Opini

Pengesahan Revisi KUHP Bukti Rusaknya Demokrasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari

(Aktivis Generasi Peradaban Islam)

wacana-edukasi.com, OPINI– Sah! Ketok palu RUU KUHP menandai ditetapkannya menjadi sebuah UU. Komisi III DPR RI menyatakan akan terus mengawal dan mengevaluasi persiapan dan pelaksanaan UU KUHP yang baru akan berlaku 3 tahun sejak diundang-undangkannya UU KUHP ini (tahun 2025) dikutip dari laman dpr.go.id.

Pro dan kontra mewarnai peristiwa pengesahan RUU KUHP ini. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menyatakan terkait UU ini tidak ada maksud untuk membungkam masyarakat dan mengimbau pihak-pihak yang tidak setuju atau protes terhadap RUU KUHP dapat menyampaikan melalui mekanisme dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK),” Jelasnya saat konferensi pers usai mengesahkan RUU KUHP di paripurna DPR, Jakarta, Selasa 6/12/2022.

Masih di tempat yang sama, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto pun sependapat mempersilakan masyarakat yang tidak setuju UU ini untuk melakukan interupsi ke Mahkamah Konstitusi. Ia juga menyadari bahwa RUU KUHP yang telah disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang, bukan merupakan produk hukum yang sempurna.

Sementara itu dilansir dari Suara.com, buntut anggota DPR Fraksi PKS, Iskan Qolba Lubis melakukan aksi walk out dilaporkan Muhammad Azhari selaku masyarakat sipil ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dianggap melanggar kode etik dan memperburuk citra DPR, pada Selasa (6/12).

Pasal Kontroversial

Pengesahan Revisi KUHP di tengah banyaknya pasal bermasalah terkait dengan kebebasan berpendapat dan lainnya, menunjukkan adanya sistem otoriter pemerintah. Beberapa pasal yang menuai kontroversi diantaranya ;

1. Pasal 240, mengenai penghinaan terhadap pemerintah dikenai sanksi pidana 3 tahun.
2. Pasal 218, menyerang pribadi Presiden dikenai sanksi pidana 1-3 tahun.
3. Pasal 256, massa yang ingin berunjuk rasa/ menyuarakan aspirasi harus ada pemberitahuan dan izin.
4. Pasal 603 pengurangan hukuman bagi koruptor.
5. Pasal Penyebaran ideologi Komunisme, Lenimisme dan lainnya yang bertentangan dengan Pancasila juga dapat perhatian khusus.
6. Pasal 411 KUHP yang mengatur tentang perzinaan dan mengatur tentang hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan merupakan delik aduan. Dengan syarat diadukan oleh suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau orangtua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

Ketua YLBHI, M. Isnur saat diwawancarai oleh TV One, mengungkapkan pasal ini bisa membuat semuanya akan kena pada waktunya. Ia juga menyampaikan kekecewaan terhadap pemerintah yang justru melakukan kompromi politik padahal sedari awal sudah tahu UU ini akan menimbulkan konflik.

Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun ikut mengkritik dan prihatin akan nilai KUHP yang disahkan tak sesuai dengan kebebasan berekspresi dan penegakan HAM. (CNN Indonesia)

Berbagai pendapat di atas sedikit menggambarkan ketidakjelasan arah dan dasar pembuatan UU dalam menyelesaikan persoalan masyarakat negeri ini. Apa sebetulnya pertimbangan pengesahan RUU KUHP menjadi UU?

Sebelum menjawab, perlu dicermati bahwa sumber utama KUHP masih merujuk kitab undang-undang hukum pidana warisan Belanda atau Wetbock van Strafrecht voor Nederlansch. Kitab yang disusun pada 1881 dan diberlakukan di Negeri Kincir Angin pada 1886.

Untuk menghindari kekosongan hukum setelah adanya proklamasi kemerdekaan, pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Wakilnya M. Hatta mengadopsi KUHP pada masa kolonial melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Kompas.com.

Mengambil Jalan Tengah

UU KUHP sebagai sebuah solusi yang diklaim sebagai hasil kecerdasan anak bangsa oleh Anggota Komisi III DPR RI Supriansa saat diwawancarai Parlementaria dan awak media usai menghadiri Rapat Paripurna DPR RI Ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023, menimbulkan tanda tanya, benarkah memberikan solusi problematika yang tepat?

Beberapa pasal dapat dianalisa apakah betul solusi yang tepat ataukah hanya mengambil jalan tengah seperti yang disampaikan oleh Ketua YLBHI, M. Isnur sebagai kompromi politik? Ibarat jalan tengah antara kaum liberal dan kaum religius, di antaranya:

Pasal tentang Kohabitasi (kumpul kebo). Mengambil sisi religi di mana mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim, maka ini bisa menjadi jawaban atas keresahan adanya kemaksiatan di lingkungan masyarakat yang menganut sistem kebebasan. Namun hal ini juga perlu dikritisi lebih jauh sebab kohabitasi bisa diadukan dan dipidanakan sebagai delik aduan dari pihak atau kerabat yang masih terhubung tali keluarga.

