Oleh: Sumariya)Anggota LISMA Bali)
wacana-edukasi.com, OPINI– Polda Metro Jaya menyebut bakal memproses laporan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Kepala Kantor Otoritas Bandar Udara Wilayah X Merauke, Asep Kosasih, yang bersumpah sambil menginjak Al-Quran. Perbuatan itu dilakukan oleh Asep Kosasih demi meyakinkan istrinya bahwa dirinya tidak berselingkuh. Akibat perbuatan ini, Asep dilaporkan oleh istrinya sendiri, Vani Rossyane. Selain penistaan agama, Asep Kosasih diduga melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). (antaranews.com)
Berulangnya kasus penistaan agama, membuktikan bahwa masyarakat tidak menyadari kepentingan menjaga kemuliaan agama. Agama beserta simbolnya, justru dianggap sebagai barang olok-olokan yang bisa direndahkan kapan saja dan semaunya. Perilaku nista itu bisa tumbuh subur karena sistem kehidupan yang eksis saat ini, yaitu sistem Sekulerisme. Sistem ini membuat agama dipisahkan dari kehidupan, agama bukan lagi menjadi tolak ukur berpikir dan berperilaku seseorang.
Alhasil, manusia merasa bebas untuk melakukan segala hal yang menurutnya ingin dilakukan. Dan semua itu semakin kokoh, karena adanya sistem Demokrasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Ditambah sistem sanksi bagi penista agama begitu lemah dan tidak menjerakan. Hukuman para penista agama hanya sekedar di penjara, setelah dipenjara para penista bisa berulang melakukan tindakan serupa, bahkan menjadi inspirasi yang lain untuk melakukan hal yang sama.
Penistaan agama yang terus berulang, membuktikan bahwa umat Islam tidak terlindungi dalam sistem Sekularisme. Umat Islam hanya akan terlindungi, ketika umat Islam berada dalam sistem Islam di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Karena hanya Khilafah lah perisai sejati umat Islam.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaannya).”
(HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain)
Dan sepanjang sejarah Daulah Khilafah Islamiyah berdiri, Khilafah menjadi garda terdepan melindungi rakyatnya dari penghinaan atau penistaan agama dan menjaga akidah umat, agar tetap lurus. Salah satu buktinya adalah sikap tegas Sultan Abdul Hamid II kepada Perancis yang menggelar teater karya Voltaire. Drama yang bertajuk “Muhammad atau Kefanatikan”, berisi penghinaan kepada Rasulullah, Muhammad SAW. Sultan Hamid II mengultimatum Prancis, jika tidak membatalkan drama itu, Prancis akan merasakan bahaya politik yang akan dihadapinya. Prancis dengan serta-merta membatalkannya. Kemudian orang-orang teater itu datang ke Inggris untuk merancang pementasan serupa. Ketika Sultan Abdul Hamid II mengetahui hal ini, beliau memberi ultimatum kepada Inggris, sebagaimana ultimatum yang diberikan kepada Prancis, namun Inggris menolak dengan alasan tiket-tiket telah terjual dan pembatalan drama itu bertentangan dengan prinsip kebebasan rakyatnya.
Sultan Abdul Hamid II, sekali lagi memberi perintah, “Saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengumumkan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah kami. Saya akan kobarkan jihad akbar (jihad besar).”
Inggris pun dengan serta-merta membatalkan pementasan drama itu. Dari kisah ini, terlihat sekali bahwa keberadaan Khilafah begitu menjaga simbol Islam dan akidah umat dari musuh-musuh atau orang-orang yang menistakan Islam. Untuk itu, jika ada Daulah Khilafah Islamiyah, umat tidak akan terus-menerus dihadapkan oleh perilaku nista, para penista agama. Seperti perbuatan Asep Kosasih, perbuatan tersebut jelas menghina simbol Islam. Menghina simbol Islam, berarti telah menghina Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sementara sanksi Islam terhadap orang yang menghina Allah dan Rasul-Nya, jika pelakunya muslim, maka dia akan mendapatkan sanksi had murtad (hukuman mati). Sebelumnya, ia telah diminta bertaubat selama tiga hari, jika tetap tidak mau bertobat, maka dilaksanakan hukuman mati atasnya. Jika ia menyesal dan bertobat, hukuman dikembalikan pada kebijakan Khalifah.
Syaikh Abdurrahman Al-Maliki dalam kitab Nizhamul Uquubaat bab “Had Murtad”, menyatakan bahwa qaul (ucapan) yang jelas dan tidak mengundang penafsiran lain, yang mana di dalamnya ada penghinaan terhadap Rasulullah SAW, maka ia telah kafir. Bahkan Qadhi Iyadh menjelaskan, bahwa tidak ada perbedaan di kalangan ulama kaum muslim, tentang halalnya darah orang yang menghina Rasulullah SAW. Meski sebagian ada yang memvonis pelakunya sebagai orang murtad, tetapi kebanyakan ulama menyatakan pelakunya kafir, bisa langsung dibunuh dan tidak perlu diminta bertaubat dan tidak perlu diberi tenggang waktu tiga hari untuk kembali ke Islam.
Jika pelaku penista agama adalah orang non muslim (kafir), maka dilihat, jika pelaku termasuk kafir dzimmi, maka Khilafah akan membatalkan semua jaminan Daulah terhadapnya dan bisa diusir dari wilayah Daulah, bahkan dibunuh. Jika pelaku bukan kafir dzimmi, maka penghinaan tersebut bisa dijadikan Daulah Khilafah sebagai alasan perang kepada negara yang bersangkutan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II.
Demikian jelas, bahwa keberadaan Daulah Khilafah Islamiyah akan menjadi kekuatan besar yang melindungi agama Allah SWT dan izzul Islam wal muslimin. Namun, sebelum sistem sanksi diberlakukan, Khilafah akan mengedukasi umat agar tepat bersikap terhadap agamanya, melalui penerapan sistem pendidikan Islam, Khilafah akan memastikan setiap individu rakyatnya memiliki kepribadian Islam. Mereka akan sadar betul, senantiasa menjaga kemuliaan agamanya. Ketika negara melindungi akidah rakyatnya dan masyarakat sadar menjaga agamanya, insya Allah pelaku penistaan agama tidak akan merebak.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 25
Comment here