Oleh Ikhtiyatoh, S.Sos.
(Kontributor Media, Pemerhati Sosial dan Politik)
Wacana-edukasi.com Terpilihnya Perdana Menteri Israel baru, Naftali Bennet tidak berarti mengubah arah kebijakan Israel lebih soft dari sebelumnya. Bisa jadi sama buruknya atau lebih buruk dari pemerintahan yang dipimpin Benjamin Netanyahu. Buktinya, Parade Bendera Israel yang melewati Kota Tua Yerussalem mendapat izin dari pemerintahan baru tersebut (15/6).
Parade Nasionalis Israel untuk merayakan perebutan Yerusalem Timur (1967) harusnya dilaksanakan tanggal 10 Mei tetapi ditunda karena terjadi ketegangan Israel-Palestina.
Dukungan Masyarakat Dunia
Gencatan senjata yang disepakati Israel-Palestina sendiri tampak rapuh. Israel tetap melakukan penyerangan terhadap warga Gaza, memasuki Masjidilaqsa dan melakukan tindakan kekerasan. Upaya ‘Gencatan Senjata Permanen’ yang dimediasi oleh Mesir pun belum menampakkan hasil. Aksi parade kontroversial tersebut tentu akan membuat konflik Israel-Palestina kembali memanas. Hamas sendiri telah mengecam dan mengancam serta menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk arogansi.
Benar saja. Jet tempur Israel kembali menyerang kompleks yang dituding sebagai tempat persembunyian Hamas di Gaza Rabu, dini hari (16/6). Israel mengklaim tindakan tersebut merupakan balasan atas peluncuran balon beramunisi oleh Hamas yang membakar ladang warga Israel. Bahkan Israel mengaku siap dengan pertempuran baru menghadapi teroris Palestina (cnbcindonesia.com, 16/6/2021).
Meskipun Amerika selama ini terang-terangan mendukung Israel, Palestina justru terus mendapat dukungan masyarakat dunia. Dukungan terlihat saat terjadi perang 11 hari bulan Mei lalu. Ribuan massa aksi bela Palestina tumpah ruah di jalanan di berbagai belahan dunia. Di Australia, Kanada, USA, Inggris, Spanyol, Prancis, Malaysia, termasuk Indonesia. Dukungan terhadap Palestina muncul dari Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, termasuk Maluku Utara.
Sayangnya, muncul beberapa video Tik tok pelajar Indonesia melakukan penghinaan terhadap Palestina dan viral. Media sosial pun turut diramaikan oleh simpatisan Zionis yang membangun narasi seolah Israel yang terzalimi.
Di saat yang bersamaan, netizen menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang menolak pembahasan resolusi Responsibility to Protect (R2P). Penolakan tersebut terjadi saat pengambilan suara di United Nations General Assembly (UNGA) atau Sidang majelis Umum PBB pada Selasa (18/5). Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid juga menyayangkan sikap tersebut. Usman menyatakatan penolakan tersebut menunjukan rendahnya komitmen Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM di dunia (nasional.kompas.com, 21/5/2021).
Padahal sebelumnya, Presiden RI Jokowi mengeluarkan pernyataan bersama Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin dan Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah. Pernyataan bersama tersebut berisikan kecaman serta desakan terhadap komunitas internasional untuk mengadili pelanggaran hukum Internasional yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina. Ketiga pemimpin negara tersebut juga meminta pengiriman pasukan perdamaian di Yerusalem Timur guna menjaga hak rakyat Palestina (kompas.com, 17/5/2021).
Alasan Melakukan Pembelaan
Jika dirunut ke belakang, bibit krisis Israel-Palestina berawal dari Deklarasi Balfour (1917) di mana Inggris menjanjikan Yahudi ‘nasional home’. Kekalahan Ottoman pada Perang Dunia I harus merelakan wilayahnya kepada negara pemenang. Pada tahun 1923, Liga Bangsa-bangsa menyerahkan Palestina kepada Inggris. Terjadilah eksodus orang Yahudi besar-besaran dari Eropa ke Palestina hingga tahun 1948. Pada tahun 1947, PBB mengeluarkan resolusi yang membagi wilayah 45% untuk Palestina dan 55% untuk Israel.
Konflik dua negara ini tidak sesederhana tawuran anak STM ataupun bentrokan antar kampung. Ada peran negara adidaya yang menjadikan krisis Israel-Palestina berlangsung begitu lama. Terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden Amerika awalnya memberi harapan besar akan perdamaian dunia. Namun, Biden justru menunjukkan keberpihakannya secara terang-terangan terhadap Israel. Biden menyatakan Israel berhak membela diri dari serangan teroris Hamas.
