Opini

Pemuda Berorientasi Surga

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Shafayasmin Salsabila (Founder MCQ Sahabat Fillah)

wacana-edukasi.com, OPINI-– Bagi keluarga muslim, dorongan memiliki anak bukan sekadar datang dari naluri melestarikan keturunannya. Tapi berangkat dari keimanan. Sehingga, tak hanya menginginkan hadirnya pewaris, utamanya adalah demi meraih tiket ke surga. Anak-anak yang saleh dan saleha menjadi aset di hari tua, pun yang doanya akan mampu mengamankan kehidupan akhirat orang tuanya.

Realitas Pahit

Namun sayang, cita mulia tersebut terenggut dan ternoda. Tak sedikit orang tua yang patah hati oleh kelakuan anaknya. Alih-alih berada di jalan yang lurus, nyatanya sang anak berbelok dan terjerumus dalam dunia tipu-tipu.

Beberapa di antaranya mulai mencicipi rokok, minuman beralkohol, nge-lem, sampai narkoba. Berlanjut pada sering bolos sekolah. Bukannya sibuk belajar malah asik pacaran. Lalu seks bebas dan sebagian merasa menemukan pengakuan dengan bergabung dalam geng-geng anak muda. Kebut-kebutaan, balapan liar, lalu terlibat bentrok dengan kekerasan, seperti tawuran. Celurit, parang, golok, samurai, pisau sangkur, menjadi kawan.

Tak jauh berbeda dari kota-kota lainnya, tawuran dan aksi geng motor menjadi prahara di awal pergantian tahun 2024. Seperti diberitakan detikjabar, (18/1), 75 remaja diduga geng motor, diamankan oleh polisi. Mereka hendak melakukan tawuran dan dipergoki sedang berkumpul di desa Tegallurung, Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu pada Rabu malam (17/1). Kabarnya mereka berencana melakukan serangan menuju kecamatan Indramayu.

Sebelumnya, di hari jumat (12/1), saat adzan shubuh berkumandang, bentrok dua geng remaja pecah, di Jalan Raya Pantura Desa Ilir, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu. Tawuran dengan menggunakan senjata tajam ini, menelan satu nyawa remaja, dan tiga lainnya terluka akibat sabetan senjata tajam. Adapun korban tewas berinisial TA (16 tahun), sedangkan korban luka berinisial AH (16), TH (17), dan HR (17).

Output Destruktif

Bila diamati secara mendalam, dunia remaja tidaklah berdiri sendiri. Sedikit banyak dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di masa kecil, juga nilai-nilai yang terbentuk di lingkungan tempat hidupnya. Masa remaja adalah masa peralihan. Maka inilah masa ketika setiap individu memutuskan cara hidupnya, jati dirinya, sampai pada tujuan hidupnya.

Tawuran, geng motor, atau pun seks bebas, semuanya hanyalah output. Lebih tepatnya output destruktif. Baik bagi masa depan dunia, maupun akhiratnya. Bahkan bisa menyeret kedua orang tuanya saat persidangan di yaumul hisab, kelak. Ketidakjelasan tujuan hidup membuat para remaja gamang menentukan sikap terbaik untuk memenuhi letupan-letupan naluriyah.

Bagaimana cara mereka melihat dunia, dibentuk oleh sistem hidup ala sekuler-kapitalis. Berbasis manfaat semata, dengan mendorong jauh agama dari ruang keseharian. Mereka hanya mengetahui dunia sebagai tempat untuk bersenang-senang, dengan mencari validasi diri, juga kemapanan posisi. Keinginan dianggap hebat, punya banyak teman, menjadi viral, plus bisa dapat banyak uang. Uangnya pun digunakan untuk membeli kesenangan. Terus saja berputar-putar di tempat.

Lingkar pertemanan, dominasi media, informasi-informasi yang terindra semua seputar syahwat dunia. Ajakannya hanya untuk menghabiskan masa muda untuk mengejar materi dan kepuasan naluri, meski menabrak aturan agama. Semuanya tertanam pelan tapi pasti, sejak dini dan dimulai dari lingkungan sosial terkecil bernama keluarga.

Bertumbuh dan berkembang dalam suasana masyarakat hampa sentuhan agama. Suasana keimanan baru sedikit terasa di saat Ramadan tiba, itu pun bagi yang konsisten dengan puasa dan menghidupkan malamnya. Gempuran media datang, bukan hanya membuat lalai tapi mengotori pemikiran, dan menggeser standar perbuatan. Tak kenal halal dan haram, hanya mendewakan kebebasan, dan pilihan suka-suka.

