Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Sosial Politik)
wacana-edukasi.com — Kontestasi Pilpres 2024 masih sangat jauh, pandemi Covid-19 juga belum usai. Tetapi, para politikus sudah sibuk pasang baliho mempromosikan diri. Sejumlah wajah para petinggi partai politik (parpol) bertebaran dimana-mana, mulai dari Ketua PDI Perjuangan yang juga Ketua DPR Puan Maharani, Ketua Umum Golkar yang juga Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, hingga Ketua Umum PKB yang juga Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. Agaknya, hantaman pandemi Covid-19 tak menghalangi para tokoh tersebut tampil untuk menarik simpati publik, bahkan menunjukkan gelagat bahwa inilah momen yang tepat.
Dilansir dari m.dw.com (5/8/2021), Pakar Komunikasi UI Firman Kurniawan Sujono mengatakan memang baliho memiliki keunggulan tersendiri apalagi di tempat strategis yang banyak orang berlalu lalang, baliho akan menjadi pusat perhatian publik. Namun menurutnya, perang baliho antar politikus akan menjadi kejenuhan bagi masyarakat, pesan yang ada di baliho tidak tersampaikan, justru bisa membentuk persepsi yang negatif. Masyarakat muak, dan secara sadar memilih bersikap sebaliknya dari tujuan pesan.
Membaca fenomena maraknya baliho para elite di masa pandemi paling tidak mengindikasikan dua hal, yakni akan ada percepatan pergantian kekuasaan dan penyelenggara negara tidak lagi memikirkan rakyat. Hal ini sebagaimana ungkapan pengamat politik Adhie M. Massardi dalam acara Diskusi Media Umat, “Baliho, Miskin Empati di Tengah Pandemi” Ahad (15/8).
Adhie mengatakan, tidak ada hal yang ditangani oleh pemerintah saat ini sesuai perencenaan, itu pun jika mempunyai perencenaan. Sebab bisa dilihat tata kelolanya berantakan, ekonomi hancur, pandemi hancur, masalah hukum hancur dan seterusnya. Menurutnya, para elite politik ini sebenarnya sama dengan rakyat yaitu menginginkan rezim ini cepat berakhir. Mereka menduga pergantian kekuasaan akan lebih cepat dari jadwal Pemilu 2024, sehingga pemasangam baliho dimulai dari sekarang agar ketika itu terjadi, mereka sudah siap.
Selanjutnya, penyelenggara negara ini terutama eksekutif dan legislatif sudah tidak lagi memikirkan soal rakyat. Menurut Adhie ini sangat menyedihkan, di tengah situasi terpuruknya perekonomian dan makin liarnya pandemi, elite politik justru merasa tidak ada urusannya dengan rakyat. Mereka memilih untuk kampanye, karena ketika terjadi masalah politik yang sama-sama ingin hindari tapi itu terjadi, mereka sudah siap atau paling tidak sudah dikenal. (mediaumat.news, 16/8/2021)
Berdasarkan hal di atas, rasanya para elite politik memang hanya memikirkan kontestasi untuk berburu harta dan tahta, tanpa peduli dengan kondisi rakyat yang terus menjerit karena kesusahan hidup. Ketika rakyat masih berperang menghadapi pandemi Covid-19 yang kian tak terkendali, mereka justru menunjukkan perilaku apatis. Alih-alih bahu-membahu bersama rakyat dalam kondisi yang serba sulit bagi mereka, para elite hanya menancapkan baliho di berbagai tempat dalam rangka tebar pesona tanpa rasa bersalah. Maka jangan salahkan jika tindakan tersebut banjir protes dari publik.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai hal tersebut menunjukkan sikap tak punya empati dan tidak membantu masalah apapun. Di tengah banyaknya orang yang membutuhkan sembako, elite di baliho itu justru membutuhkan perhatian rakyat. Adi menyebut, pemasangan baliho bagi politikus adalah perkara biasa, etis dan perlu dilakukan untuk sosialisasi diri, namun menjadi paradoks karena baliho yang tersaji seperti ‘benda mati’ yang tak memahami kondisi rakyat di tengah pandemi Covid-19. (pikiranrakyat.com, 10/8/2021)
Patut dipahami bahwa hal di atas bukanlah fakta baru yang terjadi di negeri boneka demokrasi ini, melainkan perkara berulang yang semakin menyempurnakan kesengsaraan rakyat. Tatkala rakyat berjibaku dengan kesulitan hidup, angka kemiskinan terus meningkat, PHK besar-besaran, kelaparan kronis, perekonomian babak belur, utang negara kian menunpuk, para pejabat negara justru sibuk persiapan Pemilu demi hasratnya duduk di kursi kuasa. Adapun jika menberikan bantuan sosial kepada rakyat hanya ala kadarnya, itupun tidak merata.
