Opini

Peningkatan Pajak, Benarkah untuk Kesejahteraan Rakyat?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Khaziyah Naflah (Freelance Write)

wacana-edukasi.com–Kinerja Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Kendari tahun 2021 cukup positif. Meski di tengah pandemi, Bapenda mampu melampaui target penerimaan pajak daerah. Realisasi penerimaan pajak tahun lalu mencapai Rp 144 miliar dari target sebesar Rp 125,4 miliar. Tak heran, Bapenda optimis bisa memenuhi target penerimaan pajak tahun 2022 ini sebesar Rp 146,6 miliar.

Kepala Bapenda Kota Kendari, Sri Yusnita meyakini sektor penerimaan pajak meningkat tahun ini. Selain penanganan covid-19 yang semakin terkendali, pertumbuhan ekonomi Kota Kendari mulai mulai stabil. Kondisi ini akan berpengaruh aktivitas ekonomi pelaku ekonomi maupun masyarakat.

“Target penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp 146,6 miliar. Dengan kerja keras, Insya Allah bisa tercapai. Jika melihat kondisi saat ini, kami cukup optimis. Kami berharap tidak ada lagi situasi (kasus covid meningkat) yang tidak diinginkan,” kata Sri Yusnita saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (26/1).

Tahun lalu lanjutnya, target penerimaan pajak terpenuhi bahkan melampaui target hampir sebesar Rp 20 miliar. Dari Rp 125,4 miliar, pihaknya mampu meraup penerimaan pajak Rp 144 miliar. Pendapatan pajak yang terbesar berasal dari pajak Penerangan jalan. Sementara terendah dari pajak sarang walet (kendaripos.co.id, 27/01/2022).

Pajak, Vampir dalam Sistem Kapitalisme
Pajak dalam sistem kapitalisme bagaikan “vampir” yang seakan siap menghisap rakyat kapan saja dan di mana saja. Bagaimana tidak, negara menyasar seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali dan mewajibkan pajak atas segala transaksi. Seperti pajak bangunan, tanah, motor, mobil dan lain sebagainya tanpa pandang bulu, bahkan usaha masyarakat yang sukses pun tak luput dari pungutan pajak, baik kaya maupun miskin akan menangung pajak tersebut.

Tak hanya itu, pemungutan pajak pun tak sebanding dengan geliat pemerintah yang berusaha mengembangkan perekonomian negeri ini melalui pemberdayaan UMKM. Kebijakan ini terlihat sangat kontradiksi. Di satu sisi, masyarakat diajak untuk mengembangkan UMKM, sebab UMKM adalah salah satu pendongkrak perekonomian negara, baik daerah maupun pusat. Sehingga pemerintah berupaya mengenjot sektor tersebut. Apalagi di daerah Sultra yang diyakini jika potensi UMKM sangat tinggi, mulai dari perikanan, pertanian, kuliner, bahan makanan dan lainnya (beritakotakendari.com, 20/11/2021). Namun di satu sisi, disaat usaha masyarakat sukses dan menuai keberhasilan, pemerintah justru membebankan wajib pajak terhadap usaha tersebut.

Hal ini jelas akan merugikan bahkan menzalimi semua masyarakat. Karena masyarakat akan dibayang-banyangi dengan kewajiban pajak tersebut, dan apabila tidak membayar pajak, maka mereka akan mendapatkan sanksi yang telah ditetapkan. Padahal, memunggut pajak tanpa alasan yang syar’i sama halnya dengan tindakan memungut cukai (al-maksu), yang telah jelas dilarang oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai”. (HR. Ahmad, ad-Darami dan Abu Ubaid).

Namun inilah salah satu fakta dari kebobrokan paradigma sistem ekonomi neoliberal yang menjadikan pajak sebagai penopang pendapatan negara. Dengan paradigma tersebut maka rakyat bukan semakin maju dan makmur karena usaha mereka, namun rakyat justru akan semakin terpuruk karena pungutan pajak tersebut.

Dalam sistem kapitalisme, negara tidak mempunyai peranan penting alias sangat terbatas dalam pengelolaan dan pengawasan perekonomian. Negara hanya mengandalkan pajak sebagai penopang pendapatan. Padahal, negeri ini adalah negeri yang memiliki sumber daya alam melimpah yang harusnya mampu menjadi pemasukan bagi pendapatan negara.

Namun apalah daya ditangan sistem kapitalisme, pengelolaan sumber daya alam tak lagi dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat, namun hampir semua SDA yang ada di negeri ini dikelola oleh asing atau swasta dan bisa dipastikan jika hasilnya bukan untuk negara atau kesejahteraan rakyat, namun kesejahteraan bagi segelintir elit dan para pengusaha.

Maka hal yang mustahil jika negara ingin menyejahterakan rakyat atau memperbaiki ekonomi negara dengan menaikkan pendapatan pajak. Sebab, pajak justru menjadi beban berat bagi rakyat.

Pajak dalam Sistem Islam
Pajak pada dasarnya merupakan harta yang diwajibkan Allah swt kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, namun ini diwajibkan bila kondisi Baitul Mal mengalami kekosongan harta.

Baitul Mal sendiri memiliki pos-pos pemasukan yang berasal dari fai, kharaj, ‘usyur, dan harta milik umum atau pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang dialihkan menjadi milik negara. Sehingga Negara boleh memunggut pajak jika tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, karena dana negara tidak mencukupi untuk membiayai berbagai pengeluaran yang jika pengeluaran tersebut tidak dibiayai maka akan timbul kemadharatan. Sedangkan mencegah kemudharatan adalah suatu kewajiban. Sehingga pajak tersebut menjadi wajib. Namun negara tidak bisa semena-mena dalam memunggut pajak dari kaum muslimin, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh negara di antaranya sebagai berikut :

Pertama, negara berkomitmen dalam penerapan syariat Islam. Kedua, negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan kemaslahatan umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan negara yang sedang dirongrong oleh musuh. Ketiga, tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh negara (Baitul Mal) betul-betul kosong.

Keempat, pemungutan pajak hanya diberlakukan oleh orang-orang kaya saja atau orang yang mempunyai kelebihan harta, tidak boleh diberlakukan oleh rakyat miskin.

Sebagaimana sabda Rasulullah “Dan siapa saja yang tidak memiliki kelebihan harta, maka pajak tidak diambil dari yang bersangkutan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw: Sebaik-baiknya shadaqah adalah yang berasal dari orang-orang kaya.” (HR. Bukhari melalui jalur Abu Hurairah).

Kelima, pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika negara dalam keadaan genting. Keenam, besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja. Sehingga pemungutan pajak tidak dilakukan secara massif tanpa pandang bulu yang mengakibatkan rakyat terzalimi.

Inilah indahnya sistem ekonomi Islam yang menjadikan syariat Allah sebagai asas untuk berpijak. Yang memiliki tujuan dan paradigma yang lurus dan jelas, dan berpedoman akan pemenuhan hajat hidup orang banyak. Wallahu A’alam Bisshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here