Gedung sekolah terasa dingin, sebatas bangunan formal demi mendapatkan legalitas berupa ijazah. Seperti kehilangan paradigmanya sebagai mesin pencetak akhlakul karimah. Remaja tak menemukan jati dirinya di sana. Pelajaran demi pelajaran kurang berkesan. PR demi PR hanya dianggap sebagai beban. Kelezatan belajar menjadi hambar. Ilmu dan amal seperti terpisahkan, layaknya air dan minyak. Bisa jadi nilai akademik tinggi, tapi sikap cenderung amoral. Paling parah, sudahlah IQ jongkok, minim karya, kerjanya hanya mengejar cinta yang fana.

Supaya Remaja Kembali Fitrah

Tentu bukan ini yang diinginkan oleh para orang tua. Bahkan amat jauh dari apa yang dicitakan berupa anak-anak yang menjadi penyejuk hatinya. Maka perlu segenap upaya, untuk kembali membersihkan cita luhur dari noda dan meluruskan arah kehidupan remaja. Karena mereka adalah amanah dari Allah, maka perlu untuk mengembalikan remaja kepada fitrahnya. Di antaranya: Pertama, keluarga muslim harus mengenalkan jati diri anak-anak sedini mungkin. Bahwa, identitas mereka sebagai seorang muslim, mewajibkan segala pemenuhan naluriyah dan juga kebutuhan jasmaniah, sesuai koridor syariat. Halal dan haram menjadi prinsip hidup yang tidak boleh tergoyahkan, sampai mati. Eksistensi mereka yang sejati adalah dengan mengukir karya demi kemaslahatan umat, memakmurkan bumi. Di situlah rida Allah, sebagai tujuan di atas tujuan, akan berhasil mereka dapatkan.

Kedua, perlu dimunculkan kesadaran untuk membentuk lingkungan kondusif bagi tumbuh kembang anak. Setiap keluarga bersinergi dengan keluarga lainnya dalam amar ma’ruf nahi munkar. Tidak membiarkan adanya kongkow-kongkow remaja tanpa isi. Sebaliknya mendorong anak-anak dan remaja untuk menghidupkan masjid di sekitar rumah. Memberdayakan mereka untuk hal dakwah. Apalagi potensi remaja yang lekat dengan kreativitas dan inovasi. Jika diarahkan dengan benar, maka energinya amat berguna bagi perkembangan kebangkitan peradaban Islam.

Ketiga, kehadiran negara, terutama dalam tugasnya memastikan kuntum-kuntum keimanan mekar dalam wujud ketakwaan. Tangan negara ini amat panjang. Bisa menjangkau sistem pendidikan, yakni dengan pemberlakuan kurikulum berbasis akidah Islam. Karena sejatinya keberadaan penguasa semata demi tegaknya hukum Allah di bumi-Nya. Dan bukankah salah satu hukum yang dimaksud ada di dalam sistem pendidikan. Output-nya, anak didik akan terbiasa berpikir dengan cara pandang Islam, lalu bersikap pun sesuai dengan arahan dari Allah, Al-Khaliq Al-Mudabbir.

Di samping itu penguasa dengan kewenangannya, akan membatasi konten-konten yang beredar di media sosial. Juga akses terhadap informasi akan difilter dengan mabda Islam. Mana ilmu pengetahuan yang diperbolehkan dan mana tsaqofah yang dibatasi atau terlarang untuk dipublis. Demikian pula konten berisi kekerasan juga pornografi, sudah pasti tidak akan lolos ke ruang pandang warga negara, termasuk remaja. Di sisi hilir, penerapan sanksi pun akan diberlakukan secara tegas oleh penguasa Islam, bagi setiap warga yang sudah baligh namun berani melanggar aturan dari Allah.

Tidak ada kata terlambat. Jika semua pihak bersinergi dan berkomitmen untuk mengembalikan pemuda kepada fitrahnya, niscaya dari keimanan mereka akan menebarkan aroma surga. Orang tua akan lega, dan bahagia, tak ada lagi yang patah hati melihat kelakuan anak-anaknya. Qurrota a’yun bukan lagi sebatas wacana penghias doa, namun terwujud nyata.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here