Oleh Novianti
wacana-edukasi.com, OPINI–Kasus kekerasan di kalangan pemuda makin memprihatinkan. Jumlah pelaku meningkat dengan tindakan yang terkategorikan makin sadis dan kejam.
Seperti kejadian di Sukabumi yang dirilis detik.com (24/03/2023). Tiga pemuda berusia SMP membacok seorang siswa SMP lainnya hingga tewas. Kejadian ditayangkan secara langsung via Instagram. Padahal penyebabnya sepele yaitu pelaku tidak terima tuduhan melakukan vandalisme di gedung sekolah korban.
Di Jakarta Selatan, lima belas remaja diamankan karena terlibat tawuran. Mereka beraksi dengan saling serang menggunakan sarung yang ujungnya diikat dengan batu. Diantara barang bukti terdapat sebuah sangkur. (26/03/2023)
Tiga belas pemuda di Purworejo juga ditangkap saat akan melakukan tawuran. Diberitakan kompas.com (24/03/2023), mereka menyiapkan sarung sebagai senjatanya. Sarung dibendel, diisi batu dan pasir sehingga bisa menimbulkan luka parah jika dikenai pada orang lain.
Bukan Hanya Salah Orangtua
Hampir setiap hari, berita negatif tentang pemuda datang silih berganti. Mulai dari masalah narkoba, perilaku seks bebas, kriminal hingga perilaku menyimpang. Seolah tiada hari tanpa ulah para pemuda yang meresahkan.
Orang tua adalah pihak yang sering diposisikan sebagai penanggung jawab terhadap kenakalan para pemuda termasuk dalam kasus kekerasan. Pola asuh orang tua memang erat kaitannya dengan perilaku agresif anak. Gaya pendidikan yang memaksa, penuh ancaman, berkata-kata kasar, kekerasan baik verbal atau fisik berdampak pada perkembangan anak. Selain mengalami traumatik, kesehatan mentalnya terganggu, anak juga tidak memiliki percaya diri. Semua pengalaman tersimpan di alam bawah sadar kemudian muncul saat anak dewasa dalam perilaku negatif.
Dorothy Law Nolte menggambarkan hubungan gaya pengasuhan dengan perilaku anak dalam sebuah puisi berjudul Children Learn What They Live yang diterjemahkan Anak-anak Belajar dari Kehidupannya. Puisi tersebut menunjukkan anak akan akan tumbuh sebagaimana orang tua berinteraksi dengannya. Kandungan puisi ada benarnya namun tidak serta merta orang tua adalah satu-satunya penyebab anak melakukan tindak kekerasan.
Bila ditelaah lebih mendalam, pola asuh orang tua dipengaruhi banyak hal. Pola asuh bisa dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan orang tua tentang pendidikan anak, masalah ekonomi, hingga keadaan hubungan dengan pasangan. Orang tua pun membutuhkan support system agar bisa berperan optimal.
Pengaruh lingkungan terutama media sosial juga besar. Konten-konten di media sosial lebih didominasi tentang percintaan, pergaulan bebas, kekerasan hingga penyimpangan perilaku. Tak heran, pemuda bermasalah bisa datang dari keluarga yang agamis sekalipun. Orang tua yang berusaha mendidik anak dengan baik terengah-engah melawan gempuran lingkungan yang berbeda dengan prinsip yang diajarkan di rumah.
Artinya, kekerasan oleh pemuda bukan diakibatkan oleh faktor tunggal yaitu pola asuh semata melainkan lebih kompleks terkait dengan sistem kehidupan. Mekanisme yang mengatur hubungan antar manusia yang dikendalikan negara. Mekanisme yang diterapkan negara saat ini tidak menjadikan agama sebagai sumber aturan atau disebut sekuler. Agama dipisahkan dari kehidupan negara.
Lembaga pendidikan seharusnya ikut bertanggung jawab. Tujuan pendidikan membangun karakter terbukti gagal. Padahal, kurikulum sudah berganti yang ke sekian kalinya. Hingga kurikulum terakhir yaitu kurikulum merdeka yang mengaruskan moderasi beragama tetap tidak memberikan solusi bagi persoalan kekerasan yang sudah pada taraf darurat ini.
