Opini

Perang Baliho, Ada Apa di Balik Politik Demokrasi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Safira Azmah – Aktivis Muslimah Mahasiswa

wacana-edukasi.com — Berbicara mengenai baliho sepertinya sudah tak asing jika dikaitkan dengan politik. Bagaikan penyatuan yang padu pada pesta demokrasi.
Di paruh kedua tahun 2021 ini permasalahan pandemi belum juga terselesaikan. Namun sepertinya para elite politik sangat siap menyambut pesta demokrasi untuk pilpres ditahun 2024 periode yang akan datang.

Bagaimana tidak, baliho gambar para elite politik beserta jargon nya telah banyak bermunculan di sejumlah jalan. Sepertinya “Perang Baliho” memang cocok dikatakan ditengah para elite politik yang memulai start-nya. Menurut pakar komunikasi UI Firman kurniawan mengatakan memang baliho memiliki keunggulan tersendiri. Apalagi ditempat strategis yang banyak orang berlalu lalang dan ukurannya yang besar secara struktural “memaksa” Orang untuk melihatnya sehingga menjadi perhatian publik. DetikNews (05/08/21)

Masa Pemerintahan 2 periode presiden Jokowi akan berakhir di tahun 2024. Kontestasi Pemilihan Presiden (PilPres) tahun tersebut memang masih jauh. Namun para calon kandidat sudah mulai ancang-ancang memasang baliho. Para elite politik yang telah memasang baliho pun sepertinya siap untuk bertarung disejumlah wilayah Indonesia.

Namun dibalik maraknya pemasangan baliho dengan harga yang fantastis, justru terjadi kejenuhan dimasyarakat. Mereka merasa dan secara sadar memilih bersikap sebaliknya dari tujuan pesan. Masyarakat menolak pesan yang disampaikan. Ujar pakar komunikasi UI Firman Kurniawan dikanal DetikNews (05/08/21).

Alih-alih adanya baliho yang terpasang dengan ukuran yang besar akan menuai simpati masyarakat, justru timbul makian dan protes dari rakyat. Mereka menganggap para politisi yang menawarkan diri menjadi pemimpin adalah sosok yang minim akan kepekaan kepada rakyat. Sikap peduli yang terlihat dari para politis sepertinya akan hilang setelah mereka bertarung demi citra positif mereka di depan rakyat untuk mendapatkan kursi.

Bagaimana tidak dikatakan minim akan kepekaan kepada rakyat, jika faktanya aturan-aturan yang dibuat justru menyengsarakan rakyat. UU KPK, UU Cipta Kerja, Omnibus Law, Perpu Covid dan Undang-undang lainnya yang sebenarnya sama sekali tidak dibuat atas keberpihakan kepada rakyat. Janji-janji manis para politisi sepertinya cukup menjadi buaian semata dimata rakyat. Karena ekspetasi yang didapat lebih dari cukup untuk membuat rakyat sengsara.

Keadilan, keamanan dan kesejahteraan yang rakyat inginkan sepertinya tidak akan terwujud dalam politik di sistem Demokrasi saat ini. Karena realitanya terus menerus tidak akan terwujud keinginan rakyat tersebut selama berada pada sistem Demokrasi. Demokrasi dengan slogan “kedaulatan berada ditangan rakyat” cukup menjadi kata-kata yang tak bernilai. Begitupun dengan jargon yang diberikan para politisi. Bagai buah tak jauh dari pohonnya.

Aturan yang diberikan justru tajam keatas tumpul kebawah. Yang terjadi pada rakyat saat ini semestinya menjadi cambuk untuk sadar keburukan sistem demokrasi yang mana menghasilkan politisi pengabdi kursi, bukan pelayan rakyat sesuai slogan sistem ini. Bagaikan menaiki bus yang rusak, walaupun pengemudi yang diubah tetap tidak akan berjalan sesuai kemauan kita. Begitupun saat ini. Siapapun pilihannya untuk menjadi pemimpin dengan keinginan mendapatkan kesejahteraan, tidak akan terwujud selagi pada sistem ini.

Karena jelas sistem inilah yang rusak. Sistem yang dibuat oleh tangan manusia yang jelas selalu tak sempurna.

Allah SWT sebagai sang khaliq (pencipta) telah memberikan aturan yang sesuai dengan makhluknya. Karena hanya Allah lah yang tau baik buruk untuk makhluknya. Islam datang sebagai aturan kehidupan manusia juga sebagai solusi dalam setiap permasalahan. Jelas bahwa Islam “rahmatan lil ‘alamin” Rahmat bagi seluruh alam.

Semua masalah ada solusinya. Begitupun dalam Urusan membangun negara. Dalam Islam, Pemimpin adalah sosok yang bisa bertanggung jawab dalam mengurusi urusan umat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya. ” (HR. Muslim & Ahmad)

Dengan begitu, tak akan ada kesibukan untuk berlomba-lomba menduduki kekuasaan, justru sama-sama muhasabah untuk menjadi sosok pemimpin yang tepat. Seperti halnya kisah sangat Khalifah Umar bin Khattab saat menjabat sebagai seorang khalifah, beliau terjun langsung berkeliling untuk memastikan apakah rakyat nya masih ada yang kelaparan atau tidak. Karena beliau tahu bahwa semua yang kita lakukan akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT.

Sama halnya Sultan Abdul Hamid. Beliau mematikan lampu penerang diruangan yang biasa dipakai untuk mengurusi masalah umat. Karena beliau tahu bahwa uang untuk menyalakan lampu tersebut bersumber dari rakyat. Sementara dirinya dan anaknya hendak membicarakan masalah keluarga.

Begitu tanggung jawabnya seorang pemimpin dalam Islam. Sehingga keadilan, keamanan, dan kesejahteraan akan tercipta dalam sistem Islam.

Wallahu A’laam bis Showaab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here