Opini

Peran Guru Digerus Sekularisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Kiki Zaskia, S.Pd. (Praktisi Pendidikan)

Wacana-edukasi.com, OPINI– Untuk kesekian kalinya sebuah peringatan untuk mengenang peran guru sedunia yang kini semakin dinamis. Pada kesempatan tersebut mengangkat tema mengenai “Valuing Teachers voices: towards a new social contract for education” alias (menghargai suara guru: menuju kontrak sosial yang baru untuk pendidikan). Tema tersebut sebagai sebuah refleksi akan pentingnya ‘suara’ seorang guru.

Sebab, suara seorang guru sangat dibutuhkan agar pembinaan dan eksplorasi kemampuan dari anak didik lebih efektif. Olehnya itu, guru memiliki peran yang sangat mulia tatkala pendidikan menjadi hak dasar manusia.

Ibaratnya pendidikan adalah air dan guru adalah pepohonan yang berperan penting untuk menjaga sumber daya air untuk manusia. Apabila peran guru di gerus maka selaiknya menebang pohon secara liar sehingga manusia menjadi kehilangan sumber daya air. Begitulah urgensinya seorang guru.

Setelah, 30 tahun peringatan hari guru sedunia, di Indonesia secara khusus pada kenyataanya guru di Indonesia masih banyak yang dimarginalkan.
Inilah beberapa potret problematis guru di Indonesia, di antaranya:

Pertama, kesejahteraan guru yang belum merata, salah satunya yaitu masih dibedakannya guru PNS dan guru Honorer. Dalam sebuah laporan Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa, bahwa per Mei 2024, sekitar 74 persen Guru Honorer/Kontrak memiliki penghasilan di bawah Rp 2 juta/bulan bahkan 20,5 persen diantaranya masih berpenghasilan Rp 500 Ribu

Kedua, beban kerja guru yang sangat tinggi yakni 24 Jam Pelajaran per minggu, mengerjakan tugas administratif untuk pelaporan kinerja sebuah aplikasi yang cukup menyita waktu, belum lagi kegiatan ekstrakurikulernya.

Ketiga, akses terhadap pelatihan pengembangan profesionalitas guru yang masih terbatas bahkan ada yang hanya mengejar sertifikatnya saja. Dalam sebuh laporan World Bank (2021), hanya 30% guru yang mengikuti pelatihan dalam satu bulan terakhir. Sehingga, banyak guru yang merasa keterampilannya tidak dikembangkan. Akibatnya, keterampilan mengajar yang tidak efektif menghasilkan penurunan kualitas pengajaran.

Keempat, sarana dan prasarana yang tidak memadai, di Indonesia masih banyak sekolah di daerah terpencil yang tidak memiliki fasilitas ruang kelas yang layak, akses internet, atau bahan ajar yang cukup. Dalam Data Kemendikbud menunjukkan bahwa sekitar 27% sekolah di Indonesia memiliki fasilitas yang sangat terbatas, sehingga mempengaruhi kinerja guru dan kualitas pendidikan.

Sehingga, alih-alih untuk bersuara guru telah hilang tenaga untuk mengimbangi segala kekurangan baik materil maupun imateril pengaturan kebijakan pendidikan di Indonesia. Bahkan, telah hilang arah sebab semakin carut-marutnya kehidupan sekuler nan kapitalistik.

Kemudian, bagaimana nasib generasi ini jika salah satu pasak untuk mengokohkan generasi menjadi pincang?

Inilah yang terjadi pada mereka, bermunculan dengan massifnya kekerasan di lingkungan sekolah seperti fenomena gunung es. Dalam beberapa kasus oknum guru sebagai pelakunya bahkan ada peserta didik yang sampai meregang nyawa akibat hukuman (punishment) yang dilakukan oleh oknum guru.

Semua itu terjadi sebab peran penting guru baik secara teknis (sistem pendidikan) dan paradigmatic (kurikulum pendidikan) kerap kali tergerus dengan sekularisme. Sekularisme sebuah pemikiran yang memisahkan antara aturan masyarakat dengan nilai-nilai ajaran agama telah menggagalkan visi dan misi mulia pendidikan.