Artinya, jika tidak ada aduan dari kerabat ataupun keluarga, juga misal ada delik aduan tapi bukan dari pihak kerabat dan keluarga, maka pasal kohabitasi ini tak bisa dikenai pada pelaku kohabitasi. Apakah ini betul-betul solusi dari permasalahan kohabitasi dari sisi agama?

Hal ini juga bisa menjadi bumerang bagi korban tindakan asusila yang melaporkan pelaku, apakah akan diterima laporannya?

Ironinya di sisi lain, melansir kompas.com, Gubernur Bali Wayan Koster memastikan wisman (wisatawan mancanegara) tidak akan ada pemeriksaan status perkawinan dan menjamin wisman yang ingin berlibur ke Bali. Bukankah ini seperti melegalkan aktivitas perzinahan?

Bagi kaum liberal pasal ini seperti angin segar, selama tidak ada delik aduan dari pihak keluarga, maka bisa dengan mudah melakukan hubungan di luar penikahan.

Dari analisa pasal kohabitasi di atas, terlihat jelas dalam pembuatan UU, negeri ini tidak memiliki standar yang jelas, melainkan sekedar penampung berbagai aspirasi yang berkembang di masyarakat, tidak peduli apakah itu masuk akal atau tidak, apalagi halal dan haram.

Kemudian apa definisi detailnya tentang pasal penghinaan terhadap pemerintahan dan presiden? Apakah mengkritisi kebijakan yang akan menimbulkan kesengsaraan pada rakyat dapat kena pasal ini dan merupakan tindak pidana?

Lalu bagaimana cara menyampaikan aspirasi rakyat jika tak mendapatkan izin dari aparat sesuai pasal 256?

Juga dalam pasal 603, pengurangan hukuman bagi pelaku korupsi apakah mampu memberikan efek jera?

Islam sebagai satu-satunya agama yang memiliki aturan mulai dari bangun tidur sampai bangun negara. Bahkan selama 13 abad lebih, aturan Islam telah terbukti berhasil mengatur urusan masyarakat hingga mengantarkan umat Islam sebagai pemimpin peradaban secara gemilang. Sebuah aturan yang terbukti mampu melintasi zaman dan berbagai wilayah dunia.

Semua itu dapat tercapai karena pada sistem Islam, produk hukum untuk mengatur manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, menggunakan aturan Sang Pencipta kehidupan itu sendiri, yaitu Allah Swt. Hasilnya, aturan yang Maha Adil, jauh dari pengaruh kepentingan dan keterbatasan akal/kecerdasan sebagaimana yang kita saksikan di berbagai belahan dunia saat ini.

Dalam perkara kohabitasi misalnya. Islam sudah sangat jelas mengatur perkara ini sejak ratusan tahun, baik secara definisi maupun jenis hukumannya. Dan aturan ini telah terbukti mampu membawa kehidupan yang harmonis di masyarakat. Tidak ada perdebatan nyeleneh bin ajaib seperti yang terjadi saat ini, dengan pertimbangan suka sama suka atau argumen akal-akalan lainnya.

Sedang produk hukum barat yang begitu mengagungkan kebebasan individu telah mengantarkan berbagai kekacauan di kehidupan sosial mereka. Kasus pelecehan, perselingkuhan, perceraian, bahkan penyimpangan seksual memuncak hingga menjadi perkara seakan biasa di masyarakat.

Dalam hal pengentasan korupsi, jangankan mengendalikan, apalagi berkurang, yang terjadi justru korupsi semakin menggila bahkan semakin canggih dan kompleks. Ini tidak lepas dari mekanisme pemilihan dalam sistem demokrasi itu sendiri yang amat sangat berbiaya mahal dan rumit, penuh celah kecurangan.

Dalam perkara hubungan antara penguasa dan rakyat, Islam juga telah memiliki aturan yang jelas , antara hak dan kewajiban masing-masing. Tugas penguasa/pemimpin dalam Islam adalah sebagai Riayatul Ummah (mengurusi urusan umat). Rakyat memberikan amanah kekusaan kepada pemimpin mereka untuk mengatur mereka berdasarkan hukum Allah Swt, bukan yang lain.

Belajar dari kisah pelantikan Umar bin Khathab menjadi Khalifah, Saidina Umar meminta rakyat menegurnya jika dia salah. Tidak disebut secara empat mata.

Maka berdiri seorang pemuda menghulur pedang sambil berkata, ‘Pedang inilah wahai Umar yang akan membetulkan kamu, jika kamu menyeleweng’.

lalu Umar menjawab , “Alhamdulillah, pujian bagi Allah s.w.t yang menjadikan dari kalangan umat Muhammad mereka yang sanggup meluruskan ‘Umar dengan pedangnya”.

Jadi, Islam memiliki batasan yang jelas dalam menilai kinerja para pejabat pemerintahan, apakah telah menjalankan amanah kekuasaannya atau tidak, yaitu syariat Islam itu sendiri. Bukan dari produk akal manusia yang kemampuannya sangat terbatas dan syarat akan kepentingan sepihak dan bukan sekedar mengambil jalan tengah, tanpa mempertimbangkan baik atau buruk, halal atau haram.

Wallahu a’lam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 23

Comment here