Oleh : Nia Umma Zhafran
wacana-edukasi.com, OPINI-– Aroma abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) sepertinya kian menguat. Yang sebelumnya aroma ini tercium saat politik Presiden Jokowi. Kini aromanya berlanjut pada Prabowo-Gibran yang belum sah menjabat. Hal ini terlihat dari sejumlah pendukungnya yang mulai ditempatkan di jajaran petinggi BUMN. Seolah rezim ingin memamerkan kekuasaannya dengan tanpa rasa malu menempatkan para pendukung bahkan sanak saudaranya di sejumlah jabatan elite pendulang harta.
Dikabarkan pengangkatan sejumlah politisi pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai petinggi di BUMN menjadi sorotan banyak pihak. Banyak pengamat serta aktivis yang mengkritisi praktik tersebut sebab “politik balas budi”. Pasalnya penempatan seseorang di jabatan publik (BUMN), haruslah berdasarkan pada kompetensi dan proses seleksi terbuka. (voaindonesia.com, 16/06/2024)
Kondisi ini menjadi sorotan karena dikhawatirkan kesan politik ‘balas budi’ yang akan membebani kinerja BUMN. Sejak tahun 2015-2024 tercatat ada 18 kursi komisaris yang diduduki sejumlah tokoh dan politisi. Tak hanya kapasitas yang dipertanyakan, bagi-bagi jabatan juga sangat kental dengan muatan politik. Pengamat menilai adanya indikasi penyalahgunaan kekuasaa dari praktik “bagi-bagi jabatan” ini. (www.bbc.com)
Survei data Transparency International Indonesia (TII) pada 2020 sebanyak 17,63 persen diangkat dari kalangan professional, sisanya 82,37 persen diangkat berdasarkan pertimbangan politik. Nampak jelas adanya konflik kepentingan, bukan faktor profesionalitas, juga bukan faktor kompetensi yang dikedepankan, tetapi lebih pada faktor kedekatan. Sudah menjadi rahasia umum jumlah mereka yang begitu besar tapi kinerja pemimpin kurang kapabel di bidangnya. Maka wajar jika performa sejumlah besar BUMN kian menurun. Hal ini hanya akan berakibat menipisnya kinerja BUMN yang akhirnya merugikan negara.
Fenomena ini merupakan bagian dari politik transaksional atau politik kepentingan. Politik ini adalah keniscayaan dalam sistem politik Demokrasi. Sebab semua, termasuk kedudukan dan pemerintahan dinilai dari segi manfaat dan materi yang didapat. Kerjasama terjadi karena adanya kepentingan atau imbalan yang hendak di raih.
Tidak perlu standar tertentu, termasuk dalam hal kapabilitas (kemampuan). Hal ini semakin memperkuat bahwa selama dominasi sistem Demokrasi-Kapitalisme digunakan sebagai landasan mengatur urusan publik, selamanya rakyat akan terus dibohongi dengan berbagai tipuan manis korporatokrasi. Jika para pejabat dalam tataran pemerintah diangkat dari mekanisme “balas budi” jasa, tidak mungkin meniscayakan pemerintahan yang terwujud adalah pemerintahan yang korup dan merugikan kepentingan publik.
Karena kemampuan dan profesionalitas seorang pejabat dijadikan syarat kesekian dalam menduduki jabatan. Rasulullah SAW sendiri telah menggambarkan ketika sebuah urusan diserahkan bukan ahlinya, kehancuranlah yang akan didapat. Jika telah di sia-siakan (amanat) maka tunggulah waktunya.
Berdasarkan hal ini, Islam menetapkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Diamana hal ini tiak diperhatikan dalam sistem politik Demokrasi yanh berasaskan sekuler (pemisahan agama dari kehidupan). Islam menentukan para pejabat termasuk penguasa harus memiliki kapabilitas agar dapat menjalankan perannya dengan optimal.
Syeik Taqiyyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa seorang pejabat negara harus memiliki 3 kriteria penting, yaitu al-quwwah (kekuatan), at-taqwa (ketakwaan), dan al-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat).
Makna al-quwwah (kekuataan) adalah ‘aqliyah nafsiyah. Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal yang menjadikan dirinya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan syari’ah Islam. Pemimpin yang mempunyai kekuatan akal akan mampu mengeluarkan kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Sebaliknya pemimpin yang lemah akalnya, sedikit banyak pasti akan menyusahkan rakyatnya.
Selain harus memiliki kekuatan Aqliyah, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan nafsiyah (kejiwaan). Seperti sabar, tidak mudah emosional, tisak tergesa-gesa dan lain sebagainya. Seorang yang lemah kejiwaannya cenderung akan mudah mengeluh, gampang emosi, dan gegabah dalam mengambil tindakan. Pemimpin seperti ini tentu akan menyusahkan rakyat yang dipimpinnya.
Sedangkan at-taqwa (ketakwaan) salah satu sifat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin maupun penguasa. Pemimpin yang bertakwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur segala urusan rakyatnya. Pemimpin seperti ini cenderung tidak menyimpang dari aturan Allah SWT. Ia selalu berjalan lurus sesuai dengan syari’at Islam dan berusaha sekuat tenaga menerapkan hukum-hukum Allah.
Kemudian ar-rifq adalah lemah lembut tatkala bergaul dengan rakyatnya. Sifat ini sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW. Dengan sifat ini pemimpin akan semakin dicintai dan tidak diikuti oleh rakyatnya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Aisyah R.a berkata, saya mendengar Rasulullah berdoa di rumah ini. “Ya Allah, siapa saja yamg diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku kemudian ia membebaninya, maka bebanilah dirinya.Siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah kepada dirinya.” (HR. Muslim)
Inilah kriteria yang menjadi sandaran untuk mengurus umat. Kriteria ini hanya akan terwujud dalam sistem yang menjadikan aqidah Islam sebagai dasar pemerintahan yakni Khilafah.
WalLaahu a’lam bishshowwab
Views: 9
Comment here