Opini

Pemilu dalam Demokrasi, Sekadar Ajang Pertarungan Kepentingan

blank
Bagikan di media sosialmu


Oleh : Melani N

wacana-edukasi.com, OPINI-– Pemilihan Umum (Pemilu) tinggal menghitung hari. Pemilu merupakan penghelatan yang diselenggarakan lima tahun sekali,untuk pemilihan caleg dan capres.

Seperti halnya suasana pemilihan pada umumnya, penuh persaingan antar kubu di masing masing caleg dan capres. Sepanjang jalan semakin banyak bertebaran baleho caleg dan capres, tidak ketinggalan dicantumkan visi misi untuk menarik perhatian rakyat. Namun tidak hanya cukup memasang baliho, berbagai macam bentuk event pun diselenggarakan. Bisa dipastikan berapa banyak biaya yang dikeluarkan oleh masing masing calon untuk kampanye saat ini.

Seperti halnya dilansir dari laman CNBC Indonesia.com (12/1/2024), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp 195 miliar dari luar Negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol. Temuan ini merupakan hasil pantauan dari Tim Khusus PPATK sejak awal tahun 2023, dimana pantauan tersebut berasal dari aliran Internasional Fund Transfer Instruction Report Perbankan, hal ini diungkap sebagai bentuk kepedulian untuk menjaga demokrasi di tanah air.

Sebenarnya berdasarkan Undang Undang nomor 2 (dua) tahun 2014, sumber dana partai diperoleh dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari APBN/APBD, yang diketahui anggaran ini setiap tahunnya telah mengalami kenaikan. Penemuan ini menjadi sebuah pertanyaan, siapa dan darimanakah aliran dana yang masuk ke dalam partai politik saat ini? Apakah dana tersebut dari luar Negeri, dalam Negeri, atau berasal dari orang yang terlibat kejahatan tertentu? Dalam hal ini PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan) segera memeriksa kejanggalan masuknya dana ke dalam rekening bendahara partai jika memang terbukti adanya penyimpangan, jika terbukti maka PPATK wajib melaporkan kepada KPK.

Tidak dimungkiri partai politik membutuhkan cash money untuk membiayai biaya operasional partai, ataupun biaya tim sukses kampanye. Maka tidak ada istilah murah dalam sistem demokrasi, karena dengan biaya yang besar dapat meningkatkan elektabilitas dan popularitas calon, dan lagi di dalamnya pasti ada campur tangan oligarki. Kondisi ini menjadikan partai politik tidak lagi menjadi partai yang independent dan bebas menentukan arah perjuangan. Bahkan calon yang diusung akan menyerahkan sejumlah uang (mahar) tertentu kepada partai politik yang mengusungnya, seperti kita ketahui tanpa partai politik mustahil seseorang bisa mencalonkan diri.

Para ketua partai akan menjelma menjadi kekuatan oligarki yang bisa menentukan calon yang akan dipilih untuk menduduki posisi yang dia kehendaki. Siapapun yang terpilih, ketua partailah yang mempengaruhi jalannya sebuah Pemerintahan. Alhasil calon yang terpilih nantinya akan mengganti kompensasi yang sudah dia gelontorkan, sehingga akan terjadi transaksi politik. Kompensasi pun beragam, bisa berupa nominal uang, kebijakan atau perizinan tertentu. Lantas jika semua bisa diatur sesuai kehendak sang oligarki, maka untuk apa diadakan pemilihan umum, karena pada kenyataannya kebijakan harus berpihak pada investor, sementara rakyat dengan suka relanya telah mengorbankan tenaga dan materi, sementara aspirasinya terabaikan. Akibatnya, pemilu dalam demokrasi hanyalah ajang persaingan antar investor untuk melanggengkan kekayaan dan kekuasaannya, yang berlindung dibalik kebijakan.

Berbeda dengan Islam, Islam mempunyai mekanisme pemilihan yang sederhana, murah dan mudah dalam proses suksesi keberlangsungannya, dan bisa dipastikan hasil yang diperoleh pun akan menghasilkan pejabat atau pemimpin yang berkualitas. Karena keimanan seorang pemimpinnya dibangun atas ketaatan kepada Allah dan Rasul, sehingga menjadikan segala aktivitas mereka akan terikat dengan hukum syara.

Pemimpin dalam Islam atau Khalifah diangkat oleh kaum muslim melalui baiat, Khalifah menjalankan kekuasaan Pemerintahannya dengan menerapkan hukum Islam. Selanjutnya, Khalifah berwenang mengangkat, menyeleksi, menilai kelayakan serta memberhentikan pejabat atau penguasa yang kebijakannya menyimpang syara. Khalifah juga akan memilih orang orang terbaik yang mempunyai kapasitas di bidangnya serta akan mempertimbangkan terpenuhinya syarat in’iqad (keabsahan akad) dan syarat afdhaliyah, dari masing masing calon pejabat yang diangkat. Dalam Islam kedudukan Khalifah tidak lepas dari muhasabah rakyat melalui majelis umat, dimana para anggotanya dari berbagai macam kalangan masyarakat yang terpercaya, sehingga rakyat tidak risau jika aspirasinya akan terabaikan, bahkan jika seorang Kalifah terbukti melakukan pelanggaran dalam memerintah Negara, akan ada mahkamah madzalim yang akan memberikan sanksi kepada Khalifah.

Oleh karena itu umat Islam saat ini harusnya menyadari bahwa sistem demokrasi kapitalis hanya menyengsarakan mereka, dan sistem demokrasi kapitalis akan terus berpihak pada segelintir orang yang haus akan kekuasaan dan kekayaan. Maka sampai kapan pun nasib rakyat tidak akan pernah berubah, selama sistem demokrasi kapitalis masih diterapkan oleh kaum muslimin. Untuk itu sudah selayaknya kaum muslim kembali kepada syari’at Allah, sebagaimana Allah SWT berfirman : ” Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin”. (QS.Al Maidah: 50).Wallahu’alam bisshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 37

Comment here