Kambing Hitam
Ada sebuah istilah luka-luka pengasuhan dan utang pengasuhan. Istilah yang sering digunakan seorang anak untuk mengkambing hitamkan orangtua atas kondisinya ketika dewasa. Anak menjadi sosok yang keras, karena orangtua mendidiknya dengan penuh bentakan. Terjerat pergaulan bebas karena orangtua tidak mengajarkan agama. Berperilaku menyimpang karena celaan-celaan orangtuanya semasa kecil.
Padahal, orangtua dan anak adalah sama-sama korban dalam sistem sekuler kapitalis. Sistem ini telah memaksa para orangtua bekerja keras untuk menghidupi kebutuhan keluarga yang semakin mahal. Terkadang baik ayah atau ibu menghabiskan waktu lebih banyak di luar rumah untuk bekerja. Mereka juga tidak disiapkan menjadi ayah atau ibu karena sistem pendidikan hanya mengajarkan materi dengan target bisa menjadi pekerja di dunia industri.
Negara tidak memperhatikan fenomena kekerasan oleh pemuda yang makin beringas ini secara serius. Terlihat dari program mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 di laman kominfo.go.id. Program-program yang digulirkan hanya melihat pemuda dari sisi potensi ekonomi. Lapangan pekerjaan dibuka seluas-luasnya dengan cara membuka keran investasi termasuk bagi para investor asing. Pendidikan perguruan tinggi diarahkan untuk melahirkan lulusan sebagai sekrup bagi industri-industri kapitalis.
Sistem sekuler kapitalis melihat individu sebagai potensi yang memberi keuntungan atau materi. Tidak melihat sebagai sosok utuh yang memiliki fitrah yang harus dipenuhi dengan benar agar tumbuh menjadi manusia yang kokoh keimanannya. Sistem sekuler ibarat racun yang mematikan fitrah sehingga manusia tumbuh secara fisik namun jiwanya kering meranggas dan hidupnya hampa.
Perlindungan Pemuda oleh Islam
Banyak hadis yang memotivasi para pemuda seperti , “Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (Arsy-Nya) pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya: …Dan seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah (ketaatan) kepada Allah …”. Islam memandang para pemuda pelaku penting pemimpin masa depan. Karenanya, Islam memberikan perlindungan secara berlapis.
Melalui sistem politiknya, negara menerapkan syariah Islam. Standar kebenaran adalah apa yang sudah Allah tetapkan sehingga tidak bersifat relatif. Tidak seperti dalam sistem demokrasi, sistem politik ala sekuler yang membuat standar kebenaran bisa berubah sesuai kepentingan manusia.
Dengan sistem pendidikan Islam, para pelajar dibekali berbagai tsaqofah Islam serta perilaku dibina melalui aktivitas ibadah untuk membangun kontrol diri dengan mengikatkan pada hukum syarak. Menanamkan pemahaman bahwa sesama muslim bersaudara dan memelihara ukhuwah adalah kewajiban. Mereka juga disiapkan agar bisa berperan menjadi orang tua yang bertanggung jawab.
Sistem pergaulannya tidak memberikan celah interaksi laki-laki dan perempuan kecuali yang dibolehkan hukum syarak. Laki-laki dan perempuan terpisah dalam kehidupan publik dengan tampilan harus menutup aurat.
Sistem ekonomi Islam memberikan peluang agar laki-laki mampu memenuhi nafkah bagi keluarganya. Perempuan tidak diberi beban menopang ekonomi karena mereka memiliki peranan strategis sebagai rahim peradaban. Kaum perempun harus dilindungi, keadaan emosinya terjaga agar dapat menjalankan perannya secara optimal sebagai pendidik generasi. Kebutuhan kolektif seperti pendidikan dan kesehatan menjadi tanggung jawab negara. Siapapun bisa mengakses dalam bentuk fasilitas terbaik dengan pelayanan oleh sumber daya manusia yang kompeten.
Demikianlah cara Islam melindungi kaum pemuda dan pernah diterapkan pada era peradaban Islam. Tak heran, pada masa itu lahirlah para pemuda dengan prestasi gemilang di berbagai bidang. Karenanya menyelesaikan persoalan kekerasan di kalangan pemuda dibutuhkan bukan solusi tambal sulam atau cukup mengembalikan pada tanggung jawab orang tua. Mengganti sistem sekuler kapitalis dengan sistem Islam yang bersumber dari Allah Swt. menjadi solusi jitu mengakhiri budaya kekerasan para pemuda
Views: 6
Comment here