Opini

Pengentasan Rakyat Miskin Butuh Solusi Nyata

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Yanti, S.Pd.
(Freelance Writer)

wacana-edukasi.com, OPINI– Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menghilangkan angka kemiskinan di Indonesia. Alih-alih selesai, angkanya malah semakin naik. Presiden Jokowi menargetkan kemiskinan ekstrem di Indonesia terhapus tuntas pada 2024. Hal demikian sesuai dengan arahan Sustainable Development Goals (SDG) yang menargetkan pada 2030 dunia telah terbebas dari kemiskinan ekstrem.

Presiden pun berkerja sama dengan PT Permodalan Nasional Madani (Persero) atau PNM untuk terus membimbing warga miskin untuk bisa keluar dari kemiskinannya. Saat ini, PT PNM sedang menargetkan 16 juta nasabah aktif pada 2023 dengan penyaluran pembiayaannya sebesar Rp75 triliun. Per April 2023, nasabah aktif PNM telah mencapai 14,5 juta. Alhasil, Direktur Utama PNM Arief Mulyadi optimis pihaknya dapat membantu pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan ekstrem (Beritasatu.com, 27/05/2023).

PT PNM adalah lembaga keuangan milik negara yang dibentuk sebagai komitmen pemerintah dalam mengembangkan, memajukan, dan memelihara usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sumber pendanaannya berasal dari tiga sektor, sektor perbankan sebesar 52%, pasar modal 33% dan pusat investasi pemerintah (PIP) 15%.

Lantas, mampukah bantuan modal untuk UMKM menjadi solusi atas persoalan kemiskinan? Data Kementerian Ekonomi menunjukkan bahwa sektor UMKM berkontribusi besar dalam perekonomian Indonesia. UMKM memiliki jumlah lebih dari 64,2 juta unit usaha, menyumbang 61,9% pada produk domestik bruto (PDB), dan menyerap 97% tenaga kerja (Ekon.go.id, 06/03/2023).

Industri besar hanya menyerap tenaga kerja sebanyak 3% dan menyumbangkan PDB jauh lebih kecil dari UMKM. Artinya, berdasarkan hal tersebut, seharusnya perhatian penuh diberikan kepada UMKM, bukan malah pada perusahaan besar. Selain berjasa menyerap lapangan kerja, UMKM pun menjadi sumber keuangan negara.

Faktanya justru industri besarlah yang terlihat lebih diperhatikan dalam masalah ini. Misal, masalah pendanaan usaha. Jumlah suntikan dana bagi rakyat kecil tidak sebanding dengan industri besar. Lihat saja saat Sri Mulyani menyuntikkan dana dengan mudahnya sebesar Rp106,8 triliun kepada empat BUMN pada awal 2023. Bukan rahasia pula kepemilikan BUMN besar juga ada di tangan swasta.

Bandingkan dengan rencana suntikan dana untuk UMKM yang hanya Rp75 triliun untuk 16 juta nasabah. Jika dibagi rata, tiap orang hanya mendapatkan tidak lebih dari Rp5 juta. Jumlah tersebut belum dikurangi potensi adanya korupsi sebab PT PMN sebagai penyalur modal beberapa kali tersandung kasus korupsi.

Ditambah lagi, dengan hitung-hitungan bisnis, modal yang hanya Rp5 juta jelas tidak akan berdampak besar, kecuali sekadar untuk bertahan hidup. Ditambah lagi adanya bunga pengembalian yang membumbung tinggi. Sehingga wajarlah jika UMKM tidak mampu bangkit dari kemiskinan. Berbagai kisah sukses UMKM yang hingga go international adalah satu dari sekian juta UMKM yang mangkrak disebabkan ekosistem UMKM tidak mendukung mereka untuk tumbuh dan berkembang.

Ekosistem usaha tersebut tidak mendukung UMKM, selain karena akses modal yang terbatas, akses bahan baku pun dikuasai segelintir pihak. Pelaku UMKM tidak akan mungkin bisa mendapatkan bahan baku murah. Bayangkan, pebisnis dengan modal Rp5 juta jelas tidak akan mampu bersaing harga dengan pebisnis yang memiliki modal triliunan rupiah. Bahkan masih terkendala di bahan baku. Inilah salah satu kendala yang dihadapi UMKM akibat ekosistem usaha yang sudah dikuasai industri besar yang memiliki modal besar.

