakukan tindakan tindakan, yang memberikan keuntungan kepada siapa saja untuk mengupayakan imbalan, sehingga merusak publik dan kepentingannya. Dari penjelasan ini, bila dilihat dari sudut pandang lembaga publik, tindakan korupsi sangat mudah dilakukan oleh posisi posisi di lembaga publik, seperti lembaga Pemerintahan.
Bila ditelisik lebih dalam, sejatinya akar persoalan korupsi adalah diterapkannya sistem kapitalis sekuler di negri ini. Keberadaan pejabat yang berada dalam lembaga, yang bertugas sebagai pelayan masyarakat, dan mereka digaji untuk melayani masyarakat, seharusnya mereka memberikan contoh yang baik di tengah tengah masyarakat. Karena apa yang mereka lakukan tidak terlepas dari pengamatan dan perhatian masyarakat.
Berawal dari mekanisme proses politik yang rumit dengan biaya yang sangat mahal, proses ini telah melahirkan politisi dan pejabat Pemerintah yang korup. Mereka terkungkung dengan utang politik, guna memenuhi jabatan. Seorang politisi atau pejabat pasti akan melewati hajatan demokrasi yang memusingkan, dengan biaya yang besar. Setiap posisi yang dipangku ada harga yang harus dibayar, begitu juga orang yang menjabat Menteri, tentu harus mempunyai akses kekuasaan baik itu anggota dewan dari partai yang diikuti, atau pihak eksekutif dari tim sukses Presiden. Semua membutuhkan akses politik dan juga biaya yang sangat besar. Dari sinilah tindakan korupsi dijadikan jalan keluar untuk mengganti biaya selama mengikuti ajang pesta demokrasi.
Dengan proses seperti itu, tentu hanya orang orang yang mempunyai modal besar yang dapat menduduki kursi jabatan. Dan didukung oleh orang orang yang memiliki uang, yang nantinya ikut cawe cawe dalam posisi jabatan. Mereka yang menentukan pengisi jabatan publik, tentu para politisi yang memenuhi kriteria yang mendukung kepentingan mereka.
Maka sistem kapitalis demokrasi akan terus memproduksi para koruptor yang siap menebarkan virus korupsi. Dan pada akhirnya nasib negara ini ditentukan oleh mereka. Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi pun tidak mampu memberantasnya, dikarenakan kondisinya lemah dan tidak berdaya, setelah statusnya tidak independen lagi, kinerjanya pun dikontrol oleh rezim saat ini. Sehingga tidak heran peningkatan korupsi semakin masif.
Berbeda dalam Islam, dalam Islam jabatan adalah amanah, yang kelak di akhirat akan dimintai pertanggung jawaban. Ketaatan individu dibangun atas dasar akidah Islam. Ketika ketaqwaan terwujud maka akan tercetak manusia yang berkarakter Islam, professional dan amanah. Aturan Islam menjadikan orang orang yang diamanahi jabatan, menjadi pribadi yang takut melakukan korupsi, karena mereka merasa bahwa segala perbuatan akan diawasi oleh Allah. Bahkan dalam sejarah Umar Bin Khathab RA, beliau tidak segan segan menyita harta pejabat daerah yang telah terindikasi menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi.
Oleh karena itu hukum Islam harus diterapkan di negri ini. Karena hanya Islam yang dapat menjadikan individu dan masyarakatnya menjadi garda terdepan dalam mengoreksi penguasa. Dan negara yang menerapkan Islam akan memberikan sanksi yang berat terhadap pelaku korupsi, dari mulai sanksi potong tangan hingga hukuman mati. Maka sudah saatnya negri ini mengubah sistem demokrasi yang sarat dengan biaya mahal, yang melahirkan praktik korupsi, menjadi sistem yang lebih efisien yaitu sistem Islam.
Wallahu a’lam bisshowab.
Views: 27
Comment here