Oleh: Ayu Hamzah
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Bantuan sosial (bansos) dan subsidi yang diadakan pemerintah guna menutup tirani gelap kebijakan kenaikan pajak negeri tuai pro kontra. Pasalnya bantuan semacam ini sering kali membuai pandangan masyarakat untuk tetap menerima kebijakan yang ada. Layaknya uang tutup mata, persoalan ini bukan lagi masalah sepele melainkan masalah berakar yang mesti dituntaskan.
Baru-baru ini, masyarakat terus berdebat mengenai kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%. Pernyataan yang banyak ditolak secara gamblang oleh masyarakat ini, memaksa pembuat aturan untuk segera mengatasi keributan yang terjadi. Demo yang terjadi dimana-mana, ditambah dengan desakan penolakan dari masyarakat tentunya cukup sebagai peringatan bagi pemerintah untuk kaji kembali aturan kenaikan ini.
Sementara itu, pemerintah mencoba memperbaiki keadaan dengan mematangkan data dan skema penerima bantuan sosial (bansos), terutama bagi kelas menengah yang terdampak kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025. Pemerintah baru saja mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Salah satu kebijakan yang diumumkan yaitu terkait pembebasan PPN atas listrik dan air. Selain penawaran pembebasan PPN listrik, pemerintah juga memutuskan untuk memberikan diskon 50% tarif listrik untuk pelanggan 2.200 Watt ke bawah.
Dampak kenaikan PPN tampaknya mulai memunculkan angin segar bagi sektor lain meskipun masih meliputi perancangan tak berdasar. Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menegaskan bahwa kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen tetap memperhatikan pelindungan bagi pekerja atau buruh, khususnya mereka yang bekerja di sektor padat karya dan yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK).
~Kebijakan Populis
Para pengamat tentunya paham dari pola yang semakin jelas ini, namun tidak sedikit masyarakat awam masih percaya muslihat yang terus digeruskan rezim kapitalis. Bukan representasi prasangka buruk namun pada faktanya, kelihaian ala sistem saat ini ibarat tinggal menunggu tanggal main. Ada kalanya masyarakat dimanja, namun ujung-ujungnya akan dilupakan. Sebagian besar masyarakat bahkan mulai memahami apa yang terjadi dengan semua ke otoriteran yang menyelimuti dunia perpolitikan Indonesia. Jebakan batman kerap dialami masyarakat sebagai korban. Setelah terbang tinggi lalu dijatuhkan sekeras-kerasnya. Itulah ibarat masyarakat dengan rezim sekarang.
Diskon listrik dan bansos lain yang dijanjikan tidak lain merupakan kebijakan populis yang terbukti mengatasi persoalan secara tambal sulam. Masyarakat dikenakan biaya rendah saat membayar listrik namun terbebani saat memenuhi kebutuhan pokok lain yang terdampak secara langsung oleh kenaikan PPN. Diketahui pula dengan diskon listrik ini, pihak PLN menyatakan kekhawatiran mereka akan merugi Rp 10 triliun, akhirnya mau tidak mau kerugian mereka akan diganti dengan dana APBN, padahal sumber APBN terafiliasi langsung dengan pajak yang dibebankan pada rakyat. Bungkusan ‘cantik’ yang dikemas apik ini boleh jadi menjadi beban yang semakin menyengsarakan rakyat kecil tidak hari ini namun dikemudian hari akan terasa perihnya.
Semestinya kenaikan PPN tidaklah terjadi jika pemerintah masih mengakui mereka layak bekerja. Sebab konsekuensi dari kenaikan PPN bukan hal remeh, melainkan mempengaruhi panjang umur perekonomian Indonesia nantinya. Siapakah yang bertanggung jawab? Para pejabat atau masyarakat yang terus menjadi tumbal?
Islam memiliki sistem ekonomi yang tidak hanya dapat menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, tetapi juga mendasarkan kebijakan pada prinsip keadilan dan kemakmuran yang merata.
Kenaikan PPN adalah salah satu konsekuensi dalam sistem kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara untuk membiayai proyek pembangunan. Mirisnya hasil pembangunan tak dinikmati semua rakyat. beginilah keadaan keadilan di negeri kita sekarang. Sulit sekali mencari kebenaran diantara kusutnya benang tata kelola sistem kapitalis sekuler. Sudahlah rusak aturannya, rusak pula adab dan pemikiran pemangku jabatannya.
Dalam Islam, pajak bukan sumber pendapatan negara, dan diberlakukan hanya pada kondisi kas negara kosong serta ada pembangunan yang wajib dilaksanakan. Itupun hanya pada rakyat yang mampu. Islam mewajibkan penguasa berbuat baik dan memenuhi kebutuhan pokok rakyat, karena penguasa adalah raa’in. Profil penguasa dalam Islam menjadi kunci lahirnya kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Islam memiliki sumber pendapatan yang beragam yang akan mampu membiayai pembangunan dan menciptakan kesejahteraan rakyat individu per individu. Persoalan diskon listrik tidak menjadi persoalan karena Daulah Islam sudah menjamin setiap individunya berhak mendapatkan salah satu kebutuhan pokok tersebut.
Keistimewaan pengaturan ekonomi dalam Islam hanya bisa bisa diwujudkan bila Islam ditegakkan sempurna di muka bumi. Islam yang kaffah, adalah kunci tata Negara yang tidak berpihak pada segelintir penguasa atau pejabat budak nafsu. Islam juga menegaskan pemimpin umat kelak ialah orang yang memiliki ketakwaan yang tinggi sehingga kekuasaan dan harta bukan prioritas hidupnya, melainkan bertugas dengan rasa takut dan was was akan pertanggung jawaban di akhirat.
Regulasi kepemilikan yang terkendali dalam sistem Islam juga menjadikan Negara memiliki kas pribadi yang datangnya dari berbagai macam sumber salah stau contohnya seperti kekayaan sumber daya alam, yang sekarang naasnya sedang dikuasai swasta asing.
Demikian Islam mengatur ekonomi, politik hingga individu umat yang mencerminkan peradaban emas lagi mulia di muka bumi, tidak mustahil semua keindahan Islam akan terwujud bila diterapkan sebagai hukum yang memayungi kehidupan manusia. Bukan hanya bermanfaat namun juga sesuai dengan syariat-Nya.
Views: 0
Comment here