wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Viralnya sosok Bima Yudho Saputro di media sosial, yang bercerita tentang kegaduhan usai videonya mengkritik kampung halamannya di Lampung saat ini terus menjadi sorotan. Kendati Bima sempat dilaporkan ke pihak kepolisian, dan keluarganya juga ikut diperiksa polisi, ia masib belum menyerah dengan video-video lainnya yang kini masih menjadi sorotan warganet. “Hari ini, keluarga gua kena intervensi dan mereka melakukan profiling. Mencoba mencari-cari kesalahan gue dan memaksa untuk bungkam dengan kebobrokan yang ada,” ujarnya seperti dilansir Republika.co.id, Sabtu (15/4/2023).
Tak bisa dipungkiri, jika warganet tak membela Bima, bisa-bisanya ia berujung dibui. Namun hal ini tidak menutup kenyataan bahwa kritikan Bima sebelumnya yang direspon dengan pelaporan ke polisi menunjukkan adanya penguasa yang anti kritik. Realitas ini sebenarnya sudah lama ada di negeri ini, yang tergambar dari pengesahan UU ITE, yang sering dijadikan alat untuk membungkam pengkritik, dan menguatkan arogansi penguasa.
Kritik, apalagi yang membangun sejatinya sangat dibutuhkan dan merupakan mekanisme kontrol masyarakat. Terlebih bagi penguasa yang mendapatkan amanah mengurusi rakyat, seharusnya wajib memperhatikan apa-apa yang menjadi keluhan masyarakat. Apalagi yang dikeluhkan adalah sesuatu yang umum, yaitu infrastruktur jalan. Bahwa fasilitas itu digunakan oleh semua elemen masyarakat setempat.
Respon negara terhadap pengkritik malah menunjukkan bahwa demokrasi yang diagung-agung itu hanyalah kulitnya saja. Akan tetapi, ketika ada rakyat yang mengkritik malah dikenai intervensi, dan lebih mirisnya lagi keluarganya juga jadi sasaran penguasa. Tentu perkara yang menimpa Bima tidak akan kita temukan dalam sistem Islam yang mengakomodir adanya kritik dari umat dan memberikan tuntunan berupa mekanisme muhasabah yang benar.
Terbukti dari sejarah Islam yang panjang dan pernah berjaya hampir empat belas abad lamanya. Banyak yang memberikan teladan bagaimana sikap penguasa yang amanah yang memperhatikan kritik umat. Diantaranya adalah kritik kebijakan Umar dalam membatasi mahar.
Lalu, apa yang Umar ucapkan pada saat itu? Ia beristighfar dan mengakui kesalahannya. Beliau dikritik di hadapan publik namun justru bangga kepada rakyat yang mengkritiknya. Meskipun yang mengkritiknya seorang wanita lemah tak berdaya. Wallahu’alambishawab!
Oleh Eva Ariska Mansur (Anggota Ngaji Diksi Aceh)
Views: 12
Comment here