Oleh: Neneng Sri Wahyuningsih
wacana-edukasi.com — Kasus demi kasus terus bergulir, seolah tiada berakhir. Di negeri ini tidak hanya penyebaran virus ganas saja yang semakin menggila, ketimpangan kemiskinan yang menganga, kasus korupsi yang menggurita, tetapi juga kasus penghinaan terhadap agama yang kian merajalela.
Dilansir dari Inews.id (22/8/2021), beredar video dari youtuber Muhammad Kece yang mengatakan bahwa kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren menyesatkan dan menimbulkan paham radikal, serta Nabi Muhammad SAW dekat dengan jin.
Beredarnya video ujaran kebencian dari youtuber Muhammad Kece, menambah deretan pelaku pelecehan agama di negeri ini. Masih lekat dalam ingatan, penistaan agama yang dilakukan oleh Jozeph Paul Zhang sekitar bulan April. Hingga saat ini, pelaku tersebut masih dalam pencarian sehingga sanksi pun belum bisa ditegakkan. Belum lagi kasus-kasus penistaan yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Miris. Mengapa kasus yang demikian terus terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim? Apa yang salah?
Sistem Demokrasi Menyuburkan Penistaan Agama
Mencuat kembalinya kasus penistaan agama, tentu menimbulkan kemarahan ditengah-tengah publik. Masyarakat mendesak agar pihak berwenang segera menanganinya dengan tegas. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas menyampaikan bahwa tindakannya telah menghina dan merendahkan agama Islam, mengganggu kerukunan beragama dan memecah belah umat (Inews.id, 22/8/2021).
Sebenarnya, di negeri ini sudah ada ketentuan hukum untuk menangani kasus ini. Seperti yang disampaikan oleh Suparji Ahmad, Pakar Hukum Pidana bahwa tindakan MK telah memenuhi unsur 156a KUHP. Maka mengacu pada pasal tersebut, ia dihukum penjara selama-lamanya lima tahun (Republika.co.id, 22/8/2021).
Namun, cukupkah hanya dengan memberikan sanksi lima tahun? Mampukah sanksi tersebut membendung lahirnya para penista agama lagi? Nyatanya, selama ini hukum tersebut tidak berjalan efektif. Bahkan pernah terjadi hanya dengan permintaan maaf maka kasus selesai dan sanksi tidak diberikan. Pelaksanaan hukum seolah tebang pilih. Akhirnya pelaku tidak jera atas perbuatannya dan mengundang para tokoh baru untuk melakukan hal yang sama.
Disamping itu, atas nama HAM, manusia bebas berpendapat meski mengandung ujaran kebencian, melecehkan, bahkan mencampuradukkan ajaran agama. Panggung kebebasan sengaja disediakan agar terus dipertontonkan. Negara pun cenderung berdiam diri ketika tidak banyak memantik reaksi dari masyarakat. Bukankah ini mengindikasikan meski Islam sebagai agama mayoritas, tapi nyatanya tak punya pelindung yang kuat? Negara tidak menganggap agama sebagai suatu yang sakral yang harus dijaga.
Adanya ketidaktegasan hukum yang berlaku dan hilangnya tanggung jawab negara dalam melindungi akidah umat menjadi penyebab tumbuh suburnya kasus tersebut. Seyogyanya, semua ini pun terjadi karena memang didukung oleh sistem yang berlaku di negeri ini yakni hukum yang bersumber dari manusia (Demokrasi), yang darinya terlahir paham-paham kebebasan (Liberalisme).
Beginilah akibatnya ketika sistem yang diterapkan tidak bersumber dari Sang Pencipta. Paradigma berpikir keliru bahwa aturan agama tidak boleh dibawa-bawa untuk mengatur urusan kehidupan, akhirnya mengantarkan manusia bebas melakukan apapun sesuai keinginannya tanpa harus memikirkan kehidupannya itu sesuai dengan aturan agama atau tidak.
Lantas seperti apa jika sistem dari Sang Pembuat Hukum ditegakkan? Bagaimana negara menjaga akidah umat?
Islam Menjaga Akidah Umat
Islam memandang akidah/Iman merupakan perkara penting yang harus dimiliki oleh setiap individu. Hal ini dikarenakan ia adalah faktor penentu kehidupan di fase berikutnya. Sehingga dalam penjagaannya pun harus dilakukan oleh seluruh kaum muslimin. Baik itu individunya sendiri, masyarakat, termasuk negara. Negara laksana perisai bagi umatnya. Adapun mekanisme negara yang menerapkan Islam (Khilafah) dalam menjaga akidah umat diantaranya:
Pertama, Khilafah akan menghujamkan dasar akidah Islam kepada seluruh warganya baik melalui kurikulum pendidikan maupun pembinaan umum.
Kedua, Khilafah akan melarang segala bentuk penyebaran selain agama Islam. Media yang ada akan difokuskan untuk menyebarkan Islam, mengajarkan dan memahamkan pemikiran Islam sehingga terbentuk keimanan yang kokoh.
Ketiga, memberikan sanksi tegas yang memberikan efek jera bagi siapapun yang melecehkan agama Islam, yakni dengan hukuman mati. Hal ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw. Ketika seorang sahabat mencekik wanita yahudi hingga mati dan Rasulullah mendiamkannya.
Pernah juga terjadi pada masa Kekhalifahan Utsmaniyyah. Saat itu akan digelar pementasan drama karya Voltaire yang akan menista kemuliaan Nabi Muhammad Saw. Hanya saja, Khalifah Abdul Hamid II langsung memberi peringatan keras pada Kerajaan Inggris jika tetap mengadakan pementasan murahan tersebut. Akhirnya Kerajaan Inggris pun ketakutan dan pementasan dibatalkan.
Adanya ketegasan hukum dan kewibawaan negara dalam melindungi akidah umatnya menjadikan kasus pelecehan agama tidak akan pernah memiliki panggung untuk melancarkan misinya.
Ketika sistem Demokrasi Sekularisme yang rusak ini sudah terbukti meniscayakan hukuman yang tegas dan tak mampu membungkam mulut para penista agama, maka saatnya kita melirik bahkan berpindah kepada sistem lain yang memang sudah terbukti kemampuannya dalam menindak tegas sehingga para penista menjadi tak berkutik. Tidak lain sistem tersebut adalah Sistem Islam. Sistem yang bersumber dari Sang Pencipta, yang tidak ada kekurangan sedikitpun di dalamnya.
Wallahu a’lam bishshowab
Views: 7
Comment here