Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi com, OPINI– Berulang lagi aksi anti Islam ala Prancis. Pemerintah Prancis melarang atlet mereka menggunakan hijab saat bertanding di Olimpiade 2024 Paris yang dijadwalkan berlangsung 26 Juli hingga 11 Agustus tahun depan.
Dikutip dari CNN, Menteri Olahraga Prancis Amelie Oudea-Castera mengatakan atlet Prancis tidak akan diizinkan mengenakan hijab di Olimpiade 2024 dengan alasan mendukung ‘rezim sekularisme yang diterapkan secara ketat di bidang olahraga’. “Artinya apa? Artinya larangan terhadap segala bentuk dakwah dan netralitas sektor publik. Artinya, anggota delegasi kami, di tim olahraga kami, tidak akan mengenakan cadar,” kata Menteri Olahraga Perancis Oudea-Castera dalam wawancara dengan France 3 (www.cnnindonesia.com, Rabu 27 September 2023) (1).
Pelarangan hijab oleh pemerintah Prancis sangat kontradiktif dengan semboyan yang mereka anut. Mereka mempunyai tiga prinsip, yaitu liberté (kebebasan), égalité (persamaan), fraternité (persaudaraan). Jika benar mereka mengusung kebebasan, bukankah seharusnya itu juga berlaku bagi atlet berhijab karena dia juga termasuk warganegara Prancis?
Sebelumnya Prancis juga melarang burdah, niqab, dan salat yang dilakukan di lingkungan sekolah. padahal semua yang dilarang itu masuk di dalam istilah mereka sendiri ‘private matter’ atau urusan-urusan pribadi, karena menyangkut pakaian dan ibadah yang khas bagi umat Islam. Tapi anehnya, mereka mengatakan bahwa ini bertentangan dengan nilai-nilai sekuler yang mereka anut. Padahal nilai sekuler itu di dalamnya juga mengandung prinsip kebebasan dan persamaan, di mana semua penganut agama dan ide tertentu bebas berekspresi sesuai dengan prinsip mereka?
Di kalangan mereka sendiri muncul kritik dari pihak oposisi. Yaitu jika komunitas L9-87 boleh mengidentifikasikan diri sebagai gay, boleh nikah sejenis atas nama kebebasan, atau menampakkan dirinya sesuai dengan identitas yang ia pilih; tetapi mengapa bagi muslim tidak diberikan ruang kebebasan yang sama? Bahkan pemerintah Prancis dengan keras memerangi homofobia (kalangan yang anti L9-87) karena dianggap menentang kebebasan untuk kaum L9-87 dalam mengidentifikasikan dirinya di tengah masyarakat. Lalu mengapa mereka justru mengekang ajaran Islam dan identirasnya? Di mana egalite-nya/nilai persamaannya yang mereka junjung tinggi?
Semua ini menunjukkan mereka telah gagal untuk memahami fenomena yang sedang terjadi di tengah masyarakat Barat pada umumnya, dan Prancis, khususnya. Mereka tahu bahwa proses Islamisasi terus berjalan dan dakwah Islam pun terus berjalan; sehingga wajar terjadi perubahan. Merupakan proses yang alami pula, akhirnya banyak orang yang kemudian memilih jalan Islam.
Pada hakikatnya tidak ada satu pun pihak yang dirugikan oleh fenomena perubahan ini. “Apa yang dirugikan dari masyarakat dengan pemakaian burdah? Apa yang dirugikan dari kelas ketika muridnya memakai gamis? Apa yang dirugikan kalau atlet mereka memakai hijab? Dan apa ruginya jika para murid muslim menunaikan ibadah salat di sekolah-sekolah mereka? Tidak ada!
Dan faktanya Prancis berhutang budi pada sebagian warganya yang muslim. Mereka sangat tertolong oleh mereka di dunia olahraga. Delapan dari sebelas pemain kesebelasan Prancis saat memenangkan Piala Dunia 2018, semuanya muslim. Artinya, kontribusi warga muslim terhadap prestasi olahraga di Prancis sebenarnya sangat besar.
