Opini

Pendidikan di Tengah Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Anisa Rahmi Tania

wacana-edukasi.com, OPINI– Memiliki generasi yang berkualitas adalah cita-cita setiap bangsa. Karena keberlangsungan masa depan bangsa ada di pundak generasi selanjutnya, yakni generasi yang hari ini tengah meniti pendidikan dan pengajaran. Merekalah para peserta didik, Anak-anak yang sedang menimba ilmu di bangku sekolah.

Akan tetapi kondisi generasi saat ini sungguh miris. Banyak frame buruk menyertai mereka. Dilansir dari suluhusantara.com (7/12/2023), merunut laporan dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) perilaku seks bebas pada remaja dengan rentang usia belasan tahun semakin menyebar.

Pada rentang usia 14-15 tahun sekitar 20% telah terlibat dalam aktivitas seksual. Sementara usia 16-17 tahun mencapai 60%, sisanya 20% terjadi pada rentang usia 19-20%. Berdasar pada data inilah mengapa remaja Indonesia disebut darurat seks bebas.

Belum lagi dengan kasus bulliying yang kian hari seakan tak terbendung. Dilansir dari katadata.databoks.co.id (12/02/2024), kasus perundingan sepanjang tahun 2023 mengalami peningkatan dari 21 kasus menjadi 30 kasus. Data tersebut diambil dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).

Mirisnya, 80% kasus perundungan terjadi di sekolah yang dinaungi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Hanya 20% terjadi di sekolah yang dinaungi Kementerian Agama.

Lantas bagaimana supaya generasi bisa kembali pada posisinya, sebagai agent of change? Apa yang harus dibenahi dari semua kondisi ini?

Meluruskan Persoalan Pendidikan

Banyak faktor yang menjadi penyebab masalah generasi. Salah satunya adalah masalah sistem pendidikan. Tentu pemerintah pun tidak tinggal diam.
Berbagai upaya pemerintah lakukan untuk memperbaiki kondisi ini. Di antaranya dengan penerapan kurikulum pendidikan di sekolah. Kurikulum dalam pembelajaran di sekolah merupakan salah satu kunci yang menentukan keberhasilan. Karena kurikulum seperti peta atau petunjuk arah. Kemana siswa akan diarahkan dan model siswa seperti apa akan dibentuk.

Penerapan Kurikulum di sekolah pun bukan hal yang sederhana. Setelah kurikulum 1947 yang dibuat 2 tahun pasca kemerdekaan, pemerintah bergonta ganti kurikulum. Mulai dari Kurikulum 1952, kurikulum 1964, kurikulum 1968 yang dibuat setelah pergantian rezim dari orde Lama ke orde baru, kurikulum 1975, 1984, 1994, kurikulum Berbasis kompetensi (KBK) 2004, kurikulum tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, dan kurikulum 2013 (K-13). (Kompas.com, 13/2/2022)

Artinya setidaknya sudah 10 kali pemerintah mengganti kurikulum pendidikan. Hingga saat ini pemerintah melalui menteri pendidikan dan kebudayaan, Nadiem Makarim, berencana mencanangkan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum nasional. Meski masih banyak yang mengkritisinya.

Jika dilansir dari laman kemendikbud.go.id (12/02/2022), Kurikulum Merdeka mempunyai beberapa keunggulan yakni lebih sederhana dan mendalam. Kurikulum ini lebih fokus pada materi yang esensial serta pengembangan kompetensi setiap peserta didik sesuai dengan fasenya. Selain itu, memberikan kebebasan pada sekolah untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum sesuai karakteristik sekolahnya masing-masing. Sementara guru, diberikan kebebasan untuk mengajar sesuai dengan tahapan perkembangan peserta didik itu sendiri. Bagi peserta didik, diberikan kebebasan dalam memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakatnya.

