Opini

Pentingnya Mengubah Sistem

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Pri Afifah

Wacana-edukasi.com, OPINI-– Kabar dari berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa kondisi global saat ini sedang tidak baik-baik saja. Di Palestina, genosida terus berlangsung tanpa henti, dan hingga kini belum ada solusi yang benar-benar tuntas yang ditawarkan oleh negara-negara Muslim di sekitar Palestina. Sementara itu, di Bangladesh, gelombang perubahan mulai muncul. Rezim Hasina yang telah berkuasa selama 15 tahun akhirnya ditumbangkan oleh rakyatnya. Masyarakat telah muak dengan kepemimpinan Hasina yang penuh dengan korupsi, represif terhadap kaum Muslim Bangladesh, dan anti terhadap umat Islam.

Di dalam negeri, situasi juga tidak kalah genting. Aksi demonstrasi yang menentang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berujung pada pembatalan pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis (22/8/2024). Kejadian ini menjadi sorotan media internasional. Bentrokan antara buruh, mahasiswa, dan kelompok masyarakat sipil dengan polisi terdengar hingga ke Singapura, Malaysia, Amerika Serikat (AS), dan Qatar. Media asing menyoroti kemarahan rakyat yang menentang keputusan DPR yang menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas partai dan syarat usia pencalonan kepala daerah (Kompas.com, 23/08/2024).

Walaupun rakyat baru menyadari ancaman yang datang dari rezim Jokowi, yang merusak undang-undang dan dianggap mencederai demokrasi, kesadaran ini lebih baik daripada tidak sama sekali. Namun, masalah sebenarnya bukan hanya soal mencederai demokrasi; yang paling mendasar adalah penerapan sistem kapitalis-demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Kedaulatan yang diserahkan kepada manusia inilah yang memungkinkan hukum diubah sesuai dengan kepentingan penguasa sebagai pemegang kendali.

Dalam sistem demokrasi, di mana suara rakyat dianggap sebagai suara Tuhan, kenyataannya, suara rakyat sering kali diabaikan. Suara rakyat hanya diakui saat pemilu atau pilkada, yang sebenarnya hanya merupakan seremonial untuk mengganti rezim. Siapa pun yang berkuasa, selama asas negara yang digunakan adalah ideologi kapitalis, maka penguasa akan lebih memprioritaskan kepentingan para pemilik modal, bukan kepentingan rakyat.

Rakyat telah lelah dengan rezim saat ini yang bertindak semena-mena, mengikuti hawa nafsu kekuasaan dan bertindak layaknya seorang raja otoriter. Bayangkan, semua partai politik berada di bawah kendalinya. Terbentuknya Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus adalah bukti peranannya yang tak terbantahkan. Pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur, pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, serta perubahan undang-undang yang memungkinkan anak-anaknya untuk maju menjadi calon wakil presiden dan gubernur hanyalah beberapa contoh dari keinginannya.

Sistem demokrasi yang berasaskan sekularisme atau memisahkan agama dari kehidupan telah menjadi pintu utama bagi tumbuh suburnya rezim represif. Mereka bisa bebas melakukan apa pun yang diinginkan dengan dalih telah disepakati oleh masyarakat melalui proses pemilu.

Dalam sistem sekuler, pemimpin dapat bertindak sebebas-bebasnya karena tidak ada nilai agama yang dijadikan pedoman dalam hidupnya. Agama hanya dianggap ada dalam ibadah ritual dan sebagai hal yang dipakai saat memperingati hari-hari besar. Inilah konsekuensi dari sistem yang memisahkan agama dari kehidupan.

Pergantian rezim terjadi berulang kali, namun kondisi masyarakat tetap terpuruk. Kemiskinan terus dirasakan. Perubahan yang diimpikan tidak kunjung tampak. Masyarakat pun tidak kenal lelah, terus berjuang agar perubahan yang diimpikan segera terwujud.

Faktanya, meskipun rakyat berusaha mengganti rezim penguasa, selama sistem yang digunakan untuk mengatur negara adalah sistem kapitalis-sekuler, maka perubahan yang diperjuangkan hanyalah perubahan semu. Selama 79 tahun Indonesia merdeka, pemimpin silih berganti, tetapi hasilnya? Kondisi rakyat tetap terpuruk dalam berbagai aspek. Sistem kapitalis-sekuler telah gagal menciptakan pemimpin yang amanah dan mampu menyejahterakan rakyat.

Padahal, andai masyarakat mengetahui bahwa ada sistem yang lebih baik, sistem yang diperjuangkan oleh para ulama terdahulu, yang diterapkan selama lebih dari 13 abad lamanya, banyak bukti sejarah yang menunjukkan keberhasilan sistem ini dalam mengurus masyarakat. Sistem ini adalah sistem Islam yang mengatur dengan syariat-Nya.

Sistem Islam memiliki seperangkat aturan yang mampu mencegah dan menangkal pemimpin agar tidak bertindak otoriter maupun represif. Penguasa atau Khalifah dipilih untuk menjalankan syariat Islam. Khalifah bertugas melegalisasi hukum-hukum syariah yang berasal dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ sahabat, dan qiyas. Dengan menjalankan seluruh syariat yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka hukum tidak akan mudah diubah sesuai dengan kepentingan penguasa.

Khalifah dipilih dengan ketentuan syara’ dan diangkat untuk mengurusi urusan masyarakatnya, termasuk urusan ekonomi, seperti memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok. Khalifah memastikan bahwa kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan terdistribusi dengan baik. Khalifah juga bertugas menjamin keamanan dalam negeri, menjalin hubungan luar negeri untuk menyebarluaskan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia karena dakwah merupakan tugas negara. Selain itu, Khalifah juga melaksanakan hukum (uqubah) bagi warganya dengan adil. Penguasa Islam terikat dengan ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya, sehingga ketentuan ini bersifat tetap.

Keberadaan penguasa diawasi langsung oleh rakyat, dan rakyat wajib mengoreksi penguasa jika Khalifah keluar dari ketentuan syara’. Dalam Islam, mengoreksi penguasa memiliki kedudukan yang penting sehingga rakyat tidak perlu takut untuk melakukannya. Dengan konsep ini, kemungkinan penguasa menjadi represif akan hilang.

Meskipun nyawa menjadi taruhan dalam mengoreksi penguasa, Islam memberikan kedudukan tinggi bagi rakyat yang berani melakukannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim, lalu ia memerintah penguasa itu (dengan kemakrufan) dan melarangnya (dari kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuh dirinya.” (HR Al-Hakim dan Ath-Thabarani). [ ]

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 6

Comment here