Oleh: Wina Widiana
wacana-edukasi.com– Seakan tidak pernah ada ujungnya, penistaan terhadap simbol-simbol ataupun ajaran Islam senantiasa muncul kepermukaan dan kejadian itu senantiasa berulang dan terulang kembali. Begitulah posisi agama dalam sistem yang memisahkan agama dalam kehidupan, tidak memiliki posisi yang mulia sehingga kasus-kasus penistaan agama terus terulang kembali.
Ramai di media terkait penistaan yang dilakukan oleh Mohamad Kosmas atau Muhammad Kece yang dalam vidio di akun YouTube nya menghina Rasulullah Saw. Pun dilain kasus ada para santri yang menutup telinga ketika mendengar musik saat menunggu giliran untuk di vaksin. Seorang pejabat dan publik figur mengomentari hal tersebut dengan nada merendahkan ajaran yang sudah diyakini para santri tadi. Sungguh sesak dada ini ketika ajaran dan simbol agama Islam selalu ada yang menghina dan melecehkan agama yang mulia.
Muhammad kece dijerat dengan pasal sangkaan berlapis, terancam hukum penjara 6 tahun. Menjerat pasal dugaan persangkaan ujaran kebencian berdasarkan SARA menurut undang-undang dasar Informasi Transaksi Elektronik (ITE) hingga penistaan agama yaitu pasal 28 ayat (2) jo pasal 45a ayat (2) UU ITE/ pasal 156a KUHP . Salah satu isinya yaitu:
Pasal 28 ayat 2: setiap orang dilarang “Dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian/permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Seperti itulah hukuman yang di berikan bagi pelaku penista agama, tidak memberikan efek jera bagi para pelakunya dan hukuman yang di tetapkan kepada pelaku dengan hukuman penjara saja. Menetapkan hukuman hanya untuk meredam kemarahan publik saja, tanpa berupaya untuk menyelesaikan persoalan tadi agar tidak terulang kembali. Sehingga muncul kembali kasus-kasus penistaan baru yang senantiasa berulang, karena mereka tidak merasa takut dengan hukuman atau aturan yang diberlakukan saat ini.
Dalam sistem demokrasi mereka bebas mengungkapkan pendapat mereka sekalipun itu berupa ucapan yang berisi penistaan atau perendahan terhadap simbol dan ajaran Islam. Karena di dalam demokrasi mereka bebas untuk berpendapat dan berekspresi, menjungjung tinggi kebebasan individu sehingga wajar saja jika saat ini kasus tersebut kembali muncul ke permukaan dan tidak pernah usai, selalu saja berulang. Dengan aqidah sekulerismenya yang memang mengesampingkan agama dari kehidupan, sehingga agama tidak dijaga kemuliaannya, tidak dipelihara atau bahkan jauh sekali untuk melindungi para pengembannya.
Lalu apakah kita masih mau berharap pada sistem demokrasi yang sudah nyata terindra bahwa tidak bisa menyelesaikan permasalah umat khususnya terkait penistaan agama? Apakah kita masih berharap pada sistem demokrasi yang tidak bisa menuntaskan polemik penistaan agama? Tentu tidak, karena sudah kita lihat faktanya bahwa demokrasi tidak bisa memberikan solusi yang tuntas untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Lalu bagaimana solusi dalam Islam? Islam mendudukan agama sebagai suatu yang vital yang wajib untuk dijaga, di muliakan, juga memelihara dan melindungi agama. Kasus penistaan terhadap agama ataupun simbol dan ajaran Islam tidak akan lolos dari aturan Islam, tidak akan dibiarkan pasti akan diselesaikan hingga tuntas. Penghinaan terhadap Rasulullah saw akan dihukum berat bahkan pelakunya pun diancam Allah dengan azab yang pedih sebagaimana firman Allah dalam QS At Taubah :61
“Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah akan mendapat azab yang pedih”
Adapun pendapat kebanyakan para ulama menuturkan bahwa orang yang menghina Nabi Saw dinyatakan kafir. Qadhi Iyadh juga menuturkan tentang halalnya darah orang yang menghina Rasulullah Saw.
Sanksi yang ditetapkan adalah hukuman mati, bisa langsung dibunuh tanpa perlu diminta untuk bertobat atau diberi tenggang waktu 3 hari untuk kembali kepada Islam. Seperti itulah hukuman di dalam Islam bagi orang yang menghina Nabi Muhammad Saw, sangat tegas dan kasus penistaan terhadap simbol agama tidak akan terjadi lagi karena akan memberikan efek jera bagi pelakunya.
Adapun bagi pelaku yang menghina atau merendahkan ajaran Islam, seperti fakta di atas, dalam sanksi Islam atau uqubat perbuatan tersebut dikategorikan dalam sanksi ta’zir, yakni sanksi yang ditetapkan oleh hasil ijtihad (penggalian hukum) oleh Qadhi (hakim). Sanksinya dari yang ringan dengan teguran atau bahkan dengan hukuman mati ketika pelanggaran yang dilakukan pelaku itu berat. Aturan yang ditetapkan dalam Islam bagi pelaku penistaan agama ataupun penghinaan terhadap Rasulullah sangatlah tegas, tidak seperti aturan yang diterapkan saat ini yang membuat para pelaku merasa aman-aman saja ketika melakukan penistaan. Sekalipun di hukum, tidak bisa menuntaskan persoalan sampai ke akar-akarnya. Tetapi hanya sebatas menyentuh permukaanya saja, yang suatu saat kasus-kasus tersebut akan terulang kembali.
Sedangkan di dalam aturan Islam yang sesuai dengan fitrahnya manusia kemudian memuaskan akal manusia, aturan di dalam Islam akan menjadi jawabir (pencegah) dan jawazir (penebus) ketika diterapkan. Sebagai jawabir(pencegah) agar kasus-kasus serupa tidak terulang kembali dan menimbulkan rasa takut agar orang-orang tidak bebas melakukan penistaan sesuka hatinya. Sebagai jawazir( penebus) maka akan menjadi penebus dosanya di akhirat kelak ketika dia dihukum dengan aturan Islam. MasyaAllah, seperti itulah hukuman bagi para pelaku penista agama. Kasus serupa tidak akan terulang ketika aturan Islam diterapkan di tengah-tengah umat. Saatnya kembali kepada aturan Islam yang sempurna yang akan menjadi solusi dari problematika umat.
Views: 69
Comment here