Oleh Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I (Pengamat Sosial dan Media)
wacana-edukasi.com, OPINI– Tren perceraian semakin hari semakin meningkat, hal ini disampaikan Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Prof Dr Kamaruddin Amin seperti yang dilansir oleh Republika.co.id (21/09), angka perceraian setiap tahun di Indonesia berjumlah 516 ribu pasangan. Kamaruddin mengatakan, kini angka perceraian mengalami peningkatan dan angka pernikahan menurun.
Hal itu, kata Kamaruddin, juga berarti bahwa ada 516 ribu duda dan janda setiap tahun di Indonesia. “Duda-duda 516 ribu setiap tahun, dan juga janda-janda setiap tahun cukup banyak di Indonesia,” tuturnya. (Republika.co.id, 21/09)
Adapun upaya pemerintah dalam menanggulangi tingginya angka perceraian saat ini adalah dengan menjalankan program Bimbingan Perkawinan Pra Nikah bagi Calon Pengantin (Bimwincatin). Ini dianggap program yang sangat penting untuk memberikan edukasi kepada mereka yang hendak menikah. Pemerintah menilai tidak semua orang yang hendak menikah itu sudah siap baik secara mental maupun keilmuan. Ketidaksiapan menjadi seorang istri atau menjadi seorang suami, belum lagi terkait managemen keuangan, juga edukasi terkait kesehatan reproduksi, itu semua bisa berpotensi melahirkan generasi stunting, inilah yang dianggap faktor-faktor yang memunculkan potensi perceraian dalam pernikahan.
Jika melihat upaya pemerintah saat ini, Lantas muncul pertanyaan apakah program Bimwincatin ini bisa menjadi solusi tuntas? Sebelumnya program yang serupa juga sudah pernah digalakkan oleh pemerintah untuk menekan angka perceraian seperti membuat Simal (Sekolah Istri dan Ibu Milenial), konseling pra nikah, UU KDRT, dll. Bahkan sebagian Ormas juga sampai ikut membuat komunitas untuk meminimalisir tingginya angka perceraian. Namun upaya-upaya tersebut hanyalah solusi tambal sulam dan tidak menyentuh pada akar masalah sesungguhnya.
*Kapitalisme Akar Masalah Sesungguhnya*
Tak bisa dipungkiri banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian di Indonesia. Hal ini jelas menjadi masalah yang cukup serius. Nyatanya faktor perceraian tidak hanya disebabkan masalah internal pasangan, melainkan juga adanya faktor eksternal yang bersifat sistemik mulai dari masalah kemiskinan ekstrem (ekonomi), hingga adanya penyimpanan seksual bahkan LGBT. Seperti beberapa kasus yang sempat viral terkait seorang influencer wanita yang menggugat cerai suaminya setelah memergoki sang suami selingkuh dengan teman laki-lakinya. Begitupun seperti kasus perceraian yang terjadi di Aceh, ada kasus seorang suami yang ternyata jelas-jelas melakukan penyimpanan orientasi seksual (Homo).
Hal di atas semakin memperkuat fakta bahwa saat ini rapuhnya bangunan keluarga di Indonesia bukanlah isapan jempol belaka. Masalah-masalah yang disebutkan di atas hanyalah masalah cabang. Adapun masalah utama penyebab munculnya itu semua adalah akibat diterapkannya sistem kapitalis liberal di tengah masyarakat dan negara saat ini. Sistem kapitalis liberal lah yang menjadikan tatanan keluarga saat ini menjadi rapuh. Hal ini juga menjadi tanda lemahnya visi keluarga saat ini yang hanya berorienatasi kepada duniawi.
Kemiskinan ekstrem yang terjadi saat ini disebabkan oleh penerapan ekonomi kapitalis, yang menjadikan SDA dikuasai oleh para oligarki pemilik modal sehingga kesenjangan sosial semakin melebar, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. PHK massal terjadi besar-besaran pasca pandemi kemarin, otomatis laki-laki sebagai tulang punggung yang bertugas mencari nafkah kesulitan mencari pekerjaan.
Tidak hanya itu, liberalisme juga melahirkan paham fenimis yang menjadi salah satu penyebab perceraian semakin meningkat. Paham feminis menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di semua aspek kehidupan. Termasuk dalam kepemimpinan di rumahtangga. Tekanan ekonomi serta adanya feminisme memberikan pengaruh yang signifikan bagi para perempuan untuk keluar rumah menggantikan peran laki-laki sebagai pencari nafkah, sehingga tak sedikit yang jika penghasilan suaminya lebih rendah si istri pun kemudian melayangkan gugatan cerai.
