Oleh : H.B. Abdillah
(Aktivis Muslimah, Pegiat Literasi Ngaglik, Sleman, DIY)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Indonesia memperingati hari pendidikan nasional (Hardiknas) secara rutin setiap tanggal 02 Mei. Sayangnya, dibalik semangat perayaan Hardiknas masih menyisakan banyak PR dan persoalan komplek di dunia pendidikan. Sementara itu, dilansir dari cnbc.id pada akhir tahun 2023, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) melaporkan hasil dari Programme for International Student Assessmen (PISA), skor Indonesia periode 2022 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Bahkan, skor literasi membaca Indonesia menjadi yang terendah di antara skor PISA tahun-tahun sebelumnya. Hal ini merefleksikan mutu pendidikan di tanah air masih rendah.
Jika kita cermati, sistem pendidikan di Indonesia masih cenderung rendah karena bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Faktor Perubahan Kurikulum.
Kurikulum di Indonesia sering mengalami perubahan, seiring mengikuti bergantinya Menteri Pendidikan terpilih. Hal inilah yang menjadikan sistem pendidikan di Indonesia berjalan kurang optimal, karena tidak ada pedoman yang pasti dalam kegiatan belajar mengajar. Ketidaksiapan pemerintah dalam perubahan kurikulum akan berakibat fatal. Tidak hanya merugikan generasi dan peradaban, akan tetapi juga berdampak pada sikap, perilaku (karakter) generasi.
2. Faktor Tenaga Pendidik.
Selain perubahan kurikulum yang sering terjadi, kualitas tenaga pendidik juga masih menjadi persoalan. Dengan perubahan kurikulum, guru disibukkan dengan berbagai lembar laporan kerja dan dituntut untuk memahami, menerapkan, dan mengejar tujuan kurikulum baru. Imbasnya kinerja guru terhadap anak didiknya kurang optimal. Belum lagi, di daerah pelosok Indonesia, tenaga pendidik yang berkompeten dalam bidangnya sangat kecil. Minimnya pemerataan tenaga pendidik inilah yang menjadikan ketimpangan kualitas pendidikan yang mencolok antara di daerah pedesaan dengan perkotaan.
3. Faktor Fasilitas, Akses dan Pemerataan Pendidikan.
Fasilitas sarana prasarana yang mendukung untuk mewujudkan sistem pendidikan yang optimal sangat diperlukan. Namun, dalam realisasinya pemerintah masih cenderung berfokus pada daerah perkotaan saja. Sementara, akses pendidikan di daerah pelosok desa masih kurang memadai, sehingga masyarakat kesulitan untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
4. Faktor Biaya Pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan menjadi salah satu faktor yang kerap terjadi di tengah masyarakat. Banyak orang tua yang mengaku tercekik tingginya biaya pendidikan. Misalnya, kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang tak terjangkau masyarakat umum, biaya buku paket, modul latih, uang gedung, dan lain sebagainya. Meskipun pemerintah sudah membuat berbagai kebijakan, nyatanya belum juga terselesaikan dengan baik. Misalnya, Kartu Indonesia Pintar (KIP) bagi siswa yang kurang mampu masih banyak yang salah sasaran.
5. Faktor Sosial Ekonomi.
Tingkat ekonomi masyarakat menjadi salah satu faktor dominan yang mempengaruhi rendahnya pendidikan masyarakat di Indonesia. Tingginya angka kemiskinan membuat masyarakat ekonomi rendah lebih memilih untuk bekerja mencari uang, daripada harus menempuh pendidikan. Belum lagi, meledaknya bonus demografi yang diperkirakan terjadi di tahun 2030-2040, pasti akan menumbuhkan pertambahan jumlah penduduk pada usia produktif. Oleh karena itu, untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas harus seiring dengan sistem dan mutu pendidikan yang baik.
Tidak bisa dimungkiri, sistem pendidikan di Indonesia lebih condong pada nilai-nilai Barat bukan pada ajaran Islam. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana anak didik dilatih untuk berkompetisi meraih target sesuai arahan dunia Barat dan Internasional. Mutu pendidikan di Indonesia harus segera dibenahi.
Sistem dan mutu pendidikan yang baik haruslah mempunyai visi-misi, kurikulum, dan metode yang diterapkan berdasarkan pada akidah Islam. Kurikulum Islam mendidik generasi dengan prinsip keislaman yang berkaitan dengan kaidah-kaidah Islam, yakni mempunyai kepribadian islami yang kuat (aqliyah dan nafsiyah), penguasaan ilmu (tsaqofah Islam), dan ilmu-ilmu duniawi (sains dan teknologi). Sementara, penerapan kurikulum baru di Indonesia saat ini tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang mendasari negara ini, yaitu sistem kapitalisme yang menjadikan keuntungan dan manfaat sebagai tolak ukur. Kapitalisme juga melahirkan pemisahan agama dari kehidupan dan paham serba bebas.
Padahal, pendidikan merupakan salah satu pondasi penting bagi peradaban manusia. Di dalamnya akan menentukan bagaimana arah dan tujuan generasi di masa depan. Begitu juga nasib sebuah negara untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Sudah semestinya, setiap individu berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan setara. Tentu saja, pendidikan seperti ini menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara dalam pengelolaannya. Dalam sistem Islam, negara akan menyediakan anggaran sesuai kebutuhan demi berjalannya pendidikan.
Pendidikan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang diperhatikan oleh Khalifah. Melalui sistem politik dan ekonomi, sumber-sumber kepemilikan umum akan dikelola oleh negara untuk mengurus umat. Layanan pendidikan dapat diperoleh dengan biaya rendah bahkan gratis, sehingga akan memperbaiki kualitas pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang unggul dan berjiwa kompetitif. Kesusksesan pendidikan sistem Islam sudah terbukti dalam sejarah. Peradaban Islam pernah gemilang di mata bangsa lain selama kurang lebih 14 abad. Pada masa itu, putra-putri pembangun peradaban dan generasi mulia dilahirkan. Mereka menjadi pionir dan pemimpin di berbagai bidang, seperti kesehatan, hukum, infrastruktur, geografi, kimia, matematika, dan sebagainya.
Seperti itulah gambaran sistem Islam dalam naungan Daulah Islam yang terbukti memberikan pendidikan terbaik lintas generasi. Penerapan sistem Islam secara menyeluruh inilah yang akan menjadi satu-satunya harapan kita untuk mewujudkan pendidikan sejahtera, jelas, dan terarah.
Wallahu a’lam bishawab.
Views: 8
Comment here