Oleh: Hana Nafisah
wacana-edukasi.com, OPINI– Ikatan antara penguasa dan pengusaha dianggap sebagai hal yang lumrah di alam demokrasi. Hubungan antara penguasa dan pengusaha seringkali didasarkan asas manfaat, berupa hubungan timbal balik, kepentingan bersama dan memberikan pengaruh pada kebijakan. Ini lah yang disebut dengan oligarki. Oligarki dipandang sebagai sekelompok elite bisnis yang memiliki akses terhadap kekuasaan sehingga mereka mampu memengaruhi pembuatan regulasi di suatu negara. Sedangkan, korporatokrasi sebagai suatu sistem pemerintahannya yang dikendalikan atau dikuasai atau dijalankan oleh sejumlah korporat, para pengusaha kaya raya atau konglomerat menggunakan dana lebih untuk mengendalikan kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, sosial-budaya dalam suatu negara.
Adapun, fakta oligarki saat ini dinyatakan oleh Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana menyatakan rezim saat ini sangat pro oligarki, “Rezim sekarang ini sangat pro dengan oligarki, pro dengan para cukong itu atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN)”. Lanjut Dr. Erwin kembali, “melalui kebijakan-kebijakan investasi, insentif pajak pengusaha, sangat dimanjakan di era saat ini, dengan kemudahan berkaitan dengan izin investasi, terus dampak lingkungan diberi kemudahan di sana.” Dr. Erwin semakin menyayangkan dengan menyatakan, “rakyat hidup di negeri yang hutannya luar biasa kekayaan alamnya. Tapi itu bukan punya rakyat, justru kekayaan alam Indonesia masuk ke kantong-kantong penguasa-pengusaha itu, dalam bahasa Rizal Ramli pengusaha-penguasa.”
Wartawan Senior Asyari Usman memperkuat pernyataan tersebut dengan menyebutkan, “para oligarki itu memesan pasal-pasal atau undang-undang contohnya, misal UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan yang terbaru RUU Kesehatan, serta undang-undang lainnya yang itu mewakili kepentingan orang-orang yang berduit.
Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengatakan, “keriuhan yang terjadi di Indonesia saat ini bahwa kita dikuasai oligarki, penyebabnya adalah oligarki tumbuh subur dalam sistem demokrasi kapitalisme. Terlihat dari intervensi oligarki dalam empat pilar pemerintahan yaitu eksekutif, legeslatif, yudikatif dan media sangat signifikan. Empat pilar pemerintahan yang seharusnya bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, kemajuan rakyat, justru manfaat lebih besar itu kembali kepada kepentingan para pemilik modal, bukan kepentingan rakyat.”
Kesejahteraan rakyat yang tak kunjung tercapai dan hilangnya peran negara memaksa perempuan dan generasi yang menaggung beban berat dalam ekonomi. Perempuan pun akhirnya mengorbankan peran keibuan dan waktu berharga bersama anak-anak mereka dengan dalih pemberdayaan dan partisipasi perempuan dalam ekonomi.
Perempuan dalam korporatokrasi dianggap menjadi roda penggerak ekonomi. Hal ini terlihat dari banyaknya program-program pemberdayaan perempuan dan pemberian motivasi agar perempuan menjadi pejuang ekonomi rumah tangga baik di dalam dan luar negeri.
Padahal, pandangan bahwa Perempuan seperti ini mengeluarkan fitrah Perempuan yang diposisikan sebagai sosok yang dijaga kehormatan dan kemuliaanya serta diposisikan dengan tugas mulia sebagai ibu dan pengelola rumah tangga.
Sekelompok orang yang berkuasa dalam Islam tetap adalah pelaksana hukum syariah, yang mereka juga berjalan dalam pengawasan masyarakat yang kepentingannya juga adalah terlaksananya hukum syariah. Hal ini karena Islam meletakkan kedaulatan di tangan syara’. Hak pembuatan hukum berada di tangan syara’. Aturan harus bersumber dari Al-Quran, Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas Syar’I, sehingga menutup intervensi manusia yang bias kepentingan sebagaimana pada sistem demokrasi.
Kepemilikan sektor-sektor ekonomi pun diatur berdasarkan syariah. Jaminan distribusi kekayaan dalam Islam dilakukan juga berlandaskan keadilan kepada seluruh warga negara. Setiap warga negara dijamin pemenuhan kebutuhan pokoknya yaitu makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan dan diberikan peluang memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier.
Adapun, untuk memproteksi ketidakadilan dan penyimpangan, maka sistem peradilan yang menggunakan syariah Islam sebagai sumber aturan ditunjang oleh penegak hukum yang amanah agar tidak bias pada kepentingan pihak tertentu. Sehingga, dengan ditegakkannya tatanan kehidupan yang mulia berdasarkan syariah ini perempuan dan generasi akan terjaga kehormatannya, merasa aman, nyaman, tentram dan diposisikan sebagaimana fitrahnya.
Intelektual merupakan individu atau kelompok yang memiliki tingkat pemahaman dan pengetahuan yang tinggi dalam berbagai bidang. Sehingga, peran intelektual dalam peradaban sangat penting untuk mengarahkan perkembangan Masyarakat dan memberikan pandangan yang mendalam terhadap berbagai aspek kehidupan manusia.
Nilai intelektual ditentukan apakah ilmu dan pengetahuan yang dibangun dan sebarkan mampu membangun peradaban yang lebih baik, ataukah tidak. Peradaban yang lebih baik yang dimaksud adalah sebuah peradaban yang mampu memanusiakan manusia, berjalan harmoni dan semakin mendekatkan manusia kepada Penciptanya. Peradaban yang mampu mengharmonisasikan peran agama, politik dan ilmu pengetahuan, sehingga mencapai keharmonian tatanan kehidupan, ketentraman pribadi, kemajuan material, keadilan sosial baik lokal dan global. Inilah tekat yang seharusnya hadir dari diri intelektual yaitu ketundukan intelektual kepada Sang Pencipta dengan merenungi dan menghayati posisinya sebagai hamba, berusaha memahami keilmuannya dengan melihat pula aspek ketundukan syariat dan hikmah, bukan hanya terjebak, terfokus dan merasa puas pada ilmu pengetahuan yang dimiliknya.
Intelektual sebagai pendorong dan mercesuar peradaban. Intelektual yang merupakam bagian dari umat memiliki peran dalam mencerahkan, mengarahkan dan memimpin umat dalam menyuarakan tercapainya tujuan peradaban yang baik tersebut dengan keahlian masing-masing yang dimilikinya baik dibidang pemerintahan dan hukum, ekonomi, ilmu sosial, pendidikan, bahasa, budaya, komunikasi, kesehatan, teknologi, hubungan internasional, pertahanan dan keamanan, serta lingkungan.
Bukan, peradaban yang menjadikan intelektualnya sebagai pembantu justifikasi sekelompok tertentu, bukan pula peradaban yang membiarkan/ tidak memikirkan masyarakatnya. Bukan pula, peradaban yang mendorong manusia terus berkompetisi pada tataran global sehingga tanpa sadar melakukan penghampaan diri dari nilai-nilai sosial, spiritual, dan melupakan saudara di tempat/ bangsa lain. Namun, hal ini akan menjadikan intelektual dalam peradaban islam mampu memikirkan Nasib umat di seluruh dunia.
Views: 9
Comment here