Opini

Peran Muslimah dalam Islam

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Uswatun Hasanah

Wacana-edukasi.com — Membahas tentang wanita memang tak pernah ada usainya. Penulis pun tak pernah bosan untuk merangkai kata. Pena pun tak pernah kehabisan tinta untuk menggambarkan sosoknya, lalu menuangkannya menjadi sebuah karya.

Dear, kira-kira apa yang terlintas dalam benak kita saat membahas tentang peran seorang muslimah? Hem, biasanya, sih, yang terlintas adalah 3 kata turun-temurun dari zaman dahulu kala. Apa itu? Sumur, dapur, dan kasur. Fiks, yang menjawab seperti itu berarti belum PDKT sama Islam. Hehe.

Kalian pernah dengar nggak sebuah kalimat yang berbunyi, “Wanita adalah tiang negara. Apabila wanitanya baik maka baik pula negara. Sebaliknya, apabila wanitanya rusak maka akan rusak pula negara.”

Waahh, ternyata peran wanita sangat penting ya, sampai-sampai wanita menjadi tolak ukur baik dan rusaknya suatu negara. Pengibaratan wanita sebagai tiang negara pun pasti tidak lepas dari peran pentingnya wanita dalam syariat.

Lalu, bagaimana pandangan Islam tentang peran seorang muslimah sehingga dia bisa menjadi tonggak suatu peradaban? Bahkan dikatakan sebagai tiang negara?

Peranan Wanita dalam Islam Dimulai dari Keluarga

Keluarga merupakan fondasi dasar penyebaran Islam. Dari keluargalah muncul pemimpin-pemimpin yang berjihad di jalan Allah, lalu datang bibit-bibit yang akan berjuang meninggikan kalimat-kalimat Allah. Peran terbesar dalam hal tersebut adalah kaum wanita. Peranan tersebut di antaranya:

Pertama, wanita sebagai seorang istri.

Ketika seorang laki-laki merasa kesulitan, maka sang istrilah yang bisa membantunya. Ketika seorang laki-laki mengalami kegundahan, sang istrilah yang dapat menenangkannya. Ketika sang laki-laki mengalami keterpurukan, sang istrilah yang dapat menyemangatinya. Sungguh, tidak ada yang mempunyai pengaruh terbesar bagi seorang suami melainkan sang istri yang dicintainya.

Mengenai hal ini, contohlah apa yang dilakukan oleh teladan kaum muslimah saw. Khadijah Radiyallahu anha dalam mendampingi Rasulullah di masa awal kenabiannya. Ketika Rasulullah merasa ketakutan terhadap wahyu yang diberikan kepadanya, dan merasa kesulitan, lantas apa yang dikatakan Khadijah kepadanya?

“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)

Demikianlah seharusnya bagi seorang muslimah di dalam keluarganya.

Kedua, wanita sebagai seorang ibu.

Tidak ada kemulian terbesar yang diberikan Allah bagi seorang wanita, melainkan perannya menjadi seorang ibu. Bahkan Rasulullah pun bersabda ketika ditanya oleh seseorang:

“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kuperlakukan dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?” tanya laki-laki itu. “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” tanya laki-laki itu. “Ibumu,” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)

Seorang ibu merupakan sosok yang senantiasa diharapkan kehadirannya bagi anak-anaknya. Seorang ibu dapat menjadikan anak-anaknya menjadi orang yang baik sebagaimana seorang ibu bisa menjadikan anaknya menjadi orang yang jahat. Baik buruknya seorang anak, dapat dipengaruhi oleh baik atau tidaknya seorang ibu yang menjadi panutan anak-anaknya.

Pernahkah kita membaca kisah-kisah kepahlawanan atau kemulian seseorang? Siapakah dalang di dalam keberhasilan mereka menjadi seorang yang pemberani, ahli ilmu atau bahkan seorang imam? Tidak lain adalah seorang ibu yang membimbingnya.

