Oleh : Nur Octafian Nalbiah L.
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Korwas PPNS) Bareskrim Polri berhasil mengungkap aktivitas penambangan emas ilegal di Ketapang, Kalimantan Barat. Penambangan ini dilakukan oleh sekelompok Warga Negara Asing (WNA) asal China, yang telah menggali lubang sepanjang 1.648,3 meter di bawah tanah (CNBC.com, 15/5/24).
Tak tanggung-tanggung, hal ini membuat negara rugi hingga triliunan rupiah. Angka itu dihitung berdasarkan hilangnya cadangan emas akibat penambangan ilegal. Dalam persidangan terungkap emas yang berhasil digasak YH melalui aktivitas penambangan ilegal yang dilakukannya di Ketapang 774,27 kg.
Tak hanya emas, ia juga berhasil mengeruk cadangan perak di lokasi tersebut 937,7 kg. Akibatnya, Indonesia rugi Rp1,02 triliun imbas aktivitas tersebut. (cnnindonesia.com, 27/9/24)
Penambangan ilegal juga terjadi di Nagari Sungai Abu Kecamatan Hiliran Gumanti Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Namun, naas tanah longsor terjadi di lokasi penambangan ilegal tersebut yang mengakibatkan 13 orang meninggal dunia dan 12 orang selamat (CBNCIndonesia.com, 29/9/24).
Indonesia merupakan negara yang sangat kaya. Memiliki hutan yang sangat luas, tanahnya subur, alamnya indah, daratannya terdapat berbagai bentuk barang tambang berupa batubara, nikel, timah, tembaga, emas dan sebagainya.
Sedang perut buminya terkandung gas dan minyak. Tak hanya itu potensi kekayaan laut juga sangat luar biasa. Dengan wilayah perairan yang sangat luas, dengan keindahan bawah laut, tersimpan kandungan ikan yang berton-ton, mutiara dan kandungan mineral lainnya.
Malangnya, negara yang gagal memetakan kekayaan alam, telah mengakibatkan hal buruk terjadi, seperti hilangnya emas karena di tambang secara ilegal oleh oknum tertentu, tak hanya itu kacaunya pengelolaan kekayaan alam ini juga telah berimbas pada hilangnya nyawa.
Seharusnya negara memiliki data yang kompleks terkait kekayaan alam yang ada di wilayah tanah air ini. Selain itu negara juga memiliki kedaulatan dalam mengelola kekayaan alam tersebut tanpa harus bergantung pada pihak investor atau kapital.
Hal ini agar hasil kekayaan alam dari tambang skala kecil hingga besar dapat di manfaatkan sebaik mungkin oleh negara untuk kebutuhan rakyatnya. Selain itu negara harus melakukan pengawasan dan selalu mewaspadai pihak-pihak asing dan lainnya yang ingin merugikan negara.
Sayangnya negeri ini diatur dengan sistem kapitalisme yang mengizinkan segelintir orang mengelola hutan juga memberikan ladang konsesi kepada perusahaan asing untuk mengelola sumberdaya alam. Sehingga tak heran negeri yang melimpah kekayaan alamnya, namun rakyatnya banyak yang melarat, sebab lebih banyak dinikmati oleh segelintir pengusaha atau perusahaan-perusahaan. Hal ini akibat negara yang berkolusi dengan para pengusaha ketimbang yang dirasakan oleh rakyat.
Berbeda halnya dengan Islam. Islam memandang hutan dan barang tambang adalah milik umum. Maka sudah seharusnya dikelola oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah bahkan gratis untuk kebutuhan primer semisal sandang, pangan dan papan, juga pendidikan, kesehatan, keamanan dan fasilitas umum.
Paradigma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara, dan negara tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya.
Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola oleh negara dan tidak boleh di privatisasi, dikemukakan dalam sebuah hadist riwayat Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika, Abyad bin Hammal ra. telah pergi, seorang sahabat yang berada di majelis itu berkata, “Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya.
Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Karena larangan tersebut berdasarkan illat yang disebutkan dengan jelas dalam hadist tersebut yaitu “layaknya air yang mengalir”, maka semua barang tambang yang jumlahnya melimpah, layaknya air yang mengalir, tidak boleh diprivatisasi.
Oleh sebab itu negara haram memberikannya pada swasta karena itu semua adalah harta umat. Apapun itu yang sifatnya terkategori sebagai kebutuhan yang dimanfaatkan secara bersama, dan di butuhkan oleh semua orang, maka pengelolaannya tidak boleh dikuasai oleh swasta.
Islam memiliki ketentuan terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya hingga didistribusikan kepada rakyat. Kekayaan alam yang ada menjadi sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara mempunyai sumber pemasukan yang telah ditetapkan oleh syariat melalui Baitul Mal atau kas negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara. Sektor-sektor pemasukan dan pengeluaran Kas Baitul Mal.
Pertama, sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infaq dan shadaqah. Untuk zakat, harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor lain. Dalam pengeluarannya, negara harus mengkhususkan dana zakat hanya untuk delapan asnaf yang telah di tetapkan, Sementara, infaq dan shadaqah pendistribusiannya ditujukan untuk kemashlahatan ummat.
Kedua, sektor kepemilikan umum mencakup segala milik umum seperti kekayaan alam yang melimpah. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan pengolahan sumber daya alam seperti biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.
Pemasukan dari sektor ini juga di berikan pada rakyat secara langsung, sebab memang rakyatlah pemilik sumberdaya alam itu, dan berhak untuk mendapatkan hasilnya. Negara boleh mendistribusikannya dalam bentuk benda yang menjadi kebutuhan rakyat misalnya air, gas dan listrik secara gratis. Selain itu hasil dari kepemilikan umum ini juga dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.
Ketiga, sektor kepemilikan negara yang bersumber dari pemasukan fa’i, ghanimah, kharaj, jizyah, usyur dan khumus. Untuk peruntukannya diserahkan pada ketentuan negara untuk kepentingan negara dan kemashlahatan ummat.
Wallahu’alam bishowab[]
Views: 12
Comment here