Gambaran ini menguak fakta bahwa politik ala demokrasi bukan bertujuan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan sekadar berburu kursi, visi-misinya berujung pada kursi, begitu seterusnya. Manusia pengabdi kursi adalah suatu keniscayaan dalam sistem ini. Padahal, sejatinya eksistensi wakil rakyat adalah pelayan bagi rakyatnya, menjamin kesehatan, dan berbagai bentuk kepentingan rakyat. Namun miris, tanggungjawab itu seolah menjadi tanda tanya besar. Tatkala rakyat memanggil mengharap uluran tangan, mereka berpura-pura buta dan tuli seolah tak terjadi apa-apa.
Sistem demokrasi memang tak manusiawi, ambisi segelintir elite yang haus dan rakus jabatan hanya bertarung berebut kursi tanpa peduli apa sebenarnya yang menjadi kepentingan rakyat. Ketika ia duduk di atas singgasana kekuasaan, yang dipikirkannya adalah kebahagiaan. Tentu bukan kebahagiaan rakyat, melainkan dirinya sendiri, kolega dan partai pengusungnya. Lagi-lagi, rakyat hanya menjadi tumbal kepentingan abadi mereka yang dibalas dengan penghianatan.
Mestinya dari fakta ini kita mengambil sikap, sebab hanya orang bodoh yang ingin jatuh pada lubang yang sama. Rakyat sudah muak, dan kini saatnya menghempaskan demokrasi dan menggantinya dengan sistem Islam yang terbukti dan telah teruji kemaslahatan umat darinya.
Politik (siyasah) dalam Islam bukan layaknya demokrasi yang menghalalkan segala cara untuk mendapat kekuasaan, melainkan bermakna mengurusi urusan umat secara sungguh-sungguh agar tetap berjalan sesuai syariat Islam. Sehingga, yang dilakukan oleh wakil rakyat ketika terjun dalam dunia perpolitikan adalah mengurusi umat dengan menghadirkan solusi bagi segala permasalahan mereka. Termasuk wabah dengan segala dampaknya.
Pemimpin Islam memahami hakikat kepemimpinannya adalah sebagai pelayan, bukan pemimpin yang merasa punya kuasa untuk melakukan segalanya. Sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda: “Seorang imam (kepala negara) itu bagaikan perisai, tempat kaum Muslim berperang dan berlindung di belakangnya.” (HR Muslim).
Islam mengajarkan kepemimpinan ditujukan untuk mewujudkan pengurusan perlindungan terbaik bagi umat. Di samping itu, menegakkan agama dengan melaksanakan syariat Islam dan memenuhi kemaslahatan umat.
Alhasil, menjadi penting bagi umat untuk memilih pemimpin terbaiknya sesuai syarat yang disyariatkan. Di antaranya memiliki ketakwaan, sifat amanah serta kapabilitas dalam menjalankan seluruh perintah syariat atasnya. Atas dasar itu, ia akan mendapat dukungan langsung dari umat tanpa harus memasang baliho ukuran jumbo.
Hal ini membuka mata kita bahwa Islam adalah satu-satunya sistem yang mempunyai aturan yang sempurna dalam segala aspek kehidupan, mulai dari agama ritual, ekonomi, politik, dan sebagainya. Selama manusia berpegang teguh padanya, maka tidak ada satu pihak pun di antara manusia yang akan dirugikan.
Itulah sistem Islam dengan syariahnya. Dengannya dapat terwujud kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Wallahu a’lam bi showwab.
Views: 7
Comment here