Demikianlah peran mulia seorang ibu, dan tidak ada peran yang lebih mendatangkan pahala yang banyak melainkan peran mendidik anak-anaknya menjadi anak yang diridai Allah dan Rasul-Nya. Karena anak-anaknyalah sumber pahala dirinya dan sumber kebaikan untuknya.

Ketahuilah, banyak di kalangan orang-orang besar, bahkan sebagian para imam dan ahli ilmu merupakan orang-orang yatim, yang hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Lihatlah hasil yang didapatkannya. Mereka berkembang menjadi seorang ahli ilmu dan para imam kaum muslimin. Sebut saja, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Al-Bukhori, dan lain-lain adalah para ulama yang dibesarkan hanya dari seorang ibu. Karena kasih sayang, pendidikan yang baik dan doa dari seorang ibu merupakan kekuatan yang dapat menyemangati anak-anak mereka dalam kebaikan.

Dear, tahukah dengan imam salat Masjidil Haram, Asy-Syaikh Sudais? Apa yang melatarbelakangi beliau menjadi imam salat Masjidil Haram? Tidak lain adalah karena harapan dan doa dari ibu beliau. Seorang ibu yang terus menerus memotivasi anaknya untuk menjadi imam Masjidil Haram, telah membuat tekad Syaikh Sudais kecil menjadi besar dan membuatnya bersemangat untuk menghafalkan Al-Qur’an dan selalu berusaha agar keinginannya dan keinginan ibunya tercapai untuk menjadi imam Masjidil Haram.

Ini adalah segelintir kisah-kisah yang mengagumkan akan pengaruh yang amat besar dari seorang ibu dan masih banyak kisah-kisah lainnya jika kita mau mencari dan membacanya.
Karenanya, jika para wanita sadar akan pentingnya dan sibuknya kehidupan di keluarga, niscaya mereka tidak akan mempunyai waktu untuk mengurusi hal-hal di luar keluarganya. Apalagi berangan-angan untuk menggantikan posisi laki-laki dalam mencari nafkah.

Peranan Wanita dalam Masyarakat dan Negara

Wanita di samping dalam keluarga, ia juga mempunyai peran lainnya di dalam masyarakat dan negara. Jika ia adalah seorang yang ahli dalam ilmu agama, maka wajib baginya untuk mendakwahkan apa yang ia ketahui kepada kaum wanita lainnya. Begitu pula jika ia merupakan seorang yang ahli dalam bidang tertentu, maka ia bisa mempunyai andil dalam urusan tersebut, namun dengan batasan-batasan yang telah disyariatkan dan tentunya setelah kewajibannya sebagai ummun wa robbatul bait telah terpenuhi.

Banyak hal yang bisa dilakukan kaum wanita dalam masyarakat dan negara, dan ia punya perannya masing-masing yang tentunya berbeda dengan kaum laki-laki. Hal ini sebagaimana yang dilakukan para shahabiyah nabi. Pada zaman nabi, para shahabiyah biasa menjadi perawat ketika terjadi peperangan, atau sekadar menjadi penyemangat kaum muslim, walaupun tidak sedikit pula dari mereka yang ikut berjuang, berperang menggunakan senjata untuk mendapatkan syahadah fii sabilillah, seperti shahabiyah Ummu Imarah yang berjuang melindungi Rasulullah dalam peperangan.
Sehingga dalam hal ini, peran wanita adalah sebagai penopang dan sandaran kaum laki-laki dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Penutup

Jika kita melihat keutamaan-keutamaan yang diberikan Allah untuk kaum wanita, maka jelaslah wanita merupakan tumpuan dasar kemuliaan suatu masyarakat bahkan negara. Masyarakat atau negara yang baik dapat terlihat dari baiknya perempuan di dalam negara tersebut dan begitupun sebaliknya.
Karenanya, peran wanita baik dalam keluarga atau masyarakat merupakan peran yang sangat agung yang tidak sepantasnya kaum wanita untuk menyepelekannya. Oleh karena itu, kaum wanita harus kembali pada fitrahnya sebagai seorang ibu. Namun, itu semua tak kan terwujud jika syariat Islam secara kafah tak diterapkan di muka bumi ini.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 380

Comment here