Surat Pembaca

PEP : Benar kah Sebagai Jaminan Perubahan Nasib Perempuan?

blank
Bagikan di media sosialmu

wacana-edukasi.com– Mensos Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mendorong 1.500 ibu keluarga penerima manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) untuk berani mengubah nasib lewat berwirausaha.Hal ini disampaikan Risma—sapaan akrab Mensos—dalam acara Sosialisasi Penguatan Perekonomian Subsisten sebagai Upaya Perekenomian Masyarakat di Pendopo Kabupaten Malang, Jawa Timur (Jatim).

Kegiatan tersebut digelar untuk mendorong kemandirian finansial dan meningkatkan kesejahteraan KPM PKH secara bertahap. Mereka diharapkan dapat segera lulus dari program PKH dalam waktu enam bulan ke depan. (Kompas.com/26/6/2022)

Kemiskinan telah menjadi masalah yang menimpa perempuan di bawah keberlangsungan sistem kapitalisme. Kondisi ini pun diperparah ketika pandemi Covid-19 melanda. Banyak perempuan kehilangan nafkah sebab suami mereka di-PHK, usahanya gurlung tikar atau menjadi korban pandemi. Akhirnya sebagian para istri ikut terjun mencari nafkah untuk mempertahankan ekonomi keluarga. Mereka menjadi bagian dari sumber daya ekonomi yang bisa diberdayakan.

Dalam sistem kapitalisme siapapun dianggap sebagai sumber daya ekonomi yang harus bisa mendatangkan manfaat secara materi. Demikian pula perempuan, ia dipandang sebagai bagian dari sumber daya ekonomi. Apalagi perempuan memiliki bargaining position yang lebih rendah daripada laki-laki.

Mereka umumnya masuk dunia kerja karena kebutuhan, sehingga mereka lebih cenderung untuk menerima apapun yang ditetapkan perusahaan tanpa ada perlawanan. Munculnya arus kesetaraan gender yang memperjuangkan perempuan untuk bisa setara dengan laki-laki dan membuat perempuan memiliki partisipasi ekonomi yang diperhitungkan. Maka, upaya pemberdayaan perempuan diarahkan untuk membuat mereka bekerja, memiliki usaha dan menghasilkan uang.

Pada saat nafkah keluarga dijadikan tanggung jawab dan kewajiban suami istri. Beban yang ditanggung oleh istri setidaknya akan berpengaruh terhadap perannya sebagai pendidik anak-anaknya dan pengatur rumah tangga. Akibatnya, ia akan kehilangan kesempatan mengasuh dan merawat mereka dengan baik. Hal ini akan berdampak pada ketahanan keluarga.

Dalam kapitalisme dampak buruk keluarnya perempuan untuk bekerja tidak diperhitungkan sama sekali karena sifatnya non-materi. Sehingga, bukannya menghentikan partisipasi perempuan, tetapi justri membuka peluang yang besar bagi perempuan untuk menjadi pion ekonomi.

Inilah solusi yang tidak memecahkan masalah tetapi justru akan melahirkan permasalahan cabang yang lebih besar. Selayaknya pemikiran kapitalistik ini ditinggalkan dan saatnya untuk kembali kepada solusi yang berasal dari Sang Pencipta manusia. Yakni solusi Islam.

Dalam kitab An Nidhamul Ijtima’i fil Islam karya Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, disebutkan bahwa dalam rumah tangga Allah memberikan peran bagi suami sebagai pemimpin rumah tangga yang wajib, memimpin, melindungi, dan memberi nafkah pada anggota keluarganya. Sedangkan, peran istri sebagai ibu dan pengatur rumah bertanggung jawab mengatur rumahnya di bawah kepemimpinan suami.

Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat an-Nisa: 34,
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ

Artinya: ”
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian besar mereka (laki-laki) atas sebagian lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.”

Dari ayat ini jelas bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan peran suami sebagai pemimpin rumah tangga bukan semata karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sehingga, saat istri bekerja dan menghasilkan gaji lebih besar lantas menjadikan istri sebagai pemimpin dalam rumah tangga.

Dalam Islam, perempuan tidak diwajibkan untuk mencari nafkah bahkan harus dinafkahi seumur hidup dengan perwalian dan yang terakhir bertanggung jawab adalah negara untuk memenuhi kebutuhannya. Sudah seharusnya negara mendidik dan membekali perempuan agar kompeten dalam menjalankan kewajibannya. Negara juga harus menjamin perempuan mendapatkan haknya dan menikmati kesejahteraan termasuk hak untuk dinafkahi secara layak. Semua hal ini dapat dirasakan oleh perempuan jika berada di bawah naungan negara Islam. Wallahu a’lam.

Endang Widayati, S.E.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 13

Comment here