Oleh: Masyitah (Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com– Haji bagi umat Islam merupakan suatu hal yang sangat dinanti. Bagaimana tidak? Hal ini merupakan ibadah untuk menyempurnakan rukun Islam. Manusia pertama yang melaksanakan haji adalah Nabi Adam a.s. Pada saat itu, Nabi Adam a.s. melakukan ibadah haji dibimbing oleh malaikat utusan Allah, dimulai dengan tata cara pelaksanaannya hingga ucapan doanya yang masih sangat sederhana.
Allah memberikan perintah kepada para malaikat yang ada di bumi dan beberapa makhluk lainnya untuk bertawaf mengelilingi suatu rumah, sebagaimana penduduk langit bertawaf di Baitul Makmur. Hal ini Allah terangkan pada QS. Ali Imran ayat 96, yang artinya: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat ibadah manusia ialah Baitullah di Bakkah (Makkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi manusia.”
Kemudian, pelaksanaan haji selanjutnya disempurnakan kembali oleh Nabi Ibrahim a.s yang sampai sekarang masih dipakai. Mulai dari tawaf hingga kunjungan ke Arafah. Hal ini telah tercantum dalam firman Allah SWT: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau dengan mengendarai onta yang kurus. Mereka akan datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)
Mahabenar Allah yang menurunkan firman-Nya, sehingga umat Islam dari berbagai penjuru dunia hingga saat ini terus berdatangan untuk berhaji, termasuk Indonesia. Namun, ternyata semakin bertambahnya tahun semakin lama pula daftar tunggu warga untuk berangkat haji. Padahal, pemerintah Saudi telah mengusulkan untuk menambah kuota haji sebanyak 10.000 bagi jemaah Indonesia. Sangat disayangkan, hal tersebut ditolak secara sepihak oleh Kementrian Agama (Kemenag). Keputusan ini membuat publik bertanya-tanya, apakah benar penolakan kuota haji Arab Saudi hanya karena permasalahan teknis atau malah ada masalah lain, seperti tidak adanya dana? Terlebih lagi, disinyalir bahwa pengelolaan dana haji sebesar Rp 150 triliun per Mei 2021 itu sangat rawan bocor.
Anggito Abimanyu selaku Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sering kali mengatakan bahwa uang haji aman. Mendengar pernyataan demikian, beberapa kalangan masyarakat tetap saja diliputi rasa cemas. Terutama, jika dana haji diinvestasikan pada deposito ke beberapa bank syariah dan sukuk negara, apakah jemaah rida akan hal tersebut? (muslimahnews.net, 9/7/2022).
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) pun turut mengingatkan agar usulan dari pemerintah Saudi itu seharusnya diapresiasi. “Seharusnya tambahan kuota haji untuk Indonesia diapresiasi dengan baik dan tidak secara sepihak ditolak tanpa dimusyawarahkan secara formal dengan para wakil rakyat di DPR. Apalagi, ternyata persetujuan penambahan dari pihak Saudi itu sudah cukup lama disampaikan secara resmi, yaitu sejak tanggal 21 Juni 2022. Sehingga, kalau dianggap mepet dari sisi waktu, mestinya sejak saat itu bisa segera dibahas bersama Komisi VIII DPR-RI. Tapi sayangnya, rapat yang sudah diagendakan, malah dibatalkan,” (detiknews.com 1/07/2022).
Jika saja usulan pemerintah Saudi tersebut diterima, maka akan mengurangi durasi antrean haji di Indonesia. Pada saat seperti ini kesatuan politik umat Islam sangatlah dibutuhkan guna menyederhanakan proses administrasi haji yang rumit dan pengurusan visa yang tidak kunjung memberi jalan keluar.
Bayangkan saja, dahulu pada masa Khilafah Utsmaniyah persiapan sarana dan prasana haji dilakukan tiga bulan sebelum musim haji. Sultan Utsmani memberikan perhatian besar dengan menunjuk beberapa kepala pemerintahan (as-Shadr al-‘A’dham) yang dikenal mampu dan bertakwa untuk memonitor dan memperhatikan semua urusan rombongan haji di wilayah-wilayah Islam. Selain itu, juga menginstruksikan kepada wali di berbagai wilayah untuk memenuhi kebutuhan rombongan, menjamin keamanannya, dan keselamatannya. Apa yang dilakukan oleh Khilafah Ustmaniyah menunjukkan betapa berwibawanya negara tersebut (republika.co.id 6/04/2022)
Begitu pula pada masa Khalifah Abdul Hamid II. Beliau membangun sarana transportasi massal mulai dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah khusus, tiada lain tujuannya adalah untuk mengantar jemaah haji. Bahkan, jemaah haji dari pelosok pun dapat melaksanakan ibadah haji dengan mudah. Lantas, apa yang bisa kita harapkan pada sistem yang serba mementingkan modal dan keuntungan pribadi seperti sistem Kapitalisme sekarang ini? Bukankah lebih mudah jika sistem Islam segera dibentuk sebagai ikhtiar untuk memperbaiki regulasi haji secara maksimal tanpa terkendala urusan diplomasi manapun dan tanpa terkendala biaya mahal? Wallaahu’alam bish-showab.
Views: 12
Comment here