Rapuhnya bangunan keluarga dan tingginya angka perceraian juga menunjukkan lemahnya negara sehingga tak mampu mewujudkan perlindungan terhadap anak. Karena bagaimanapun perceraian yang terjadi akan berdampak pada tumbuh kembang anak-anak, seperti permasalahan stunting, anak-anak broken home yang akan berimplikasi pada naiknya kenakalan remaja dan tingkat kriminalitas di negera ini.
Oleh karena itu solusi tambal sulam saja tidak cukup. Negara harus hadir melindungi keluarga. Selain menegakkan hukum dan mengedukasi, negara juga harus menjaga kekuatan ekonomi keluarga dan menjaga keluarga dari serangan pemikiran yang dapat merusak. Namun sayangnya itu semua tidak bisa terwujud selama negara dan masyarakat saat ini masih menganut asas sekularisme, asas yang memisahkan kehidupan dengan agama, sehingga manusia berjalan di dunia ini tanpa melihat lagi aturan-aturan Sang Pencipta.
*Peran Negara Islam dalam Melindungi Keluarga*
Membangun keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah merupakan tujuan utama pernikahan dalam Islam. Keluarga yang diselimuti dengan ketentraman, kecintaan, serta rasa kasih sayang yang berlandaskan keimanan kepada Allah merupakan dambaan bagi setiap Muslim. Oleh karena itu, sudah seharusnya keluarga muslim memiliki visi dan misi, yang dilandaskan kepada Islam. Islam merupakan agama yang sempurna dan paripurna, Islam tidak hanya sekedar mengatur ritual ibadah semata namun juga seluruh aspek dalam kehidupan termasuk kehidupan berumahtangga, bermasyarakat dan bernegara.
Pernikahan merupakan ibadah dengan kedudukan yang sangat penting dan sakral dalam Islam. Hingga disebut sebagai mitsaqan ghalizha dalam Al-Quran, berarti perjanjian yang amat kukuh atau kuat. Oleh karenanya menjaga keutuhan rumah tangga adalah suatu keniscayaan. Pernikahan juga sarana untuk menjaga agar kehidupan masyarakat ada dalam kesucian dan kemuliaan, mewujudkan jalinan cinta kasih dan tercapainya ketentraman hati, melanjutkan keturunan dan menghindarkan dosa, mempererat tali silaturahmi, sebagai sarana dakwah dan menggapai mardhatillah.
Selain itu Islam juga mengatur perjalanan pernikahan, kehidupan suami istri bagaikan kehidupan persahabatan. Begitupun jika keduanya dikaruniai anak keturunan, Islam menuntut keduanya untuk saling bekerjasama dalam mendidik dan membesarkan anak sesuai Syariat Islam. Anak laki-laki disiapkan untk menjadi seorang pemimpin dan anak perempuan disiapkan sebagai pencetak generasi masa depan.
Islam akan mengkondisikan setiap individu sadar akan peran dan fungsi nya masing-masing sehingga terjaga kehormatan dan kemuliaan setiap perannya. Selain itu negara Islam akan menerapkan sistem ekonomi Islam, dan menjamin kesedian lapangan pekerjaan bagi laki-laki yang merupakan qowwan sekaligus tulang punggung dalam rumah tangga untuk bertanggung jawab mencari nafkah untuk menafkahi keluarga. Sementara untuk para perempuan atau kaum ibu peran nya sebagai ummun warobatulbayt (pendidik pertama di rumah nya) yang akan mencetak dan membentuk anak-anak berkarakter Islam.
Ketakwaan individu dalam daulah akan lahir dari mekanisme negara yang jelas dan tegas. Sehingga individu ini menjadi individu tangguh dan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan dengan cara Islam. Sehingga ketika sudah ada dalam status pernikahan mereka pun mampu menghindari diri dari hal-hal yang bisa membawa pada perceraian.
Negara Islam juga akan menerapkan sistem pergaulan Islam di tengah-tengah masyarakat, sehingga interaksi laki-laki dan perempuan akan terjaga dan terhindar dari perselingkuhan ataupun perzinahan. Negara akan memproteksi pemikiran-pemikiran yang menyimpang seperti liberalisme, feminisme, LGBT, dll.
Negara akan hadir untuk menjaga keluarga dan mewujudkan lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga rasa tentram dan bahagia lahir batin bisa dirasakan. Demikianlah konsep yang ditawarkan oleh negara Daulah Islam. Maka sudah selayaknya kita perjuangkan konsep yang akan mampu memberikan kebaikan dunia akhirat. Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 51
Comment here