Sayangnya kurikulum ini tidak menyentuh kebutuhan spiritual dan mental peserta didik secara optimal. Kurikulum merdeka sendiri faktanya menjadikan materi dan skill sebagai fokus perhatian. Peserta didik diarahkan untuk mempunyai kemampuan yang terasah sehingga bisa menunjang masa depan mereka. Akan tetapi, tidak fokus pada kekuatan mental dan spiritualnya. Artinya pembangunan karakter dan kepribadiannya didasarkan pada akidah. Sehingga ini akan menimbulkan kecacatan kepribadian.

Tidak aneh memang, karena pendidikan saat ini tidak menerapkan Islam sebagai landasannya. Hanya saja, fatal akibatnya ketika landasan pendidikan menjurus pada sekularisme. Yakni pemisahan agama dari kehidupan. Artinya pendidikan disengaja untuk dijauhkan dari aturan agama. Padahal agama harusnya dijadikan tuntunan. Jika aturan agama malah dijauhkan atau dipisahkan, yang terjadi moral generasi menjadi bobrok. Karakter dan kepribadiannya pun menjadi rusak.

Faktanya telah nyata di depan mata. Kasus bullying, pergaulan bebas, narkoba, geng motor, tawuran, dan lain-lain menjadi isu yang tidak bisa dilepaskan dari image anak muda. Perilaku-perilaku tersebut jelas menunjukkan betapa jauhnya generasi dari pendidikan agama. Serta betapa lemahnya keimanan dan ketaatan mereka pada Rabbnya.

Di sinilah seharusnya pemerintah berupaya me-recovery pendidikan dengan menyentuh akar masalahnya. Jika hanya mengganti kurikulum, maka jelas tidak akan banyak berdampak pada kualitas generasi. Berbeda halnya jika perbaikan itu berasal dari asasnya. Maka kurikulum akan menjadi peta arah yang jelas bagaimana membentuk generasi cemerlang.

Islam sebagai Asas Pendidikan

Dalam masa kejayaan Islam, Kekhilafahan Abbasiyah memperlihatkan bagaimana Islam mampu mencetak generasi berkualitas dan cemerlang. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya para intelektual, para ilmuwan, dokter-dokter, dan cendekiawan muslim yang mendunia. Karya maupun penemuannya menjadi cikal bakal dari teknologi yang hari ini digunakan. Tapi tidak sebatas itu, para ilmuan tersebut pun seorang yang taat, perilakunya terjaga, dan ilmu agamanya dalam. Sebut saja Al-Jabar, Ibnu Shina, Al-Khawarizmi, dan lain-lain.

Dunia mengakui karya mereka, namun dunia menutup mata bagaimana sistem saat ini telah menunjukkan keberhasilan dari proses pembelajaran. Serta bukti atas suksesnya sistem yang diterapkan oleh negara Islam.

Kurikulum saat itu menggunakan akidah Islam sebagai asasnya. Mulai dari bahan-bahan pelajaran, materi pelajaran maupun metode pembelajaran semua berdasar pada Islam. Dari sinilah seharusnya kita mengambil pelajaran dan mencontohnya.

Setiap peserta didik muslim akan dipupuk pola pikirnya sejak dini tentang akidahnya. Mengenal Sang Pencipta dengan mentadaburi ciptaan-Nya, sehingga dari kecil setiap generasi akan mempunyai keimanan yang kokoh. Dari pola pikir yang penuh keimanan, maka akan menghantarkan pada pola sikap yang penuh ketaatan. Setelah itu, barulah peserta didik mengenal keilmuan umum lebih banyak.

Negara memberikan penjagaan yang ketat terhadap generasi. Karena tujuan pendidikan yang diselenggarakan negara bukan sebatas pada skill tetapi pada pembentukan kepribadian Islam. Yakni memiliki pola pikir Islam dan pola sikap Islam.

Generasi yang terbentuk pun adalah generasi yang bertakwa. Mereka siap menjadi agen perubahan serta membangun peradaban yang mulia. Demikianlah Islam akan membentuk generasi yang tidak hanya cerdas dalam ilmu pengetahuan tetapi juga mempunyai kepribadian yang mulia.

Wallahu’alam bisahawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 14

Comment here