Suntikan modal pun hanyalah solusi tambal sulam atas ketakberdayaan UMKM, sehingga tidak bisa keluar dari kemiskinannya. Faktanya, kemiskinan yang terjadi bersifat sistemis, mulai dari ekosistem usaha yang buruk (akses modal dan bahan baku), hingga kebijakan yang tidak pro rakyat miskin. Ditambah lagi banyaknya kebijakan pemerintah yang justru semakin menambah derita masyarakat saat ini.

Contohnya, kebijakan subsidi yang makin dikurangi, bahkan dicabut. Misalnya kebijakan subsidi air, listrik, BBM, maupun saprodi (sarana produksi) yang semua itu diperuntukkan untuk rakyat kecil. Berbeda dengan subsidi untuk orang kaya, mudah sekali bagi pemerintah menggelontorkan subsidi triliunan untuk subsidi mobil listrik, bahkan pejabat eselon mendapatkan subsidi hampir Rp1 miliar untuk pembeliannya. Inilah fakta miris yang miskin tambah miskin dan yang kaya semakin kaya.

Pun ketika berbicara skala global, negara berkembang terus saja dimiskinkan dan dibuat ketergantungan terhadap negara-negara maju. Alhasil, negara berkembang tidak akan pernah maju sebab selalu berada di ketiak negara-negara maju. Inilah paradoks era industri dalam asuhan kapitalisme. Pembangunan industri masif dengan investasi asingnya, tetapi tingkat pengangguran malah semakin tinggi.

Hal itu makin mengonfirmasi kebohongan teori ekonomi kapitalisme yang mengatakan investasi berkorelasi positif dengan terciptanya lapangan kerja. Nyatanya yang ada, makin tinggi investasi, hegemoni asing terhadap bangsa ini akan makin besar. Inilah sebab persoalan kemiskinan tidak kunjung usai.

Peradaban Barat telah menciptakan kemiskinan dan kesenjangan yang amat tinggi. Laporan organisasi internasional Oxfam mengungkap ketimpangan ekonomi antara orang-orang terkaya di dunia dan 99% orang lainnya. Satu persen orang-orang terkaya di dunia meraih hampir dua pertiga dari semua kekayaan baru yang diciptakan sejak 2020. Kekayaan satu persen orang-orang kaya tersebut sebesar $42 triliun atau hampir dua kali lipat dari penghasilan 99% populasi terbawah di dunia (Liputan6.com, 18/01/2023).

Hal seperti di atas jelas tidak akan ditemui dalam sistem ekonomi Islam, karena sistem ekonomi Islam berbasis pada kemaslahatan umat dan tidak pernah keluar dari batasan syariat. Islam memiliki cara untuk memudahkan UMKM untuk bisa mengakses modal, sebab negara memiliki pos untuk itu. Negara bisa langsung memberikan dana usaha atau pinjaman tanpa menggunakan mekanisme riba. Adanya baitulmal dan kebijakan yang independen, menjadikan fokus pemerintah pada kemaslahatan umat. Akses bahan baku pun akan adil. Regulasi kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam menjadikan kepemilikan umum haram dikuasai individu. Dari itu, kebutuhan dasar umat akan mudah terpenuhi.

Islam juga memiliki mekanisme nonekonomi dalam mengatasi kemiskinan, salah satunya penyaluran zakat. Mekanisme ini terbukti efektif dalam pendistribusian harta dari hartawan kepada rakyat miskin. Jaminan negara atas kebutuhan pokok rakyatnya dan iklim usaha yang adil, menjadikan umat mudah bangkit dari kemiskinan dan hidup dalam kesejahteraan.

Dengan demikian, UMKM bukan hanya butuh modal usaha, melainkan juga kebijakan pemerintah yang pro rakyat dan berkeadilan. Hanya saja, semua itu mustahil dapat diterapkan dalam sistem ekonomi kapitalisme yang justru senantiasa menciptakan kesenjangan. Olehnya itu, solusi atas persoalan ini adalah kembali pada aturan sang Pencipta yang paripurna yang mana hal tersebut hanya mungkin terwujud dalam sistem Islam. Wallahu a’lam bishawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here