Di Indonesia dalam UU No. 22 Tahun 2003 bahwa pendidikan nasional salah satunya memiliki tujuan yaitu, berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Namun, kini bagaikan minyak dan air yang tak bisa menyatu. Diadopsinya sekularisme dan esensi tujuan pendidikan nasional ini quo vadisnya adalah kegagalan. Misalnya saja, kini, guru atau berbagai forum persatuan guru, telah kelimpungan dengan standarisasi keberhasilan anak didik yang semakin jauh panggang dari api dengan hegemoni politik dan ekonomi global.

Hegemoni tersebut dengan wacana persaingan global SDM dengan yang ada diluar negeri tanpa berbenah dengan segala kekurangan yang ada dengan kebijakan pendidikan di Indonesia.

Selain itu, untuk masuk keperguruan tinggi semakin sulit dengan UKT yang mahal bahkan sempat dikatakan sebagai kebutuhan tersier (kemewahan) semata. Miris. Kewajiban pendidikan di Indonesia hanya wajib 12 tahun saja, dengan kualifikasi kualitas guru yang belum merata di sekolah-sekolah.

Pemerataan kualitas guru yang dimaksudkan disini yaitu, kualitas guru yang benar-benar sadar akan bahaya sekularisme yang bisa menggagalkan tujuan pendidikan.

Bukan semata guru yang mentransfer muatan pelajaran sehingga tindak-tanduk peserta didik dengan kesadaran tertinggi untuk menjadi manusia seutuhnya atau menyadari perannya untuk memakmurkan bumi atas dasar keimanan pada Allah SWT mampu terealisasi.

Sekali lagi, peran guru untuk mencapai tujuan nasional pendidikan di Indonesia akan selalu terhambat oleh sekularisme nan kapitalistik yang menganggap guru hanya sekadar factor produksi dalam dunia pendidikan.

Islam Cemerlangkan Peran Guru

Islam memiliki sistem pendidikan yang sangat khas. Berbeda dengan keyakinan atau pemikiran (ideologi) lainnya.

Dalam Islam, tujuan utama pendidikan yaitu membentuk kepribadian Islam (syaksiyyah Islam) dalam diri peserta didik setelah itu baru mengembangkan segala potensi lainnya. Sehingga, Islam memiliki kualifikasi calon guru berdasarkan kriteria tinggi yakni berkepribadian Islam.

Kemudian, kedudukan guru ibarat jantung dalam dunia pendidikan Islam. Sebab, dalam Islam guru tidak hanya mentransfer ilmu saja namun lebih didahulukan adab baru setelah itu ilmunya. Sehingga, kepribadian guru kerap menjadi sorotan penting untuk mendapatkan kepercayaan negara.

Dengan peran guru tersebut tak tanggung-tanggung khalifah Umar bin Khattab mengupah guru sebanyak 15 dinar. Satu dinar setara dengan 4,25 gram emas. Apabila dikalkulasi sekitar 63,75 gram emas Rp 89.250.000

Mengupah guru tanpa dengan status pegawai honorer, namun semua guru adalah pegawai negeri selama mereka menjalankan amanahnya dengan sistem pendidikan dan kurikulum pendidikan Islam atau dengan kata lain selama guru tersebut menjalan tugas dan haknya.

Selain itu, kebutuhan untuk biaya operasional pendidikan dalam khilafah (negara Islam) bukan berpatokan pada persenan anggaran yang rigid namun disesuaikan dilapangan untuk menjamin tersedianya kebutuhan guru, pegawai sekolah dan kebutuhan pengajaran sehingga memudahkan jalannya pendidikan yang maksimal.

Hal ini tak terlepas dari peran sektor lainnya, seperti sistem ekonomi dalam negara Islam. Islam menganut sistem ekonomi yang khas yang mengatur sebaik-baiknya sumber-sumber pendapatan negara untuk kepentingan umat.

Sehingga, patut untuk diinsyafi bahwa bukan hal yang mustahil negeri ini akan mampu bangkit dari keterpurukan sebab melanggengkan sekularisme jika saja mau menerima alternatif menuju kebangkitan yang hakiki dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan.

Wallahu a’lam bisshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 8

Comment here