Opini

Pemilu 2024 ODGJ Ikut Memilih, Haruskah?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Dwi D.R.

wacana-edukasi.com, OPINI– Tidak terasa kini sudah dipenghujung tahun. Hari demi hari berlalu, waktu tak pernah berhenti untuk menunggu apapun dan siapapun. Pemilu 2024 semakin dekat, gembar-gembornya sudah mewarnai di setiap tayangan layar televisi dan bergentayangan di media sosial tanpa henti. Sebagian orang kini tengah sibuk membela calon pemimpin pilihannya. Sementara yang lainnya juga sibuk untuk menumbangkan kontestan pemilu lainnya, agar pilihannya lah yang keluar sebagai pemenang dalam Pemilu 2024.

Dilansir news.detik.com (16/12/2023) bahwa KPU DKI (Jakarta) memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) untuk memilih hak suara pada Pemilu tahun 2024 nanti. Sekitar Ribuan ODGJ di Jakarta berhak mencoblos pada Pemilu nanti yang akan didampingi langsung oleh KPU. Anggota Divisi Data dan Informasi KPU DKI Jakarta, Fahmi Zikrillah menyampaikan bahwa ODGJ tetap diberikan kesempatan sebagai pemilih pada Pemilu tahun 2024. Sehingga hak suaranya dapat diperhitungkan dalam Pemilu nanti.

ODGJ Dimasukkan Sebagai Pemilih

Dalam sistem politik demokrasi, kedudukan pemilih sangatlah penting, sebab suara mereka menjadi penentu nasib para kontestan dalam pemilu. Kontestan yang memiliki suara terbanyak akan menjadi pemenangnya. Sehingga pemilih dalam Pemilu menjadi salah satu objek yang berpotensi bermasalah. Awalnya ODGJ tidak dimasukkan sebagai pemilih dalam pemilu di negeri ini. Hal ini berdasarkan UU Pemilu yang terdapat 6 syarat yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh pemilih. Salah satunya adalah “sedang tidak terganggu jiwa atau ingatan”.

Namun, menjelang Pemilu pada tahun 2014, syarat “tidak sedang terganggu jiwa dan ingatan” ini pun menimbulkan polemik. Serta menjadi perbincangan politik menjelang Pemilu tahun 2019. Hingga pada Pemilu 2019 Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan syarat “tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan” bertentangan dengan konstitusi sepanjang gangguan jiwa atau ingatan tidak diartikan sebagai gangguan jiwa atau ingatan yang permanen. Menurut profesional di bidang kesehatan Keputusan MK inilah yang menjadi pedoman KPU untuk menetapkan ODGJ sebagai Pemilih.

Perubahan peraturan mengenai hak pilih dalam sistem demokrasi sejatinya menunjukkan bahwa perubahan regulasi dalam sistem demokrasi adalah hal dianggap wajar. Bahkan regulasi (aturan) terkait pemilih di kalangan ODGJ ini diduga kuat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup suara. Hal ini menunjukkan negara memiliki standar ganda dalam menentukan kebijakan-kebijakannya. Karena, seharusnya dalam memilih pemimpin seseorang harus memilih dengan penuh kesadaran bukan dalam keadaan terganggu jiwa dan ingatannya. Namun, dalam sistem ini justru mereka diperalat untuk menambah suara dalam pemilu.

Pada faktanya, negara memberikan perlakuan yang berbeda terhadap ODGJ dalam perkara lainnya. Seperti dalam kasus kriminalisasi ulama yang sering terjadi beberapa tahun terakhir, pelaku yang kebanyakan berasal dari ODGJ justru dibebaskan atau tidak diberi sanksi. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui ODGJ tidak memahami konsekuensi atas aktivitas-aktivitasnya (perilaku/perbuatannya) dan tidak mampu berpikir benar.

Dengan demikian, masalah ini tidak hanya berkaitan dengan penghormatan atas hak politik dan kewarganegaraan ODGJ. Lebih dari itu, berkaitan dengan kebijakan politisasi ODGJ oleh pihak-pihak tertentu demi meraih kekuasaan atau memenangkan pemilu.

Hal ini telah membuktikan bahwa sistem demokrasi telah membuka celah bagi orang yang memiliki kekuatan dan modal untuk melakukan politisasi pada ODGJ. Apalagi kekuasaan yang didapatkan hanya untuk memperkaya diri bukan untuk menyejahterakan rakyat. Terlihatlah tabiat sistem demokrasi yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Sistem demokrasi juga merupakan sistem batil yang berasal dari akal manusia yang lemah. Sehingga, tidak layak diterapkan dalam kehidupan umat manusia.

Politik Islam Pengurusan Urusan Umat

Politik Islam didasarkan pada aqidah islam yang lurus, yang memandang bahwa Allah SWT adalah Al Khalik (Sang Pencipta) dan Al Mudabbir (Pengatur Kehidupan). Sehingga, praktik politik dalam Islam wajib dijalankan sesuai dengan syariat dan wajib ditegakkan oleh semua pihak, penguasa hingga rakyatnya.

Dalam Chanel Youtube Muslimah Media Center menyebutkan bahwa Politik dalam Islam adalah ri’ayah syu’unil ummah atau pengurusan urusan umat dengan syariat Islam. Sehingga, politik tidak hanya dimaknai sebagai kekuasaan saja. Islam memandang bahwa kekuasaan adalah sarana untuk menerapkan hukum-hukum syara’. Sebab kedaulatan ada di tangan asy-syar’i sebagai pembuat hukum, yaitu Allah SWT.

Dalam Politik Islam, rakyat diikutsertakan dalam memilih seorang Khalifah (pemimpin negara). Dan telah ditetapkan pula syarat-syarat sah kepemimpinan. Di antaranya seorang muslim, laki-laki yang sudah baligh, berakal, adil, dan merdeka, serta mampu melaksanakan amanah ke-Khilafah-an.
Islam juga telah menetapkan metode baku dalam pengangkatan pemimpin, yaitu baiat.

Sedangkan pemilihan rakyat secara langsung hanya salah satu cara untuk memilih pemimpin setelah Mahkamah Mazhalim menetapkan calon Khalifah yang lolos verifikasi. Mereka tentulah harus orang-orang yang berakal, bukan orang dengan gangguan jiwa dan ingatan (ODGJ).

Islam memfungsikan akal sebagaimana tujuan diciptakannya akal oleh Allah SWT untuk memahami hakikat hidup sebagai hamba Allah. Selain itu, memahami Al Quran sebagai petunjuk hidup. Islam mengakui ODGJ sebagai makhluk Allah yang wajib dipenuhi kebutuhannya. Namun tidak mendapatkan beban amanah, termasuk dalam memilih pemimpin.

Rasulullah SAW bersabda: “Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: 1) orang yang tidur sampai ia bangun, 2) anak kecil sampai mimpi basah (baligh), dan 3) orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (H.R. Abu Dawud)

ODGJ dalam Khilafah jarang ditemui, mengingat kesejahteraan dan keadilan dirasakan oleh umat manusia sebagai kerahmatan yang merupakan konsekuensi penerapan Islam secara kaffah (menyelurh). Khilafah mampu menghindari rakyat dari kemiskinan dan kedzaliman yang dalam sistem hari ini menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa.

Demikianlah sistem politik Islam yang mampu mencetak pemimpin yang berkualitas dengan tetap memperhatikan kemaslahatan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Wallohu’alam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 13

Comment here