Meski Israel-sekutu mengklaim menyerang Hamas tetapi korban warga sipil tak bisa diremehkan. Kementerian Kesehatan Palestina menyebutkan 248 warga Palestina termasuk 66 anak-anak meninggal dunia. Dua dokter dan kepala medis RS Syifa turut menjadi korban. Lebih dari 1.900 orang termasuk 560 anak-anak terluka. Hancurnya pemukiman serta fasilitas umum dan pemerintah mengakibatkan 91.000 orang harus mengungsi (cnbcindonesia.com, 22/5/2021).
Dikutip dari laman news.detik.com, Biden berjanji akan membangun kembali. Namun, Biden meminta Palestina mengakui hak keberadaan Israel. Menurut Biden, satu-satunya solusi perdamaian adalah berdirinya negara Palestina berdaulat berdampingan negara Israel dengan Yerusalem sebagai ibu kota bersama. Sebelumnya, kebijakan Donald Trump dikritisi yaitu mencetuskan negara Palestina dengan kedaulatan terbatas dimana keamanan wilayah dijaga Israel (22/5/2021).
Amerika sudah beberapa kali menggunakan hak vetonya menolak resolusi PBB dalam upaya meredam konflik Israel-Palestina. Nampaknya, kita (masyarakat Indonesia) membutuhkan alasan dalam bersikap. Sikap untuk tetap mendukung Palestina ataupun beralih mendukung Israel tentu dipengaruhi oleh pemahaman kita akan kedua negara tersebut.
Jika, seseorang memiliki pemahaman Hamas adalah teroris, maka ia akan mendukung Israel untuk menghancurkan Hamas sampai ke akar-akarnya. Meski harus mengorbankan warga sipil, anak-anak dan wanita yang tak berdosa. Sebaliknya, seseorang akan membela Palestina jika memiliki pemahaman Palestina adalah negeri terjajah. Ada pendudukan, perampasan wilayah, penindasan, pengusiran serta aksi teror lainnya. Sekecil apapaun upaya pembelaan ataupun dukungan akan memperjelas posisi seseorang berada di pihak mana.
Peran Media Mengubah Dunia
Kemerdekaan suatu negara, membutuhkan dukungan dan pengakuan negara lain. Bagi sebagian orang, alasan penjajahan, pendudukan dan perampasan hak cukup menjadi dasar untuk mendukung Palestina. Apatah lagi jika mengingat dukungan Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia. Setidaknya ada rasa utang budi kita, jika sila kedua Pancasila dan pembukaan UUD 1945 tidak cukup sebagai alasan membela Palestina.
Tentu peran media dalam membentuk pemahaman seseorang sangat besar. Media berperan membentuk pemahaman seseorang hingga mampu mengubah dunia. Apa yang kita baca, kita lihat ataupun dengar menentukan siapa diri kita. Menjadi penting untuk memfilter berita di saat framing buruk terhadap para pejuang semakin masif. Siapa saja yang tidak mengetahui sejarah panjang krisis Palestina-Israel akan terkecoh.
Jika melihat rentetan kejadian yang ada, maka gencatan senjata bukanlah kemenangan apalagi dianggap sebagai jalan kemerdekaan. Upaya pertahanan yang dilakukan warga Palestina sama halnya dengan upaya yang dilakukan masyarakat Indonesia saat masih dijajah. Para pejuang kemerdekaan Indonesia pun dicap sebagai ekstremis.
Dukungan masyarakat Indonesia selama ini baik berupa aksi damai, bantuan dana, makanan, obat-obatan, tenaga medis, hingga RS Indonesia di Gaza adalah bukti cinta dan persahabatan masyarakat Indonesia-Palestina. Meski bantuan tersebut belum mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan tetapi setidaknya mengurangi luka.
Di saat dukungan dari masyarakat Indonesia sangat besar, sudah saatnya pemerintah Indonesia secara resmi mengirimkan bantuan militer. Demi penghapusan penjajahan di muka bumi. Seperti apa yang tercantum dalam kesepakatan bersama pemerintah Indonesia, Malaysia ,dan Brunei Darussalam. Untuk mempertegas posisi Indonesia atas krisis Israel-Palestina. Akhirnya, tidak harus menjadi muslim untuk membela Palestina, tetapi cukup menjadi seorang manusia.
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 2
Comment here