Tapi sayangnya ada kelompok radikal sekuler yang selalu mencemaskan masa depan Prancis jika ini dibiarkan terus berkembang. Mereka terjangkiti virus Islamophobia, takut pada ajaran Islam dan eksistensi kaum muslimin. Ini adalah kekalahan intelektual, juga ketakutan politik terhadap perkembangan ini. Mereka menyangka, dengan cara melakukan sejumlah pendiskreditan dan cap negatif pada Islam dan umatnya dengan bertubi-tubi; maka perkembangan Islam dan dakwah Islam di Prancia bisa dihentikan.
Prancis faktanya gagal dalam banyak hal. Gagal dalam menumbuhkembangkan keluarga yang solid. Karena dua dari tiga pernikahan berakhir dengan perceraian. Gagal untuk mendorong keluarga-keluarga sekuler di sana untuk menikah dengan benar dan punya anak. Kalaupun punya, cuma satu anak. Sedangkan keluarga muslim begitu semangatnya punya anak. Secara demografis sudah terlihat fertilitas di kalangan penduduk Prancis asli sangat rendah. Mortalitasnya (angka kematian) yang terus meningkat.
Dibandingkan kalangan penduduk muslim, fertilitas tinggi dan mortalitasnya normal. Akibatnya terjadi lonjakan jumlah penduduk muslim berbanding dengan penduduk non muslim. Fakta ini sangat mereka cemaskan.
Perancis juga gagal dalam ekonomi. Ekonomi Prancis, seperti kebanyakan kondisi ekonomi negara-negara Eropa, sangat payah. Banyak faktor penyebabnya, tapi yang dominan karena dampak perang Rusia-Ukraina sehingga harga energi melonjak. Akibatnya inflasi mumbung tinggi dan itu menggerus daya beli mereka. Ada banyak perusahaan yang kolaps, pengangguran meningkat, kriminalitas terjadi di mana-mana. Penjarahan dan kerusuhan tidak terbendung sebagai bentuk protes sosial terhadap keadaan ekonomi mereka. Tapi anehnya tidak fokus mengatasi kebobrokan ekonomi dan sosial yang ada, politisi di sana malah terus saja menyerang Islam.
Inilah bentuk pengalihan isu sekaligus bentuk pencitraan rezim di sana. Dan ini rutin terjadi menjelang pemilu. Selalu dicitrakan penguasa begitu kerasnya memerangi Islam untuk mendapatkan sokongan dari kaum radikal sekuler.
Sebelumnya mereka berusaha untuk memakai semacam soft word untuk tidak menyebut Islam secara langsung. Tapi faktanya saat ini, makna “war on terrorism” dan “war on radicalism” adalah “war on Islam”. Pelarangan hijab bahkan kepada warganya sendiri dan pelarangan abaya pada anak-anak sekolah sudah menunjukkan secara gamblang bahwa argumen ‘ini bertentangan dengan sekularisme, menampakkan dakwah, dan segala macam’; hanya kamuflase untuk menutupi maksud sesungguhnya, yakni war on Islam.
Maka sudah saatnya umat Islam bangkit. Berhijrahlah pada ajaran Islam untuk mencari solusi semua problem hidup mereka. Meneladani Rasulullah dalam melaksanakan seluruh Syariat-Nya. Termasuk meneladani Rasululullah, bagaimana caranya menjadi “Khairu Ummah” alias umat terbaik, yang tidak akan mudah mengalami kriminalisasi saat melaksanakan perintah Allah. Yaitu dengan memperjuangkan kembalinya kehidupan Islam. Tegaknya kembali Islam kafah, dengan Khilafah sebagai satu-satunya junnah (pelindung) umat. Sehingga kemuliaan Islam dan kaum muslimin akan dapat dilindungi secara maksimal. Jangan lagi mempercayai nilai-nilai palsu yang ditawarkan oleh sekularisme kapitalistik.
Wallahu’alam Bishshawab
Catatan Kaki :
(1) https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20230927094509-178-1004263/prancis-larang-atlet-pakai-hijab-di-olimpiade-2024
Views: 15
Comment here